Yang Baru dari Konsili Vatikan II Adalah Arahnya Yang Bersahabat

Dokumen pertama yang diterbitkan oleh Konsili Vatikan II adalah tentang liturgi “Sacrosanctum Concilium”. Dan di situ dikatakan niat dari Paus Yohanes XXIII ialah untuk memberikan arah pastoral kepada hidup menggereja. Artinya apa? Sebelumnya mungkin dirasa bahwa Gereja itu, pertama, sibuk dengan dirinya sendiri. Mgr Petrus Bodeng Timang menyampaikan hal tersebut dalam Sarasehan Perayaan Syukur 60 Tahun Berkah Pembaharuan Konsili Vatikan II di  Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta, 15 Oktober 2022.

Menurut Uskup Keuskupan Banjarmasin itu, dalam konsili-konsili sebelumnya, Gereja cenderung untuk melihat mana yang salah, anathema.

“Sejak awal, Paus Yohanes XXIII mengatakan arahnya mesti pastoral. Dan kalau kita membaca dokumen konsili dari dokumen pertama Sacrosanctum Concilium sampai dengan dokumen terakhir Gaudium et Spes, namanya saja itu sudah membawa warna yang baru. Gaudium et Spes, Kegembiraan dan Pengharapan. Kegembiraan pengharapan siapa? Dari seluruh umat manusia,” katanya.

Yang baru dari Konsili Vatikan II, menurutnya, adalah arahnya yang sangat bersahabat. “Jadi, apanya yang baru, yaitu arahnya yang sangat bersahabat, yang sangat lembut, tapi penuh dengan sukacita dan pengharapan. Tapi dikatakan ada lebih dari 2000 uskup yang menghadapi rapat akbar itu. Tiga tahun lamanya. Yang baru adalah suasananya. Suasana lebih sejuk, pastoral dan sangat mengarah ke depan,” katanya.

Menurutnya, apa yang digumuli oleh Gereja melalui banyak Konsili sebelumnya, dibandingkan dengan Konsili Vatikan II yang baru 60 tahun usianya saat dibuka itu perbedaannya luar biasa. “Ada satu dokumen, Inter Mirifica, mengenai  Komunikasi Sosial. Kita tidak bisa membayangkan bahwa 60 tahun yang lalu perkembangan media sosial itu akan berkembang begitu pesat seperti sekarang. Yang mau saya katakan ialah, bahwa Konsili Vatikan II itu membuka suatu perspektif yang begitu luas, begitu mendalam,” katanya.

Dalam kondisi tersebut, menurutnya, Gereja bukannya semakin aman dan nyaman, melainkan semakin harus gelisah.

Mgr Timang juga menyampaikan, usaha pencarian kebenaran diusahakan bersama dengan semua orang beriman bahkan sekalian makhluk.

Mgr Timang melihat cita-cita Konsili Vatikan II di satu sisi telah tercapai. Misalnya, kaum awam dan suster belajar teologi dan terjadinya pertemuan lintas agama. Semua orang beriman mempunyai martabat dan tanggung jawab yang sama demi perkembangan kemanusiaan. “Bahwa para suster dan kaum awam itu bisa belajar teologi di sini, belajar di STF Jakarta, dan di banyak fakultas teologi itu juga adalah buah dari Konsili Vatikan II, di mana ditekankan bahwa semua orang beriman itu mempunyai martabat dan tanggung jawab yang sama demi perkembangan kemanusiaan, demi untuk kebaikan bersama dalam rangka berziarah bersama di bumi ini menuju societas perfecta civitas Dei, yang digambarkan dalam Kitab Wahyu,” katanya.

Namun, menurutnya, masih ada pekerjaan besar yang mesti dikerjakan  bersama untuk mewujudkan cita-cita Konsili Vatikan II.  Hal itu, salah satu menurutnya, terletak pada alumni yang belajar teologi.

“Di ruang kuliah almarhum Romo Jacob itu mengatakan, di sini kita belajar teologi dan filsafat yang paling modern, tapi ketika kita sudah sampai di tengah-tengah masyarakat, kita menjadi orang yang paling konservatif. Lebih Trente daripada Trente, katanya,” ungkap Mgr Timang.

Mgr Timang melihat berhasilnya cita-cita Konsili Vatikan II juga tergantung pada aparatur atau birokrasi yang mendukungnya. Dalam konteks Gereja kuncinya tergantung pada para imam.

“(Konsili) Vatikan II itu indah sekali. Boleh kita baca dokumennya. Semakin lama, saya semakin menyenanginya. Tetapi, kalau para pelaksana di lapangan itu tetap belum mengetahui, tadi Bapak Uskup Agung Samarinda mengatakan mungkin banyak yang belum membaca dokumennya, belum mengetahui, belum memahami isinya, apalagi menghayatinya, bagaimana mungkin mewujudkannya. Nah, kuncinya ada pada kami, para imam,” ungkapnya.

Awam, menurutnya, sudah “berlari” jauh ke depan. “Tetapi kami para imam nggak, kadang-kadang itu stagnan. Karena yang dikatakan oleh Paus, kami tinggal dalam zona nyaman,” katanya.

Menurutnya, Gereja membutuhkan reformasi mental. “Kita punya pekerjaan yang paling besar, reformasi mental dari kami para pelayan pelaksana pastoral di lapangan. Dan itu membutuhkan waktu supaya orang mengetahui maka harus membaca,” katanya sambil menunjukkan dokumen Konsili Vatikan II.

Menurutnya, dokumen Konsili Vatikan II harus dimiliki oleh para pelaksana pastoral. “Kompendium Konsili Vatikan II ini harus dimiliki oleh setiap imam dan setiap pelaksana pastoral, para suster, bruder, siapapun juga, awam, tetapi tidak hanya mempunyai bukunya, lalu diparkir di rak buku menjadi sarang lebah, harus diketahui, dipahami, dihayati, kemudian baru dilaksanakan,” katanya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *