Gembalakanlah Domba-domba-Ku!

Bersamaan dengan Hari Raya Kenaikan Tuhan, Kamis, 9 Mei 2024, di Gereja Paroki Katedral Kristus Raja Kupang, Mgr Hironimus Pakaenoni ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Agung Kupang menggantikan Uskup Agung sebelumnya, Mgr Petrus Turang. Mgr Hironimus ditahbiskan oleh Nunsius Apostolik Mgr Piero Pioppo.

Setelah menyampaikan salam hormat kepada tetamu yang hadir, Mgr Hironimus menyampaikan sambutannya. Berikut petikan sambutannya.

Puji syukur tak terhingga patut kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan Maha Baik, karena berkat rahmat-Nya yang tak terselami Ia sudi memandang hamba-Nya yang hina, yang rapuh dan bersahaja ini, seraya mempercayakan martabat mulia kepada saya sebagai gembala kawanan umat-Nya di wilayah Keuskupan Agung Kupang melalui penetapan Bapa Suci Paus Fransiskus serta upacara pentahbisan episkopal hari ini.

Siapakah aku ini sehingga Tuhanku berkenan memilihku? Mengapa saya? Tidak adakah orang lain yang lebih baik, lebih pantas untuk martabat dan jabatan ini.  Demikianlah beberapa pertanyaan yang sempat berkecamuk dalam benak saya selama beberapa waktu terakhir hingga menjelang peristiwa iman pentabisan hari ini.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya coba bertolak dari dialog cinta yang mendalam antara Yesus dan Petrus. Darinya muncul kata-kata Yesus yang saya jadikan moto episkopal saya. Mengapa hanya kepada Simon Petrus saja Yesus bertanya, “Apakah engkau mengasihi aku?”, meskipun murid-murid yang lain juga ada dan hadir pada saat itu? Adakah kualitas-kualitas insani istimewa yang hanya dimiliki oleh Simon Petrus? Dan jawabannya memang ternyata tidak. Bukan keunggulan kualitas insani. Sebaliknya, justru kerapuhan insani Simon Petrus dan kesadaran akan kerapuhan itulah alasan keterpilihannya.

Selanjutnya karena merasa telah mendapatkan cinta, belas kasih, kerahiman, pengampunan dan penebusan yang jauh lebih besar dari tangan Sang Maha Dermawan jika dibanding dengan rekan-rekannya yang lain, Petrus pun bertekad memberikan balasan yang kurang lebih setimpal terhadap kasih dan kerahiman Sang Guru. “Tuhan, Engkau tahu segala-galanya. Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Dengan ini menjadi jelas bahwa sebagaimana Simon Petrus dahulu, demikian juga saya yakin dan sadar bahwa bukannya berbagai kehebatan, keunggulan dan prestasi-prestasi pribadi, melainkan cinta kasihlah dasar utama keterpilihan saya oleh Sang Gembala Agung dan Utama. “Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Dengan ini saya sekaligus teringat akan kata-kata Santo Paulus, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi kalau aku tidak punya kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan, dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.”

Saudara-saudara, saudariku yang terkasih,

Selanjutnya mengenai moto episkopal yang saya pilih Pasce Oves Meas,  Gembalakanlah Domba-dombaku! Saya coba menghubungkan moto ini dengan tiga godaan iblis terhadap Yesus di padang gurun dengan tujuan untuk membuat kontras antara cara kita tergoda melakukan pelayanan satu sama lain dengan cara Yesus memanggil Petrus, untuk menjalankan tugas pelayanan.

Hal pertama yang saya catat adalah bahwa, sementara Yesus mengarahkan perhatian Petrus pada kasih-Nya, kepada Dia, pada umumnya kita justru cenderung memusatkan perhatian pada relevansi diri kita sendiri terhadap kebutuhan orang-orang lain di sekitar kita.

Pertanyaan Yesus kepada Petrus bukanlah apa gelar akademis, apa profesi, apa prestasi, apa kehebatan dan keunggulan Anda, berapa banyak pencapaian dan kesuksesan yang telah Anda raih? Bukan itu pertanyaan Yesus. Sebaliknya Yesus bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku? Apakah engkau sungguh mengenal Allah yang menjadi daging? Begitu jugalah untuk kita, untuk saya.

Pertanyaan pertama yang paling penting saat kita dipanggil untuk menggembalakan kawanan domba bukanlah tentang kompetensi manusiawi kita, melainkan tentang cinta kasih kita. Apakah kita sungguh mencintai Yesus?

Yang kedua, “Gembalakanlah domba-domba-Ku!” tersirat juga dalam kata-kata Yesus ini, “Berilah makan domba-domba-Ku!” Pertanyaannya ialah bagaimana caranya seorang gembala memberi makan kawanan dombanya. Dari narasi Injil Yohanes pasal 6 tentang Yesus sebagai Roti Hidup yang turun dari surga, tersirat sekurang-kurangnya dua cara bagaimana para gembala Gereja memberi makan kawanan anak dombanya. Pertama, melalui pelayanan Sabda atau Firman. Yang kedua, melalui pelayanan sakramen-sakramen, khususnya sakramen ekaristi mahakudus.

