Syukur Atas Kerahiman dan Kasih Allah Akan Melahirkan Kesediaan yang Tulus Untuk Siap Sedia Melakukan Setiap Pekerjaan Baik

Berikut ini adalah homili Mgr Adrianus Sunarko, OFM dalam Perayaan Ekaristi Penutupan 100Tahun dan Sidang II KWI 2024 Berjalan Bersama Membangun Gereja Dan Bangsa, 13 November 2024.

Bapak Kardinal, Bapak Nuncio beserta sekretaris, para Bapak Uskup, Saudara-saudari sekalian yang terkasih, selamat sore! Apa kabar? Terima kasih, Bapak-Ibu, Saudara-saudara sekalian sudah meluangkan waktu untuk hadir dalam perayaan ekaristi yang istimewa ini.

Saya beri hadiah. Bukan sepeda karena presidennya sudah ganti. Bukan makan siang gratis karena presidennya sedang di luar negeri. Karena saya dari pulau, hadiahnya pantun. Nah, dari Kuningan ke Bekasi. Singgah sebentar di kantor Cikini. Bapak Uskup dan saudara-saudari terkasih, selamat bahagia di 100 tahun KWI.

Saudara-saudari terkasih, seperti kita ketahui bersama memang kita bersama baru saja menyelesaikan sidang tahunan yang tahun ini menjadi istimewa karena dilakukan dalam rangka perayaan 100 tahun KWI.

Dalam pengantar sidang yang baru lalu dan dalam berbagai kesempatan lain, Bapak Ketua KWI, Bapak Uskup Antonius mengingatkan, perayaan syukur 100 tahun KWI difokuskan pada refleksi dan hari studi, termasuk penerbitan buku serta berbagai kegiatan sosial seperti juga mempertemukan para penyandang disabilitas, orang sakit, orang miskin dengan Bapak (Paus) Fransiskus. Selebrasi difokuskan pada perayaan ekaristi serta acara syukuran dan ekaristi.

Jadi, di samping refleksi dan studi ada dua hal yang diingatkan di sini. Di satu pihak berbagai tindakan bela rasa kegiatan sosial untuk mereka yang menderita dan ekaristi. Di lain pihak yang kiranya menunjuk pada perayaan sakramen ekaristi tapi juga secara lebih luas kiranya bermakna syukur. Puji syukur sesuai dengan makna ekaristi itu sendiri.

Syukur dan tindakan bela rasa bagi mereka yang menderita juga mewarnai pesan sidang yang kami bersama-sama siapkan refleksikan selama seminggu ini. Saya kutip, “Kami bersyukur bahwa Allah telah memberkati, mendampingi dan membimbing perjalanan KWI selama satu abad. Perjalanan yang panjang itu menjadikan KWI sebagai persekutuan para waligereja yang memiliki karakter kuat yaitu persaudaraan dan kebersamaan dalam mewartakan kabar gembira.” Syukur.

Di lain pihak KWI menemukan diri telah berusaha selama 100 tahun ini bersama umat hadir sebagai sahabat bagi saudara-saudari yang miskin, lemah, tersingkir, difabel, tua, sakit dan memberi harapan dan bantuan bagi teman-teman yang menjadi korban kerusakan lingkungan hidup serta bencana alam. KWI berusaha peduli dengan sahabat-sahabat yang aktif merawat dan melestarikan alam ciptaan. Dua hal itu, Saudara-saudara sekalian, syukur dan kesediaan untuk berbuat baik sebagai wujud bela rasa kita serta relasi antara keduanya kiranya juga menjadi pesan dari bacaan-bacaan hari ini.

Melalui Titus, Paulus mengajak Gereja bahkan semua orang seperti tadi kita dengarkan untuk siap sedia melakukan setiap pekerjaan yang baik. Tidak memfitnah atau bertengkar, selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang. Lebih jauh, Paulus mengingatkan bahwa dahulu kita tidak bisa melakukan itu semua. Kita dulu hidup dalam kejahilan, tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji dan saling membenci. Tetapi kuncinya ada di ayat berikut. “Tetapi ketika telah nyatalah kerahiman dan kasih Allah serta juru selamat kita kepada manusia, maka kita diselamatkan oleh-Nya. Hal itu terjadi bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, melainkan karena rahmat-Nya. Berkat permandian kelahiran kembali dan berkat pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang dilimpahkan-Nya kepada kita lantaran Yesus Kristus Juru Selamat kita”.

Rupanya Paulus mau menyampaikan bahwa yang asali bukan pertama-tama perbuatan dan jasa kita, melainkan rahmat, kerahiman dari Allah itu sendiri. Semua itu terjadi dan dimungkinkan bukan karena perbuatan baik yang kita lakukan, melainkan karena rahmat-Nya. Yang lebih asali dari segala kesediaan untuk melakukan perbuatan baik adalah kenangan disertai pengakuan penuh syukur atas kerahiman dan kasih Allah.

Kita tidak perlu berprestasi dulu supaya dikasihi Allah. Tetapi syukur atas kerahiman dan kasih Allah akan melahirkan kesediaan yang tulus untuk siap sedia melakukan setiap pekerjaan baik, tidak sebagai beban melainkan dengan sukacita tanpa terpeleset ke dalam kesombongan, melainkan lahir dari pengakuan rendah hati akan kasih Allah yang tanpa syarat.

Saudara-saudari sekalian,

Kalau kita pada tahun ini bersyukur juga atas kunjungan Paus Fransiskus yang membawa sukacita dan berkat, kiranya kita tidak lupa bahwa beliau memiliki semboyan “miserando atque eligendo”. Pertama-tama mengalami kerahiman Allah dan karena itu dipilih. Demikian pula pada awal ensikliknya yang baru, Dilexit Nos, Paus Fransiskus mengingatkan pada kita akan kerahiman dan kasih Allah yang mendahului segala perbuatan baik kita. Ia telah mengasihi kita. Hati-Nya yang terbuka melangkah mendahului kita dan tanpa syarat menunggu kita, memohon untuk menawarkan kasih dan persahabatan-Nya kepada kita. Tanpa dilandasi pengakuan rendah hati dan penuh syukur atas kasih Allah yang lebih dahulu mengasihi kita, berbuat baik, amal dan kasih dapat dialami sebagai beban yang berat, sebagai prestasi serta pembuktian diri yang perlu ditunjukkan agar kita diakui dan diterima, mungkin mudah terpeleset juga dalam kesombongan dan kecongkakan. Sebaliknya, dilandasi pengakuan penuh syukur atas kasih Allah, kesediaan melakukan segala perbuatan baik akan diwujudkan dengan sukacita sebagai kesempatan untuk membagikan kasih yang telah lebih dahulu dialami sekaligus menjaga kita untuk melakukan semuanya dalam segala kerendahan hati.

Dalam pesan menjelang Natal kepada Kuria Roma tahun 2014, Paus Fransiskus menyebut sejumlah kemungkinan apa yang beliau sebut penyakit dan godaan yang memperlemah pelayanan kita kepada Tuhan serta dapat memperlemah relasi yang vital, personal, otentik dan solid dengan Kristus. Salah satu dari antara 15 daftar penyakit yang beliau sebut itu adalah penyakit spiritual alzheimer, orang yang kehilangan ingatan akan sejarah keselamatannya sendiri, sejarah masa lalu kita dengan Tuhan, bahwa Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kita. Kiranya itu pulalah pesan yang dapat kita ambil dari bacaan Injil hari ini yang bercerita tentang 10 orang kusta yang disembuhkan. Sembilan spiritual alzheimer. Hanya satu yang kembali. Jangan sampai kita terkena penyakit spiritual alzheimer itu, lupa akan sejarah keselamatan kita sendiri, lupa untuk pertama-tama bersyukur.

Yesus berkata, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang tadi? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini? Lalu Ia berkata, “Berdirilah dan pergilah imanmu telah menyelamatkan dikau!” Dengan kata lain supaya tidak terkena penyakit spiritual alzheimer, kita diajak Yesus untuk belajar dari orang asing atau seperti disarankan berulang kali oleh sinode yang baru saja berakhir untuk belajar mendengarkan mereka yang ada di pinggiran yang biasanya kurang didengar, belajar untuk tidak lupa bersyukur.

Saudara-saudara sekalian, dalam banyak budaya, kalau seseorang kelihatan mulai kacau hidupnya, mulai miring-miring jalannya atau kalau uskup mitranya mulai miring, biasanya orang mengatakan dia lupa diri. Sebaliknya kepada orang-orang seperti itu, biasanya nasihat yang diberikan dalam banyak budaya adalah “ingat”. Kalau orang Jawa bilang “Eling”. Ingat yang dimaksudkan di sini bukan sekadar ingat akan peristiwa kronologis tertentu, lahir tahun berapa dan sebagainya. Yang dimaksudkan kiranya adalah ingat, “eling” akan jatidirimu, akan sejarah keselamatanmu, akan struktur dasar hidup Kristiani kita. Ingat pada pengakuan penuh syukur kepada Allah bahwa ialah yang lebih dahulu mengasihi kita.

Mari kita tidak lupa untuk dengan rendah hati selalu bersyukur. Karena dari pada-Nya akan lahir kesiapsediaan untuk selalu berbuat baik dengan sukacita dan dalam kerendahan hati.

Saudara-saudari sekalian yang terkasih,

Semoga setelah tahun yang istimewa ini, setelah perayaan 100 tahun KWI ini, setelah kunjungan apostolik Paus Fransiskus yang membawa banyak berkat dan sukacita, setelah proses sinode sejak 2021 yang lalu, semoga pada hari-hari ke depan, ekaristi syukur dan kesiapsediaan melakukan segala perbuatan baik senantiasa mewarnai hidup kita, mewarnai perjalanan KWI untuk terus berjalan bersama, membangun Gereja dan bangsa sebagai peziarah pengharapan.

Di Gondangdia membeli sarapan. Bubur Betawi dicampur teri. Mari bersama bergandeng tangan untuk Gereja dan untuk negeri.

Tuhan memberkati.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *