“Dalam doa yang dipanjatkan Yesus kepada Bapa, kita mendengar suatu permohonan kepada Bapa agar para murid-Nya, para pengikut-Nya ini dijaga. Dijaga dari yang jahat. Tentu kita bertanya mengapa perlu dijaga? Karena hakikat panggilan, intisari panggilan asal muasal kita, para pengikut Yesus bukan dari dunia ini. ‘Sama seperti Aku bukan dari dunia ini, demikian juga mereka bukan dari dunia ini’”. Demikian Uskup Keuskupan Sanggau, Mgr Valentius Saeng, CP mengawali homili dalam Misa Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-58 di Kapel St. Fransiskus, Gedung KWI, Jakarta, 12 Mei 2024 lalu.
Ia pun melanjutkan, tetapi secara nyata, real, konkret, mereka hidup di dalam dunia. “Karena itu risiko bahwa mereka akan hilang, mereka akan tersesat, mereka akan jatuh dalam kejahatan itu ada. Karena itulah Yesus memohon kepada Bapa-Nya agar para pengikut-Nya dilindungi dari yang jahat supaya mereka sama seperti Dia yang diutus Bapa dapat menjalankan perutusan mereka untuk mewartakan karya keselamatan yang telah dilakukan Bapa melalui Yesus Kristus,” katanya.
Dengan kata lain, lanjut Uskup yang kerap disapa Mgr Valen, para pengikut Yesus itu tidak berhenti dalam pengenalan akan Kristus untuk kepentingan pribadi, melainkan mereka dipanggil untuk melanjutkan karya penyelamatan dan karya keselamatan ini dan mewartakannya kepada semua orang. “Kita melihat di sini ada satu tugas, tugas misioner, tugas perutusan bagi setiap murid Kristus. Dan doa ini akan Dia wujudnyatakan ketika Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus dan mengutus mereka untuk pergi ke seluruh dunia dan membaptis mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Dengan kata lain hakikat Gereja itu bersifat misioner,” katanya.
Menurutnya, tugas perutusan misioner tersebut mensyaratkan sesuatu hal yang sangat penting yaitu komunikasi. “Karena kita tidak mewartakan kebenaran Allah, kebenaran Ilahi ini dengan membisu,melainkan kita berkomunikasi, berbicara, berdialog, berjumpa, bertemu dengan setiap orang untuk mewartakan kebenaran Ilahi. Dan kebenaran Ilahi yang terbaru yang kita miliki adalah konsep kita, pemahaman tentang siapakah Allah. Karena dalam tradisi Yahudi, Allah dipahami sebagai yang adil. Karena itulah setiap dosa yang kita lakukan itu langsung mendapat hukuman, sehingga sejarah Israel adalah sejarah Allah yang kejam,” katanya.
Sementara itu, menurutnya, pemahaman akan Allah yang dibawa Yesus adalah Allah yang memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat, hukum proses. Allah memberi pengampunan. “Manusia tidak dengan sendirinya sudah baik, manusia menjadi baik. Karena itulah ruang untuk menjadi baik ini diisi dengan sikap mengampuni, sehingga Allah kita mewujudkan kasih-Nya pertama-tama dengan memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat. Untuk bertobat. Untuk berdamai. Karena selama kita masih hidup dalam tulang dan daging dengan segala pikiran, kepentingan dan ambisi, risiko untuk kita berkonflik dengan siapa saja termasuk dalam komunitas, dengan semangat kompetisi yang luar biasa, kita bisa mengorbankan orang lain sehingga komunitas terluka, terpecah belah,” katanya.
Menurutnya, pemahaman yang dibawa Yesus bahwa Allah tidak langsung menghukum kita adalah penting. “Allah tidak langsung menghukum Anda. Barang siapa di antara Anda yang tidak berdosa hendaklah dia melemparkan batu yang pertama. Dia beri ruang untuk setiap kita merenung, untuk tidak langsung menjatuhkan seseorang,” ungkapnya.
Menurutnya, kebenaran Ilahi bahwa Allah adalah kasih, Allah yang memberikan kesempatan kepada kita, tidak boleh disimpan hanya untuk sendiri. “Dia harus kita wartakan. Dia harus kita beritakan dalam nama-Nya. Dalam hal inilah kemudian kita memaknai Hari Komunikasi Sosial Sedunia ini sebagai momen bagi kita sekalian untuk memanfaatkan semua media yang tersedia demi pewartaan kabar gembira yaitu yang pertama-tama Allah adalah kasih. Allah yang mengampuni di tengah hukum dunia yang sarat dengan balas dendam, dengan kekerasan, bahkan kekerasan atas nama Tuhan,” katanya.
Ia pun menandaskan, panggilan orang Kristiani, orang Katolik, menjadi sangat urgen dalam situasi yang tidak menentu ini, “dalam semangat kompetisi yang tidak beretika, dan dalam kehidupan bersama yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kemanusiaan dan persaudaraan”.
“Maka, dari atas altar ini saya mengundang kita, umat Katolik, untuk menggunakan semua media komunikasi bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebisa mungkin, entah dengan cara lucukah lewat Tiktok, tapi kita memberikan sentilan-sentilan, kritik-kritik sosial terhadap situasi yang tidak menentu ini,” katanya. Menurutnya, media tidak hanya sekadar media hiburan untuk cari followers dan subscribers, sehingga dapat pemasukan, tetapi sungguh dipakai untuk mewartakan Allah yang adalah kasih.
Mgr Valen pun menyoroti terjadinya perang, kekerasan, pembunuhan maupun persekusi. Hal itu terjadi karena yang jahat memang menginginkannya. “Di mana ada kejahatan, di situ ada keuntungan, di situ ada kekuasaan, di situ ada kepentingan. Dan yang yang dilawan setan itu bukan kita. Yang dilawan setan itu Kristus Yesus sendiri. Karena apa? Karena Kristus Yesus sendiri itu hidup di dalam kita masing-masing,” tuturnya.
“Ketika Dia berkata kepada Paulus, ‘Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?’ Yang dianiaya Saulus bukan Yesus, tetapi jemaat perdana. Tetapi Yesus mengidentikan diri-Nya dengan jemaat-Nya, karena ini, pertarungan ini adalah pertarungan kekuatan antara yang baik dan yang jahat. Dan dalam situasi yang demikian inilah kita dipanggil untuk menerangi dunia lewat nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kejujuran, nilai-nilai kebenaran, demokratisasi, toleransi, persaudaraan,” katanya.
Mgr Valen berharap, kita bersama bahu membahu untuk mewartakan kebenaran Ilahi ini bagi masyarakat, supaya Indonesia menjadi tanah damai. “Tanah yang toleran, tanah yang penuh persaudaraan seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa ini. Sebab secara tidak sadar kita sudah terpecah belah, terkotak-kotak selama berpuluh-puluh tahun ini karena masalah suku, agama, ras, antar golongan. Dan itu menjadi kanker yang dari hari ke hari itu semakin berat,” katanya.
Menurutnya, kalau kita tidak memotongnya, “mungkin 50 tahun ke depan Indonesia tidak ada lagi. Ini penting kita ingat.”
Mgr Valen pun berharap, Hari Komunikasi Sosial Sedunia itu sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk kebaikan bersama, “mewartakan kebenaran Tuhan, dan terutama solidaritas Tuhan untuk kita sekalian, sehingga semua kita juga harus solider dari satu sama lain, memperjuangkan keadilan sosial dalam kehidupan bangsa ini”.