Earth Hour adalah kegiatan mondial tahunan yang digagas oleh World Wide Fund for Nature (WWF). Kegiatan ini dselenggarakan setiap Sabtu terakhir bulan Maret setiap tahunnya. Pada saat itu, selama 1 jam, warga diharapkan untuk memadamkan lampu dan piranti elektronik pada pukul 20.30-21.30 waktu setempat.
Meski sama-sama mematikan lampu dan piranti elektronik selama satu jam, masing-masing tempat dan negara mempunyai cara dan tradisi yang berbeda dalam melakukan Earth Hour. Hal ini dilakukan sesuai dengan konteks lokal setempat.
Gereja Katolik di Indonesia bersama Kardinal, Uskup, imam, bruder, suster, dan umat Allah menyelenggarakan Earth Hour yang dikemas dalam doa rosario secara daring 23 Maret 2024. Tajuk acaranya adalah “Rosario Earth Hour 2024 ‘Bersama Maria Berdoa untuk Bumi’”
Doa rosario yang diikuti peserta dari berbagai tempat di Indonesia ini, diperkaya dengan renungan-renungan ekologis.
Uskup Keuskupan Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur, OFM mengatakan, acara tahunan Earth Hour yang digagas World Wild Fund (WWF) adalah sebuah kegiatan bersama warga dunia yang prihatin atas makin rusaknya bumi ini. “Simbolnya sederhana yaitu mematikan listrik selama 1 jam saja pada tanggal 23 Maret ini. Yang dituju bukan hanya jumlah energi yang bisa dihemat manusia, tetapi terbangunnya kesadaran dan kepedulian terhadap nasib bumi seisinya. Bisa dikatakan Earth Hour menjadi sinyal tambahan selain hari-hari peringatan lingkungan hidup lainnya, agar gerakan peduli bumi dapat semakin besar,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Mgr Paskalis mengingatkan, bahwa umat Katolik adalah juga penghuni bumi dan bahkan Tuhan memanggil kita untuk memelihara bumi. “Sang Pencipta itu memanggil kita untuk memelihara Ibu Bumi. Maka sudah sewajarnya kita berpartisipasi dalam Earth Hour ini. Partisipasi bisa dilakukan dengan cara lebih mendalam karena di satu sisi Earth Hour bisa dijadikan sebagai waktu spiritual, artinya kita mau menghayati maknanya lebih dalam ke dalam cakrawala spiritualitas kristiani. Karena itu, partisipasi yang pertama pada waktu listrik dan lampu dipadamkan bisa menggunakan kesempatan itu untuk berkumpul, merenung dan berdoa bersama untuk bumi kita ini. Salah satu bentuk kegiatannya ialah berdoa Rosario bersama yang dalamnya diisi dengan renungan iman dalam kaitan dengan nasib bumi ini. Inilah partisipasi kita yang boleh dikatakan lebih rohani dan dengan demikian bisa menambah kekayaan iman kita,” ungkapnya.
Selain itu, ia menambahkan, mengingat makin parahnya kehancuran bumi dan masih belum adanya kepedulian manusia, maka doa rosario yang dipilih adalah dengan memakai peristiwa-peristiwa sedih dalam tradisi doa rosario. “Karena itu pula tema, Rosario ini adalah “Bersama Maria Berdoa untuk Dunia”. Dalam kesempatan doa Rosario ini ada renungan, ada juga waktu untuk berefleksi, disiapkan juga lagu-lagu yang berkaitan dengan ibu bumi dan juga didorong agar terjadi pertobatan yang kita sebut pertobatan ekologis,” katanya.
Melalui acara tersebut, Mgr Paskalis berharap, “dengan kita berpartisipasi dalam Earth Hour ini, dengan berdoa, kita akhirnya menemukan makna yang terdalam dari keterlibatan kita. Selamat berdoa bagi dunia, semoga kita dikuatkan untuk melakukan hal yang praktis menyelamatkan bumi-dunia ini.”
Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasinya atas kegiatan tersebut. “Moga-moga kita dapat melakukan sesuatu sekecil apapun untuk terus merawat dan melestarikan bumi kita,” harapnya.
Selain renungan ekologis yang dibacakan pada setiap peristiwa, Pastor Yohanes Wahyu Prasetyo, OFM juga menyampaikan refleksi secara umum. Berikut ini adalah renungan yang disampaikannya:
Saudari dan saudaraku yang terkasih di manapun Anda berada,
Dalam rangka memperingati Earth Hour yang jatuh pada 23 Maret, saya ingin membagikan refleksi pribadi saya.
Saudari dan saudara, ketika kita berbicara tentang bumi, kita tidak bisa melepaskannya dari keberadaan manusia dan juga ciptaan lainnya. Saya merenungkan tiga hal ini.
Yang pertama, bagaimana dampak ketika manusia yang hidup tinggal, ada di bumi itu mengabaikan nilai-nilai spiritual?
Saudari dan saudara, perlu diketahui dan harus ditanamkan di dalam diri kita bahwa setiap spesies itu mempunyai nilai, mempunyai makna dalam dirinya sendiri, sehingga kita sebagai manusia tidak bisa mereduksinya secara semena-mena. Nah, terkait hal ini juga, penting bagi kita sebagai makhluk sosial yang berhadapan
dengan sesama untuk memberikan perhatian kepada orang-orang miskin, mereka yang lemah.
Pada tataran yang lebih lanjut, Saudari dan Saudaraku yang terkasih, kita tahu bahwa bumi rumah kita bersama berada di dalam krisis. Kita bisa menyebutnya sebagai krisis lingkungan ataupun juga degradasi ekologis. Nah, dalam mengurai persoalan yang ada perlu diadakan suatu dialog-dialog di antara sesama manusia dalam rangka apa? Sekali lagi, menangani krisis lingkungan. Karena persoalan ekologi yang terjadi dewasa ini, entah itu bencana alam, air yang semakin sulit didapatkan terutama oleh orang-orang yang miskin, oleh orang-orang yang lemah; cuaca panas yang terjadi secara tidak wajar ini harus dilakukan, diupayakan, ditanggulangi secara bersama-sama.
Nah, dalam konteks kita sebagai orang Kristiani, menjaga dan juga merawat ciptaan, memelihara bumi ini, memang harus dilakukan secara terus-menerus dan ini juga dilakukan dalam terang komitmen iman. Manusia yang beriman kepada Allah yang adalah kasih wajib, mutlak untuk senantiasa mempunyai kesadaran untuk menjaga dan merawat ciptaan.
Lalu pada tataran konkret memang harapannya, kita sebagai orang Kristiani terlibat dalam dinamika sosial dan juga politik tentu dalam batas-batas yang wajar, dalam batas-batas yang tidak melanggar hak yang lain, entah itu sesama manusia dan juga ciptaan lainnya. Selain itu memang keterlibatan dalam dinamika sosial politik ini mempunyai pengaruh besar. Harapannya demikian terutama dalam menentukan kebijakan yang berpihak kepada lingkungan, berpihak kepada orang-orang yang kecil.
Saudari dan Saudara, yang tidak kalah pentingnya misalnya di dalam dunia pendidikan, entah itu di sekolah maupun di kampus. Pendidikan ekologi idealnya itu sungguh-sungguh mendapat perhatian dan di sana diharapkan para pendidik secara tekun dan setia mempromosikan gagasan, mempromosikan ide tentang ekologi integral. Ekologi integral ini kan terkait dengan kesadaran bahwa manusia yang hidup di bumi ini tidak terpisah dari ciptaan lainnya. Setiap makhluk hidup itu terhubung, terkait satu dengan yang lain. Itu poin pertama yang ingin saya sampaikan bagaimana ketika manusia mengabaikan nilai-nilai spiritual, maka dia akan cenderung egois, dia akan cenderung individualis dan tidak memikirkan lingkungan, tidak memikirkan orang-orang yang menderita karena terdampak dari ulah sesamanya yang rakus, ulah sesamanya yang arogan.
Lalu poin kedua yang menurut saya penting untuk kita refleksikan bersama yaitu terkait dengan perubahan iklim. Saudari dan Saudara, ketidakpedulian sosial yang nampak melalui sikap tamak dari segelintir orang yang mengeksploitasi bumi itu mengakibatkan perubahan iklim. Misalnya pembabatan hutan yang tiada hentinya dan juga eksploitasi benda-benda bumi yang dinilai sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kekayaan itu berdampak pada perubahan iklim, sehingga tidak mengherankan di sejumlah tempat itu terjadi cuaca panas yang sangat mengerikan dan juga di tempat lain terjadi banjir yang sangat merugikan.
Nah, ketidakpedulian sosial ini juga berdampak pada kehidupan, sekali lagi, orang-orang yang miskin, orang-orang yang lemah, orang-orang yang menderita. Mereka sudah susah dan ditambah dengan fenomena alam yang terjadi karena ketidakpedulian sosial, kehidupan mereka semakin mengerikan dalam arti mereka tidak bisa hidup dengan baik, menikmati air yang bersih, makan makanan yang cukup, mendapatkan ruang hidup yang memadai. Mereka kehilangan itu semua.
Nah, terkait hal ini, Saudari dan Saudara, kita juga sebenarnya diingatkan untuk memberikan perhatian kepada saudari-saudara kita, sebut saja masyarakat adat. Kita diminta untuk memberikan perhatian kepada masyarakat adat dan juga tradisi budaya mereka. Selain itu kita juga diminta untuk memikirkan bagaimana generasi yang akan datang, generasi mendatang. Mari kita mewariskan mata air yang cukup untuk mereka, bukan air mata.
Sekali lagi, Saudari dan Saudara, kita berhadapan dengan fenomena yang tidak gampang, terutama karena bumi kita saat ini sedang memanas, ditambah lagi dengan polusi yang setiap hari kita rasakan, kita alami bersama. Memang, eksploitasi terhadap bumi menguntungkan segelintir orang, tetapi ya seperti itu, sangat merugikan banyak orang. Ditambah lagi dengan budaya instan dan juga melihat diri sendiri sebagai pusat segala sesuatu. Hal ini juga memperparah situasi dan kondisi yang ada.
Maka, ketika berhadapan dengan perubahan iklim, Saudari dan Saudara, perlu dilakukan suatu perubahan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak yang lebih ekologis. Perlu mengatasi persoalan lingkungan secara terperinci dan ini bukan tugas yang gampang. Ini tugas dan tanggung jawab yang berat, yang harus kita pikul bersama-sama.
Lalu yang terakhir, saya ingin menunjukkan, Saudari dan Saudara, bagaimana relasi manusia dengan lingkungan yang ideal. Saudari dan Saudara, kita dewasa ini berhadapan dengan fenomena di mana terjadi kehidupan politik yang tidak sehat. Kehidupan politik yang justru merongrong lingkungan hidup. Hal ini nampak ketika kebijakan-kebijakan yang dibuat sangat eksploitatif, sangat merugikan lingkungan, sangat membahayakan eksistensi keberadaan lingkungan. Saya menyebutnya sebagai logika perampasan. Niat untuk merampas, niat untuk merampok bumi dan untuk memperkaya diri ini menjadi suatu candu yang dilakukan secara terus-menerus. Maka seperti yang saya katakan di awal tadi, keterlibatan kita di dalam bidang sosial dan juga politik itu penting dalam kerangka menentukan suatu kebijakan, sehingga kita jangan pernah diam berhadapan dengan fenomena-fenomena ini.
Lalu penyakit lain tentang relasi manusia dan lingkungan ini adalah kebiasaan manusia, budaya manusia mengecualikan diri dan tidak mau merangkul yang lain. Mengecualikan diri dalam rangka ketika sudah merusak lingkungan, ya sudah, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Dia mengecualikan diri, tidak mau merangkul yang lain. Seyogyanya kan ketika berhadapan dengan persoalan itu kan kita saling merangkul. Kita menyelesaikan persoalan yang ada secara bersama-sama.
Saudari dan Saudara, ketika kita merenungkan keberadaan kita di tengah-tengah bumi ini, kita disadarkan bahwa bumi ini sungguh-sungguh rumah kita bersama. Kita disadarkan bahwa eksistensi planet, keberadaan planet ini sangat berarti untuk kehidupan kita. Maka kita bisa menyebut bahwa bumi ini merupakan ibu bagi kita semua. Bumi ini adalah ibu yang memberikan makan dan menghasilkan berbagai macam buah serta tumbuhan yang tentunya bermanfaat untuk kehidupan manusia. Sehingga Saudari dan Saudaraku yang terkasih, segala sesuatu yang ada di bumi ini saling terhubung, tidak terpisah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini saling terkait. Maka, sekali lagi dalam kerangka mengejawantahkan semangat sadar akan lingkungan, kecintaan kita pada lingkungan, maka penting dalam kehidupan sehari-hari, kita menerapkan ekologi sehari-hari, menggunakan secukupnya, menggunakan listrik secukupnya, menempatkan sampah pada tempatnya, dan sebisa mungkin mengelola sampah dan masih banyak hal yang bisa kita lakukan.
Dan akhirnya Saudari dan Saudaraku, bumi ini adalah ruang yang sakral. Bumi ini adalah ruang spiritual. Maka, mari kita menghormati bumi rumah kita bersama ini dengan berlaku adil, baik terhadap bumi, lingkungan dan juga sesama kita.
Mari kita berlaku damai di tengah-tengah bumi ini. Dan mari kita menyadari pentingnya keutuhan ciptaan. Demikian refleksi yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa membantu kita semua untuk semakin sadar bahwa bumi kita adalah rumah kita bersama. Terima kasih.