Uskup Ignatius Kardinal Suharyo memasuki usia 25 Tahun Tahbisan Episkopal. Berikut ini adalah petikan homilinya dalam Misa Syukur 25 Tahun Tahbisan Episkopal di Katedral Jakarta, 22 Agustus 2022.
Yang terkasih Bapak Kardinal, Bapak Nuncio, para Bapak Uskup, rekan-rekan Imam, Biarawan-Biarawati, Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak,
Ketika kami mempersiapkan ibadah ini, Romo Adi bertanya kepada saya, “Apakah mau menggunakan bacaan Injil dari kalender liturgi hari ini?” Belum saya jawab, Romo Adi sudah mengatakan, kutipan Injil menurut kalender hari ini, kalimat-kalimatnya semua dimulai dengan “Celakalah kamu!” Padahal saya pribadi hanya ingin bersyukur dan mengucapkan terima kasih.
Itulah sebabnya maka dipilih Kidung Maria. Pertama-tama, tentu saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih supaya nanti tidak usah sambutan lagi. Terima kasih kepada Keuskupan Agung Jakarta, para Imam, Biarawan-Biarawati, Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak, Lembaga-lembaga Pelayanan Katolik semuanya yang dengan peran berbeda-beda telah mengambil bagian dalam pelayanan di Keuskupan Agung Jakarta dan bertumbuh bersama-sama menjadi Umat Tuhan yang semakin setia kepada Yesus, Gembala Baik dan Murah Hati.
Terima kasih kepada Keuskupan Agung Semarang, para Imam, Biarawan-Biarawati, Ibu dan Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak. Dan tentu saja lembaga-lembaga pelayanan Katolik yang pada awal mula pelayanan saya sebagai uskup telah membantu saya belajar dan mengembangkan bersama-sama pelayanan di dalam Gereja.
Terima kasih kepada Keuskupan Bandung, para Imam, Biarawan-Biarawati, Ibu-Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak, serta lembaga-lembaga pelayanan Katolik. Dalam pelayanan yang ditugaskan kepada saya dari tahun 2010 sampai 2014 sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Bandung yang telah membuka, menambah kaya wawasan saya dalam pelayanan yang pasti tidak akan saya dapatkan di tempat lain.
Terima kasih kepada Keuskupan Umat Katolik di lingkungan TNI dan POLRI. Keberadaan keuskupan ini sangat simbolik, memberi pesan untuk terus mencari jalan, merawat dan mengembangkan semangat cinta tanah air.
Terima kasih kepada para Bapak Uskup Regio Jawa. Hadir di sini Bapak Uskup Paskalis dari Keuskupan Bogor, kalau mau berdiri, berdirilah, Bapak Uskup, supaya dilihat! Bapak Uskup Anton dari Bandung. Ke timur lagi, Bapak Uskup Triharsono dari “Kecamatan” Purwokerto. Bapak Uskup Robertus Rubiyatmoko dari Keuskupan Agung Semarang. Bapak Uskup Pidyarto dari Keuskupan Malang. Saya tadi sebetulnya mau mengatakan “Uskup Malang”, tetapi tidak sampai hati. Maka, saya tambahi Keuskupan. Sedang Bapak Uskup Surabaya tidak bisa datang karena sedang sakit.
Terima kasih kepada Konferensi Waligereja Indonesia. Memang tidak diundang para uskupnya. Tetapi hadir di sini kawan saya Bapak Uskup Petrus Turang, Uskup Keuskupan Agung Kupang. Usia tahbisan beliau 2 bulan lebih tua daripada saya. Maka, beliau baru saja juga mensyukuri anugerah tahbisan uskup yang ke-25 tahun. Masih ada calon uskup, yang sudah ditunjuk oleh Bapa Suci untuk menjadi Uskup Keuskupan Sanggau, Kalimantan Barat, Bapak Uskup Valen. Konferensi Waligereja Indonesia sejak 25 tahun yang lalu menjadi medan bagi saya untuk berjalan bersama-sama membangun wajah Gereja Katolik di Indonesia.
Dan tentu saja, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapa Nuncio beserta seluruh staf Nunciatura untuk pelayannya bagi Gereja Katolik di Indonesia khususnya Keuskupan Agung Jakarta. Sebetulnya, saya ingin mengucapkan terima kasih satu per satu, tetapi kapan mau selesai homili ini kalau itu saya lakukan.
Oleh karena itu sekali lagi, dengan cara yang sangat sederhana ini, dengan hati yang tulus, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kardinal, Bapak Nuncio, para Bapak Uskup, Rekan-rekan Imam, Biarawan-Biarawati, Ibu-Bapak, Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak, serta lembaga-lembaga pelayanan Katolik yang dengan satu dan lain cara mendukung dan meneguhkan pelayanan saya selama 25 tahun sebagai uskup dan yang paling penting bertumbuh bersama sebagai murid Kristus.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Ketika saya memilih Kidung Magnificat untuk perayaan ekaristi ini, dalam hati saya, hanya satu maksud yaitu ingin menyatukan syukur pribadi saya kepada Tuhan dengan syukur Bunda Maria. Tetapi kemudian dalam perjalanan waktu, ketika saya merenungkan kidung ini lebih dalam lagi muncul kembali satu gagasan yang sekian tahun yang lalu saya rumuskan mengenai jatidiri Gereja Katolik di Indonesia.
Waktu itu, saya berpikir Gereja Katolik di Indonesia mesti berusaha untuk membangun dan mengembangkan jatidirinya sebagai komunitas pengharapan. Mengapa? Kidung Magnificat adalah kidung pengharapan. Bunda Maria menyatakan dirinya sebagai yang berbahagia, mengatakan hatinya bergembira. Apakah itu berarti bahwa pada waktu itu semua berjalan baik? Apakah benar sebagaimana diungkapkan dalam kidung itu “Orang-orang yang lapar sudah menjadi orang-orang yang berkelimpahan”. Apakah orang-orang yang setia kepada Allah takut kepada Allah sudah mendapat perlakuan yang semestinya? Apakah benar orang-orang yang rendah sudah diangkat martabatnya? Jawabannya jelas. Belum. Tetapi mengapa Maria di dalam keadaan seperti itu menyatakan dirinya berbahagia dan bergembira. Jawabannya ada pada baris pertama Kidung Magnificat dan baris yang terakhir. Bunda Maria mengatakan, “…hatiku bergembira karena Allah…”. Bukan karena yang lain-lain.
Ia juga mengungkapkan kepercayaannya kepada Allah sebagaimana diteguhkan, ditegaskan pada akhir kidung, “Allah mengingat rahmat-Nya,… kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya”. Maria adalah Bunda Pengharapan.
Mengikuti teladan Bunda Maria, Gereja dipanggil untuk membangun jatidirinya sebagai komunitas pengharapan. Di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang kendati ada banyak kemajuan dan keberhasilan yang pantas disyukuri, masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Keadaan belum ideal ini tidak jarang membuat hati kita kecil atau bahkan bagi sebagian kehilangan harapan. Dalam keadaan seperti itu, Gereja dipanggil untuk berperan sebagai komunitas pengharapan.
Di Keuskupan Agung Jakarta, kesadaran itu kita ungkapkan pada akhir setiap rumusan arah dasar keuskupan. Mengutip surat kepada jemaat di Filipi bab 1 ayat 6, “Allah yang telah memulai karya yang baik akan menyelesaikannya juga dengan sempurna”. Harapan kita landaskan pada iman bahwa rencana Allah tidak akan pernah gagal.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Selain janji Allah, dasar lain dari pengharapan adalah keutamaan-keutamaan yang tertanam dalam diri kita sebagai bangsa. Amat menarik menyimak dua watak bangsa kita yang benar-benar memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik. Watak yang pertama adalah rasa cinta tanah air. Semangat cinta tanah air ini diwariskan kepada kita oleh para pendiri bangsa kita yang menetapkan Pancasila tanpa Piagam Jakarta sebagai landasan negara kita.
Para perintis Gereja Katolik di Indonesia seperti Romo van Lith, Bapak Uskup Soegijapranata, dan sekian banyak tokoh awam perintis juga mewariskan semangat yang sama. Terlalu panjang untuk disebut satu per satu.
Watak mulia yang kedua, yang sungguh-sungguh memberikan harapan, dianugerahkan kepada bangsa kita adalah watak peduli. Sebuah penelitian internasional menempatkan Indonesia sebagai yang nomor satu di antara 146 negara dalam hal kerelaan memberi. Nomor satu di antara 146 negara.
Penelitian yang lain menempatkan Indonesia pada nomor 6 dari 167 negara dalam hal modal sosial. Rasa-rasanya tidak salah kalau dari data yang riset itu, kita mengambil kesimpulan kepada kita dianugerahkan watak mulia peduli. Dengan latar belakang itu, perutusan Gereja sebagai komunitas pengharapan adalah merawat dan mengembangkan semangat cinta tanah air serta watak peduli bangsa kita, serta mencari jalan-jalan kreatif untuk mewujudkan harapan itu. Itulah sebabnya tadi ditampilkan anak-anak dengan nyanyian-nyanyian seperti itu.
Di Keuskupan Agung Jakarta semangat cinta tanah air kita rawat dan kembangkan dengan mendalami dan berusaha menghayati nilai-nilai Pancasila sejak tahun 2016. Mulai tahun ini tahun 2022 kita melanjutkan dan kita ingin merawat dan mengembangkan watak peduli dengan berusaha mendalami dan mewujudkan Ajaran Sosial Gereja. Itulah yang kita rumuskan dalam rangkaian 3 kata yang mudah sekali kita ingat “Semakin Mengasihi, Semakin Peduli, Semakin Bersaksi”.
Akhirnya, berharap tidak berarti hanya menunggu saja. Berharap berarti bersama-sama mencari jalan-jalan baru untuk mewujudkan harapan-harapan itu. Itulah yang di Keuskupan Agung Jakarta kita rumuskan dengan mengutip nasihat Rasul Paulus dalam arah dasar yang terbaru, saya kutip, “Karena itu Saudari-Saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah. Giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan. Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
Marilah kita saling mendoakan, semoga kesadaran diri Gereja sebagai komunitas pengharapan ini mendorong kita semua untuk terus mencari jalan-jalan baru, membangun umat Tuhan yang rajin berbuat baik.