Dalam prolog injilnya, Yohanes antara lain berkata “Firman itu telah menjadi daging dan diam di antara kita. Dan kita telah melihat kemuliaan-Nya yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Hal ini berarti bahwa kata-kata firman, hikmah atau kebijaksanaan Ilahi yang setiap kali disampaikan para gembala kepada kawanan domba itu sesungguhnya kini telah menjadi daging dan tinggal di antara kita. Dialah Roti hidup yang turun dari surga. “Barang siapa makan Roti ini, ia akan hidup selama-lamanya”. Melalui perayaan ekaristi, Firman yang menjadi daging sebagai santapan kehidupan itu diterima dan dinikmati secara melimpah oleh seluruh umat beriman melalui pelayanan para gembala Gereja.

Yang ketiga, tugas yang dipercayakan Kristus kepada Petrus ini adalah tugas yang sangat bersahaja yakni menggembalakan, yang sama sekali jauh dari nuansa spektakuler dan gagah-gagahan, apalagi dengan motif dan tujuan untuk mencari popularitas pribadi.

Gembala bukanlah sebuah profesi mentereng dan menggiurkan yang diminati kebanyakan orang sejak zaman Yesus hingga kini. Tugas penggembalaan untuk memimpin dengan memberi makan kawanan domba juga bukanlah tugas yang dijalankan sendiri-sendiri oleh masing-masing individu, melainkan dilakukan bersama-sama. Bukan hanya satu bintang yang bersinar terang demi menerangi seluruh jagad. Sebaliknya, kita selalu dan akan selalu berjalan bersama.

Lebih dari itu kita juga senantiasa saling peduli dan saling melayani satu sama lain dalam kerjasama dengan semua saja yang berkehendak baik demi kebaikan dan kesejahteraan banyak orang.

Singkatnya kita tidak ingin memperlakukan pelayanan sebagai pertunjukan diri sendiri yang spektakuler, melainkan sebagai gembala biasa dalam komunitas beriman, di mana kita berbagi bukan terutama produk-produk mengkilap dan gemerlap, melainkan diri kita sendiri dalam semangat kesalingan. Dengan demikian semangat saling berbagi juga berarti berani menyerahkan hidup kita sendiri, menjadikan iman dan keraguan, harapan dan keputusasaan, sukacita dan kesedihan, keberanian dan ketakutan kita sendiri tersedia bagi orang lain sebagai cara untuk terhubung dengan Tuhan kehidupan. Sesungguhnya, pelayanan adalah sebuah misteri di mana kita menjadikan cinta kita yang sering terbatas dan sarat pamrih sebagai pintu gerbang bagi cinta Tuhan yang tidak terbatas, tanpa syarat dan tanpa pamrih apapun.

Yang keempat, dalam ayat-ayat terakhir perikop Injil Yohanes di dalamnya terdapat moto yang saya pilih. Yesus juga berkata kepada Petrus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya ketika engkau masih muda, engkau mengikat pinggangmu sendiri dan berjalan ke mana saja kau kehendaki.Tetapi jika engkau sudah tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau serta membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki”. Sangat kontras dengan kisah pencobaan terhadap Yesus di padang gurun. Pernyataan ini sesungguhnya berkaitan erat dengan godaan ketiga, yakni yang sering juga kita alami dalam upaya saling melayani, yakni keinginan akan kuasa dan kontrol.

Ketika kita saling mencintai, saling peduli dan melayani di dalam gereja, kita sering tergoda untuk memegang kuasa dan kendali. Tetapi Yesus memberitahu Petrus bahwa jalur gembala bukanlah jalur di mana kuasa dan kontrol semakin banyak diperoleh. Tetapi justru sebaliknya semakin banyak diserahkan dengan konsekuensi akhir adalah kematian sebagaimana dialami Petrus sendiri.

Hal ini berarti bahwa arah pelayanan dalam Gereja Kristus sangatlah kontras dan berbeda dari yang cenderung kita pikirkan. Dalam pelayanan publik-Nya, Yesus tidak menggunakan kuasa dan pengawasan melekat atas para simpatisan dan pengikut-Nya. Namun, pelayanan-Nya yang tulus dan rendah hati dengan wibawa dan otoritas Ilahi yang dimiliki-Nya merupakan daya tarik yang demikian mempesona bagi jutaan pria dan wanita seantero dunia.

Hal ini juga berarti bahwa cara pelayanan membentuk kita jauh lebih dalam dari apa yang cenderung kita percayai. Spiritualitas pelayanan kita tidak lain dari spiritualitas kenosis, pengosongan diri yang berpuncak pada Kalvari, yakni kesediaan untuk mati bersama Yesus, persis seperti apa yang pernah dijanjikan Petrus, namun yang kemudian gagal dilakukannya. Di sini Sang Guru dan Gembala Agung memberitahu Petrus tentang apa yang akan membuatnya mampu memberikan hidupnya untuk Kristus dan hal yang akan dilakukannya adalah menjalani pola konsisten untuk mati bagi dirinya sendiri setiap saat demi kawanan dombanya. Inilah tanah dan lahan latihan yang dibutuhkan Petrus. Dan ini berarti bahwa bahkan ketika Petrus adalah gembala yang berkorban untuk kawanan domba, namun kawanan domba juga turut membentuknya bahkan sekian sering justru melayaninya.

Foto: Tangkapan Layar Youtube Komisi KOMSOS KWI

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *