
Oleh ROMO BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Jendela mobil sengaja kami buka agar udara sejuk di pagi hari dapat masuk dan menyegarkan kami yang sedang dalam perjalanan untuk sebuah misi kecil. Kami harus sampai di tempat tujuan pukul lima pagi. Saat itu adalah saat yang tepat untuk menemui mereka karena biasanya pukul enam mereka sudah mulai mengais rejeki di antara tumpukan sampah yang ada di berbagai tempat di kota ini.
Di emperan sebuah toko, kami melihat beberapa tubuh tidur tergeletak beralaskan potongan kardus seadanya. Aku mengartikan keterlelapan mereka sebagai sebuah sikap penyerahan diri pada Sang Pemberi kehidupan. Mereka percaya bahwa Dia akan memberi rejeki pada hari ini, meskipun di tengah kemiskinan kehidupan mereka sehari-hari, meskipun rejeki itu hanya dari kaisan sampah. Kebalikan dari mereka, ada banyak orang sulit tidur disebabkan rasa kuatir yang berlebih karena menghadapi kompleksitas kehidupan meskipun tidur di tempat yang jauh lebih nyaman.
Kami menyapa mereka dengan sapaan pagi, Seorang pria tua terbangun dan menyingkapkan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Kami katakan bahwa kami membawa sarapan pagi untuknya. Dengan tersenyum ia menerima rejeki itu, kemudian ia membangunkan temannya agar menghentikan mimpinya untuk menerima rejeki yang sama yang telah ia terima dari kami. Kemudian kami melanjutkan menyusuri emperan toko yang masih tertutup. Dan kami menjumpai seorang pria tertidur di depan barang rongsokannya. Kami menyapanya dan memberi rejeki, ia tersenyum menerimanya kemudian ia melanjutkan mimpinya.
Selama di dunia ini akan selalu ada orang-orang miskin yang kelaparan, orang tunawisma, sekalipun kita hidup di negara yang secara ekonomi dan teknologi sangat berkembang. Kemiskinan tetap menjadi hal penting untuk menjadi perhatian kita. Berkaitan dengan hal ini Yesus pernah mengatakan bahwa orang miskin selalu ada di sekitar kita (Markus 15:7). Bagi kita sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk peduli kepada mereka. Alasannya bukan hanya sebagai tindakan cinta kasih terhadap sesama tetapi juga cinta kasih kepada Tuhan Yesus karena Yesus menyamakan diri-Nya dengan orang miskin, kelaparan dan yang membutuhkan pertolongan (Matius 25:35-40). Apa pun yang kita lakukan untuk mereka yang terkecil dan miskin, kita melakukannya untuk Kristus. Jadi tidak ada alasan untuk bersikap acuh tak acuh terhadap orang-orang miskin
Sesungguhnya dalam peristiwa natal, Yesus sebagai Penyelamat dilahirkan dalam keadaan miskin dan terlupakan. Ketika St. Yusuf dan Bunda Maria tiba di Betlehem sebelum Yesus lahir, tidak ada tempat bagi mereka sehingga Dia dibaringkan di dalam palungan. Sebuah tempat yang digunakan untuk memberi makan hewan (Lukas 2:7). Kelahiran Yesus menggambarkan kemiskinan dalam bentuknya yang paling miskin
Tuhan Yesus lahir dalam kemiskinan bukan karena kemiskinan adalah tempat yang ideal melainkan karena Dia ingin ambil bagian dalam kemiskinan dan kesulitan yang dihadapi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Dia ingin memasuki kehidupan kita. Dengan demikian manusia dikuatkan karena Ia selalu beserta kita.
Terkadang kita kurang menghayati makna natal yang sesungguhnya karena kita terfokus dalam hal-hal yang bersifat material. Dalam masa natal, kita terfokus untuk memikirkan hadiah apa yang akan kita terima dan berikan kepada anggota keluarga dan teman-teman. Cerita Natal kita didominasi dengan keinginan pribadi yang harus dipenuhi, seperti belanja pakaian baru di super market dengan gila-gilaan karena potongan harga yang gila-gilaan, mengunjungi restoran dengan menu makanan spesial. Dengan demikian masa natal menjadi masa konsumtif secara berlebihan.
Tentu saja tidak salah jika kita menginginkan kisah natal kita dalam kegembiraan dan kebahagiaan bersama keluarga dan teman-teman. Natal selalu mengajak kita untuk bergembira, seperti kata malaikat itu kepada para gembala: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.” (Lukas 2:10-11). Namun kita tidak boleh merayakan natal tanpa peduli degan orang-orang miskin di sekitar kita. Kita tidak hanya memikirkan tentang diri kita sendiri, tetapi juga orang lain yang kurang beruntung. Allah telah datang ke dunia untuk memberikan kasih-Nya bagi seluruh umat manusia dan kita semua dipanggil untuk membagikan kasih-Nya kepada sesama.
Selesai sudah misi kecil kami dalam satu jam di tiga tempat yang lokasinya berdekatan. Kita tidak harus menunggu berlebih jika harus berbagi, tidak harus memberi dalam jumlah yang besar tapi sesuai apa yang kita miliki. Waktu telah menunjukan pukul enam lewat beberapa menit. Lalu lintas pagi hari di Bandung mulai ramai dengan berbagai macam kendaraan. Itu pertanda aktivitas kehidupan sudah dimulai. Aku melihat seorang pria membawa sebuah karung yang masih kosong, belum terisi rejeki dari kaisan di tempat pembuangan sampah. Pikiranku melayang ke sepasang suami istri dengan anak kecil yang digendong ibunya. Mereka termasuk yang kami jumpai dalam misi kecil kami di emperan toko. Keluarga tersebut mengingatkanku akan Keluarga Kudus dari Nazaret. Bersyukur rasanya bisa berbagi dengan mereka meski hanya hal kecil. Terutama beryukur rasanya bisa menjumpai Yesus dalam kemiskinan-Nya di emperan toko.
Semoga Tuhan Allah yang menjelma dalam diri Bayi Yesus mengasihani kita dan semoga kita semua umat manusia menerima berkat dan rahmat-Nya, khususnya pada Natal ini. Selamat merayakan hari kelahiran Sang Juru Selamat kita.
*Penulis adalah Rahib dan Imam, Mount Melleray Abbey – Copaquin. Co. Waterford- Irlandia