Wates, Kulon Progo – Tepat pada tanggal 24 Mei 2024 saat Ensiklik Laudato Si’ berusia 9 tahun, dan pada Hari VI Pekan Laudato Si’ 2024, KTP Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Paroki St. Maria Bunda Penasihat Baik, Wates menyelenggarakan Program Garapan yakni Seminar tentang Ensiklik Laudato Si’. Rosulus Ery Widianto, selaku Ketua KPKC Paroki Wates berkoordinasi dan bersinergi dengan Kabid Pelayanan Kemasyarakatan Paroki Wates, Sudarsono, serta KTP PSE, Sigit S, dan Kerawam, Surjiyanto menjelaskan betapa pentingnya mengembangkan Pelayanan KPKC sesuai prinsip Ensiklik Laudato Si’.
Seminar ini sedikitnya diikuti oleh 105 peserta, terdiri dari para anggota Dewan Pastoral Pleno Paroki Wates, utusan Lingkungan-Lingkungan, dan umat yang berminat. Menariknya, acara ini juga diikuti beberapa mahasiswa-mahasiswi PGRI Kulon Progo, bahkan ada satu peserta istimewa yakni Etik, seorang Muslimah yang memberi warna interreligius seminar tersebut.
KTP KPKC memberikan kepercayaan kepada Romo Aloys Budi Purnomo Pr selaku Pastor Paroki sebagai narasumber sesuai dengan kompetensinya. Dalam seminar tersebut, Romo Budi menjelaskan gagasan dasar Ensiklik Laudato Si’ tentang ajaran Paus Fransiskus untuk perawatan Bumi, rumah bersama. Romo Budi mengawali presentasinya dengan mengajak peserta untuk menyanyikan lagu “Laudato Si’ Mi Signore” yang dia ciptakan berdasarkan Ensiklik Laudato Si’ artikel 1-2.
Dalam artikel tersebut, Paus Fransiskus mengajarkan, “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan. Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan. Ia ‘mengeluh dalam rasa sakit bersalin’ (Roma 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri berasal dari debu tanah (Kejadian 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari unsur-unsur yang sama dari bumi, dan udaranya memberi kita nafas serta airnya menghidupkan dan menyegarkan kita.”
Itulah realitas krisis ekologi yang saat ini dihadapi semua orang. Paus Fransiskus merespons krisis ekologi dengan keprihatinan mendalam dan mendorong semua orang apa pun agama dan kepercayaannya untuk merawat Bumi kita dan peduli kepada kaum miskin. Dalam Ensikliknya, Paus Fransiskus membuka mata kita semua atas realitas yang terjadi yakni, polusi dan perubahan Iklim, polusi, limbah, dan budaya membuang, iklim sebagai kebaikan bersama, terjadi masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, tanggapan-tanggapan yang lemah dan keragaman pendapat para pemimpin dunia (Bab I Ensiklik Laudato Si’).
Dengan bersumber dari Injil yang menawarkan cahaya iman melalui hikmat cerita-cerita Alkitab tentang Misteri Alam Semesta serta Pesan Setiap Makhluk dalam Harmoni Seluruh Ciptaan dan Persekutuan Universal kita diajak untuk memahami tujuan umum harta benda demi kesejahteraan umum. Perawatan Bumi dapat dilakukan sesuai tatapan Yesus terhadap alam semesta dan sesama (Bab II Ensiklik Laudato Si’).
Selanjutnya, Paus Fransiskus menjelaskan akar penyebab krisis ekologi. Di antaranya, dilema teknologi antara kreativitas dan kekuasaan, globalisasi paradigma teknokratis, krisis dan dampak Antroposentrisme Modern, relativisme praktis, kebutuhan untuk melindungi pekerjaan dan teknologi biologi yang baru (Bab III Ensiklik Laudato Si’).
Paus Fransiskus menawarkan ajaran tentang pentingnya merawat Bumi dengan prinsip Ekologi İntegral. Ekologi ini mencakup ekologi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial, Ekologi Budaya, dan Ekologi Hidup Sehari-hari. Semua itu berguna untuk mengembangkan Prinsip Kesejahteraan Umum dan Keadilan Antargenerasi (Bab IV Ensiklik Laudato Si’).
Dalam Bab V Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus memberikan beberapa pedoman orientasi dan aksi untuk perawatan Bumi. Pedoman itu meliputi dialog tentang Lingkungan Hidup dalam Politik Internasional, Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal, Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan, Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia dan pentingnya Agama-agama dalam Dialog dengan Sains.
Akhirnya, Ensiklik Laudato Si’ mengajarkan pentingnya pendidikan dan spiritualitas ekologis. Hal itu mencakup: pendidikan menuju Gaya Hidup yang Baru, Pendidikan untuk Perjanjian antara Manusia dan Lingkungan Hidup, Pertobatan Ekologis, Kegembiraan dan Damai, Cinta dalam Ranah Sipil dan Politik, Tanda-tanda Sakramental dan Istirahat yang Dirayakan, Allah Tritunggal dan Hubungan Antara Makhluk dan ajaran tentang Ratu Seluruh Dunia Ciptaan yang Melampaui Matahari. Ensiklik Laudato Si’ ditutup dengan Doa untuk bumi kita dan Doa umat Kristiani bersama semua makhluk (Bab VI Ensiklik Laudato Si’).
Itulah yang dipresentasikan Romo Budi tentang Ensiklik Laudato Si’. Selanjutnya Romo Budi memberikan salah satu contoh gerakan ekologi Komunitas Pegunungan Kendeng Utara (KPKU) sebagai gerakan ekologi yang sesuai Ensiklik Laudato Si’. Dengan contoh tersebut, di akhir presentasi Romo Budi mengajak peserta untuk bertanya diri: Bagaimana Paroki Wates mewujudkan spiritualitas Ensiklik Laudato Si’?
Atas presentasi dan pertanyaan tersebut empat penanggap menyatakan perlunya aksi nyata pasca-seminar sesuai pengalaman mereka. Mereka adalah Pak Gi, Bu Etik, Pak Sigit, dan Pak Kadi. Aksi bersama yang dirancang oleh KPKC adalah pengumpulan dan penanaman pohon buah di Taman Doa Kokap, Taman Doa Temon, Gereja Wates, dan lahan Tayuban.
Romo Aloys Budi Purnomo, Pr