MINGGU BIASA XXII
03 September 2023
Bacaan I : Yer 20: 7-9
Bacaan II : Rom 12: 1-2
Bacaan Injil : Mat 16: 21-27
Kebaikan itu sering didiskriminasi dan dibuli
Ada saat, ketika saya sedang nakal-nakalnya sebagai remaja, tidak suka dekat dengan teman yang baik dan suci. Kami membuat kelompok yang ‘berandalan’. Isinya adalah mereka yang hidupnya tidak lurus, suka menjahili teman lain, suka memalak untuk mentraktir jajan, atau meninggalkan pelajaran sekolah untuk bersembunyi merokok. Jika ada teman yang kami nilai baik, kami berusaha menjauhinya. Bukan hanya karena dia berpotensi membuka kenakalan kami, tetapi kebaikannya membuat kami risih dan tidak nyaman lagi. Kebaikan memang sering mendapatkan diskriminasi dan dibuli. Seolah-olah baik itu tidak identik dengan laki-laki remaja yang jantan dan laki banget.
Membayangkan situasi yang dihadapi oleh Nabi Yeremia, pastilah jauh lebih serius. Sebab ini menyangkut kehidupan di tengah masyarakat. Kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh Nabi Yeremia menggelisahkan masyarakat yang cenderung bersikap jahat dan buruk. Yeremia yang sesungguhnya ‘tough’, kuat dan memiliki daya tahan terhadap tekanan, rupa-rupanya dibuat lelah dan rapuh. Dia mengeluh pada Tuhan tentang perutusannya di tengah umat Israel yang dipenuhi dengan kejahatan dan ketidakadilan. Hidupnya merasa terancam oleh tuduhan dan penghakiman mereka yang berperangai jahat. “Engkau telah membujuk aku, ya Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku Kaubujuk. Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku”. Ungkapan yang seolah-olah dia terperdaya oleh rayuan Tuhan, dan ia menyesal. Kebaikan dan kebenaran yang ia suarakan, menjadi cemoohan dan tertawaan. Namun Yeremia jujur pada perutusannya. Ia berusaha membangun sikap tegar dengan ungkapan berikut: “Tetapi apabila aku berpikir ‘Aku tidak mau mengingat Tuhan, dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya’, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup”. Ada seberkas cahaya optimisme untuk tetap baik dan benar, karena ia melihat kans untuk tidak kalah dengan kejahatan. Juga karena ada Tuhan di sampingnya.
Pengalaman Nabi Yeremia sangat mungkin menjadi pengalaman kita masing-masing. Kita meyakini iman yang benar yang mengarahkan kita pada kebaikan dan mendorong kita untuk memberi kesaksian akan semua itu. Namun nyatanya realitas masyarakat yang kita hadapi seringkali membuat kita miris. Sebab kita juga melihat betapa kebaikan itu tidak mendapatkan tempat yang sewajarnya, dan sebab kebenaran itu sering dipelintir dan mencelakakan diri sendiri. Pilihan akan kebenaran dan kebaikan sering mengantarkan kita pada risiko yang siap menghancurkan hidup kita. Dan kita telah melihat betapa benyak orang baik telah tersingkir dari pusaran semarak kehidupan masyarakat. Maka, ayo jangan menyerah pada arus itu, tetaplah berani menantang kejahatan dengan kebenaran dan kebaikan yang kita yakini, yang ditanamkan Allah dalam hidup kita masing-masing.
Romo F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr