
Berikut ini adalah homili Uskup Keuskupan Surabaya Mgr Agustinus Tri Budi Utomo pada saat Misa Pontifical di Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Surabaya, 23 Januari 2025.
Para Bapak Uskup, para Romo, Suster, Bruder, Frater, Bapak-Ibu, Kaum muda, Remaja dan Anak-anak yang kucintai.
Perayaan ekaristi ini menghadirkan sungguh tentang siapa kita. Kita ada di tempat ini. Para Uskup ada di sini. Saya ada di sini. Anda ada di sini. Karena kita semua adalah anak-anak Tuhan. Kita semua adalah orang yang menghayati hidupnya dicintai oleh Tuhan.
Paus Benediktus dalam salah satu suratnya tentang kasih menyatakan tentang krisis dunia saat ini adalah krisis kasih. Permasalahan dunia mulai dari permasalahan rumah tangga bahkan permasalahan individu-personal-kepribadian sampai masalah politik, ekonomi, budaya, pemerintahan, negara-negara dan bahkan seluruh dunia ini bersumber pada satu masalah krisis cinta, krisis kasih.
Pernah saya diberitahu salah seorang provinsial dari suatu tarekat ketika mengikuti pertemuan para pimpinan tarekat bersama Paus Benediktus (Paus Benediktus XVI, Red). Paus Benediktus mengungkapkan bahwa banyak kita ini, para imam, para suster, para bruder, tarekat-tarekat telah kehilangan jiwanya, spiritnya dari suatu tarekat, kongregasi, ordo, telah berubah menjadi LSM atau sebuah perusahaan. Yang hilang apa? Aspek kasihnya.
Kita semua para Romo dan Bapak-Ibu sekalian, apa sih pengalaman iman paling mendasar ketika kita ekaristi, ketika ada penggembalaan pastoral, perjumpaan Romo dan Umat, Suster dan masyarakat, Bruder dan masyarakat di sekitarnya yang dilayani? Yang membedakan adalah ada perjumpaan yang di dalam peristiwa itu orang mengalami dicintai. Ada yang perjumpaan menjadi perjumpaan klerikalistik, perjumpaan organisatoris seperti perjumpaan antara polisi dan masyarakat, hakim dan terdakwa, perjumpaan antara pejabat dengan bawahan, pengusaha dengan buruh, tuan dengan budak.
Pada hari ini, Tuhan Yesus mengajak kita menyadari, pertama, bahwa kita dijelaskan, kita ini anak-anak Tuhan, bukan budak lagi, tetapi kita adalah sahabat, sahabat Yesus. Dan inilah sumber dari kepercayaan diri kita di dalam pelayanan kita. Karena kita ini sahabatnya Tuhan, karena kita ini temannya Tuhan Yesus, kita ini orang dalam, orang dekat, orang yang sungguh bukan orang lain bagi Tuhan Yesus. Kita semua dipanggil, para Romo, para Suster, Bruder, Bapak-Ibu, dalam keluarga. Kita dipanggil saat ini. Kehadiran kita di manapun itu adalah kehadiran sahabat Tuhan.
Tentu ini tidak mudah. Mengapa tidak mudah? Karena kita ini jauh lebih mudah kalau menuruti ego kita masing-masing di mana kita akan menganggap yang lain sebagai objek, yang lain sebagai lebih rendah grade-nya daripada kita, yang lain sebagai asing, yang lain sebagai ancaman, yang lain sebagai kafir dalam hidup kita. Itu jauh lebih mudah. Lebih sulit ketika kita ini menjadi sahabat Tuhan sehingga ketika kita berjumpa dengan Umat, anak-anak, remaja, OMK, merasakan betul dijumpai oleh Dia adalah seperti rasanya dijumpai oleh sahabat.
Kita sering kali takut untuk menjadi sahabat . Apalagi ini godaan terbesar bagi kita para imam, para uskup, para suster, karena kita menempatkan disposisi diri kita ini sudah menganggap kita ini lebih daripada yang lain. Dan itu adalah salah satu hambatan untuk menjadi sahabat. Ternyata pengalaman seorang sahabat, salah satu syarat kehadiran seorang sahabat adalah kerendahan hati, mau sejajar, mau senasib, mau untuk menjadi sama dengan yang lain sehingga yang lain menjadi juga mendapatkan orang yang sama dengan mereka. Ini hal yang tidak gampang.
Dalam pengalaman hidup saya, salah satu pengalaman kasih, pengalaman sahabat itu adalah dimulai dari hal yang paling kecil yaitu latihlah wajah kita tersenyum bagi orang lain. Senyum adalah pintu gerbang yang seperti Porta Sancta itu. Senyum adalah pintu manusia, perjumpaan manusia yang paling otentik. Kalau Paus Fransiskus ketika Tahun Hidup Bhakti mengatakan bahwa sukacita itu adalah indikator kita sebagai orang yang membaktikan diri kita kepada Tuhan, maka sukacita itu yang paling dasar adalah mau tersenyum, bahkan dengan orang yang membenci kita sekalipun. Pengalaman melatih diri untuk tersenyum. Menurut saya dalam pengalaman saya, pengalaman eksistensial tersenyum itu adalah pengalaman mistik di mana kita semua dengan tersenyum, kita ini berjumpa dengan orang lain bukan sebagai objek. Orang tua kepada anak, suami kepada istri, istri kepada suami, guru kepada murid, romo kepada umat, umat kepada romonya. Bahkan ketika saya bayangkan ke depan ini adalah ciri khas Kristiani yang paling sederhana, paling nampak, tanpa modal yaitu wajah yang tersenyum meskipun sendiri.
Maka, Saudara-saudari yang terkasih, kita tidak bisa membayangkan pengalaman kasih Allah hadir tanpa kita menyiapkan diri tersenyum kepada Allah. Seperti yang saya ceritakan kemarin waktu sambutan di tahbisan. Saya belajar tentang spiritualitas senyum atau teologi senyum bahkan juga filsafat senyum itu ketika di Kalimantan tentu saja. Bagaimana tersenyum kepada siapapun, itu adalah sebuah pengalaman mistik, pengalaman perjumpaan.
Para Romo, Bapak-Ibu, kalau berdoa mulailah dengan tersenyum. Maka, itu adalah satu langkah lebih dekat kepada Tuhan. Ketika berjumpa dengan orang, meskipun pun kita tahu orang itu ndak suka dengan saya, bahkan juga kita nggak suka dengan dia, mulailah dengan tersenyum. Ketika tersenyum, otomatis nafas kita ini menjadi teratur. Lalu emosi kita, ego kita menjadi semakin teduh dan itulah mulai sebuah perjalanan kasih.
Tentu saja saya sejak frater itu belajar banyak dari dua filosof yang sangat saya senangi yaitu Martin Buber dan Gabriel Marcel yang mengajarkan kepada saya ketika kita ini berhadapan dengan segala hal, bahkan dengan diri kita sebagai barang, anak sebagai barang, romo lain sebagai barang, umat sebagai barang, sebagai sesuatu itu, maka kita tidak pernah berjumpa dengan Dia. Tetapi ketika kita mulai mau meng-engkau-kan yang lain, sehingga orang lain adalah engkau bagiku. Barang yang buku ini ketika ini menjadi sesuatu barang ya kita geletakkan begitu saja. Tetapi ketika kita meng-engkau-kan, “Engkau buku”, maka mulailah ada sebuah pergeseran hati di mana buku ini lalu pelan-pelan berubah menjadi sakramen. Bagaimana mungkin kita ini bisa mencintai tanpa menjadikan orang lain engkau? Suster lain adalah engkau bagiku. Romo lain engkau. Bahkan barang-barang ini semua adalah yang bisa kita jumpai ajak ngomong sebagai engkau.
Saudara-saudari yang terkasih, ketika kita sudah terbiasa meng-engkau-kan yang lain, lama kelamaan kita ini seperti pelukis yang menggunakan cat di mana di sini (sambil memegang kepala, yang mengisyaratkan pikiran, Red) sudah ada aku mau gambar apa, tapi bukan di awang-awang. Tetapi ada di sebuah kanvas besar. Kanvas besar itu adalah Engkau yang ilahi. Maka akhirnya ketika kita ini mulai bisa tersenyum pada orang, meng-engkau-kan orang lain, lalu kita ini ternyata di belakangnya itu ada sebuah latar belakang Sang Engkau yang adalah kasih Tuhan sendiri. Nanti sampai di sana, kita akan berjumpa tentang Kasih itu.
Para Romo, bahwa pada hari ini nanti, saya sungguh berbahagia. Janji Tuhan, bagi saya, bahwa akan ada malaikat-malaikat yang diutus untuk menemani saya di dalam karya penggembalaan sebagai uskup, saya melihat bahwa memang ada begitu pribadi-pribadi yang dengan terbuka bersedia untuk menjadi tim saya di dalam penggembalaan sebagai Uskup nanti.
Mengapa mungkin para Bapak Uskup juga bertanya, kenapa begitu banyak tim saya? Karena memang saya bukan apa-apa, seperti salib kosong kemarin. Dan saya diisi kekosongan itu dengan hadirnya engkau-engkau di sekeliling saya yang sungguh-sungguh menghadirkan kasih Tuhan bagi saya. Maka setelah homili ini nanti saya ingin mengumumkan kepada umat Keuskupan Surabaya, siapa yang akan menjadi tim pastoral saya.
Pada kesempatan terakhir, saya sangat bersyukur. Leni menjadi lektor, eh pemazmur ya, Leni menjadi pemazmur. Bayangkan, saya terkesan ketika Leni, Leni koordinator dalam tim pastoral difabel untuk teman-teman tunanetra. Pengalaman dia tidak pernah melihat. Dunia ini adalah kosong dan gelap. Tetapi sangat beda tangan yang menyentuh dia, ini tangan yang meng-engkau-kan atau tidak? Tangan yang mengasihi atau tidak? Sehingga bagi dia, pengalaman kasih itu adalah juga kehadiran Tuhan bagi dirinya sehingga punya semangat, bahkan melebihi semangat kita. Dia ini pelayanan organis di mana-mana. Setiap persekutuan doa atau gereja yang membutuhkan organis, dia selalu siap sedia.
Pada hari ini saya juga punya tamu istimewa, sahabat yang sangat luar biasa. Ada Romo Park Min-seo yang dari Korea. Dia adalah sudah sejak kecil tuli dan bisu. Dia pengin juga mau merasul bagi teman-teman tuli yang lain. Tetapi bahwa seminari tidak memungkinkan siapa yang akan mengajar. Tetapi syukur kepada Tuhan, dia bertahun-tahun berjuang dan akhirnya ada salah satu seminari di Amerika yang bisa menerima dia. Dan dia sekarang adalah romo pertama bisu tuli di Asia. Saya persilakan Romo Park Min-seo untuk berdiri. Ya. Dia datang jauh-jauh dari Korea karena nepati janji, dia bilang tahun lalu ketika ketemu saya, “Sepertinya kamu besok akan jadi uskup,” katanya. “Kalau kamu jadi uskup saya datang ke Surabaya”, (kata) dia. Dan dia menepati.
Terima kasih bahwa umat Keuskupan Surabaya saat ini sudah mulai semakin ramah difabel. Mereka semua adalah rindu pengalaman kasih Allah. Dan tentu saja bagaimana paroki yang sungguh-sungguh menghadirkan kasih Allah. Itu tentu saja dimulai dari pastoran para romo. Bagaimana mungkin kalau pastoran itu penuh kebencian dan dendam akan menghadirkan paroki yang penuh kasih? Akan sulit. Dan akhirnya, seperti Tahun Yubileum ini mengingatkan kepada kita, mari kita bangun pastoran, biara, komunitas dan paroki kita sampai keuskupan kita itu menjadi komunitas pengampunan. Kasih adalah omong kosong yang paling absurd ketika tidak ada pemaafan, pengampunan.
Kasih hanya betul-betul nyata ketika diawali dengan hati yang mau tersenyum dan diakhiri dengan pengampunan. Tanpa itu tidak mungkin kasih hadir. Bacaan pertama mengingatkan Allah adalah kasih. Kita tidak pernah melihat Allah. Kalau pengin melihat Allah alamilah kasih. Kalau ingin menghadirkan Allah berarti membiarkan diri kita menjadi kehadiran kasih bagi sesama. Biarlah nama Tuhan Yang Maha Kasih semakin dimuliakan di dalam perjumpaan-perjumpaan kita mulai dari keluarga sampai kepada hidup bermasyarakat kita. Tuhan memberkati. Amin.