HARI RAYA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA
14 Agustus 2022
Bacaan I : Why 11: 19a; 12: 1-6a. 10b
Bacaan II : 1 Kor 15: 20-26
Bacaan Injil : Luk 1: 39-56
Maria sahabat kita
Ada istilah populer baru di antara kita, yaitu ‘mager’, malas gerak. Deraan pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir telah membentuk kultur baru dalam hidup bersama, yaitu membatasi gerak, mengurangi perjumpaan, dan sikap terpuji: diam di rumah. Itu semua menjadi sempurna ketika memang di satu dekade terakhir ini kita sedang digiring untuk memanfaatkan media informasi dan transportasi digital-online. Semua bisa dilakukan secara online: belanja online, rapat online, kongkow online, ibadat online. Kini, ketika pandemi berangsur reda, perjumpaan dan perkumpulan lebih sedikit diminati dan didatangi. Termasuk di antaranya ibadat di gereja. Dengan demikian, tentu ada sesuatu yang hilang. Sebutlah silaturahmi.
Maria mengunjungi Elisabet sanaknya. Dalam keadaan mengandung, ia menempuh jarak yang sangat jauh dari Nasaret ke Ein Karim, yaitu 130 km! Tentu perjalanan yang butuh perjuangan dan komitmen. Sebab ke Ein Karim itu naik ke pegunungan yang sangat panas. Namun Maria merasa perlu untuk berkunjung. Pasti bukan karena kebutuhannya, melainkan keinginannya untuk menyapa dan meneguhkan sanaknya yang juga sedang mengandung itu. Maria mengalahkan diri sendiri untuk berani keluar dengan segala risiko (hamil) demi silaturahmi kehangatan persaudaraan dengan Elisabet. Dengan itu nyatalah dia menghidupi panggilan sebagai sahabat setiap pribadi. Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.
Dari kisah Injil teranglah bahwa Maria melahirkan dan menemani Yesus dalam karya-karya-Nya. Dia juga hadir dengan hati hancur dan pilu ketika menyaksikan Anaknya sengsara disiksa dan dianiaya. Ketika Anaknya dalam sakratul maut di atas salib kayu, Maria pun ada di sini menjadi ibu yang menguatkan. Bahkan diekspresikan oleh pematung Michael Angelo, Maria menerima jenazah Yesus dalam pangkuannya (pieta). Ketika para murid mengalami puncak kefrustrasian karena Guru mereka telah ‘kalah’ dan mati, Maria-lah yang menahan mereka untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan perkumpulan itu (Kis 1: 14). Dalam perjalanan sejarah menggereja, Maria selalu hadir menjadi penolong yang mendoakan Gereja. Maka jika Gereja mengangkat Maria dengan gelar: Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga Jiwa dan Raganya, itu hanyalah peneguhan dan penegasan. Dogma itu lahir dari pengalaman ratusan tahun ziarah Gereja dan umat beriman.
Romo Agus Suryana Gunadi, Pr