
Apapun keyakinan kita, lanjutnya, kalau kita mempunyai iman akan Allah dan mau membangun pertobatan, kita bukan lagi hidup menurut kemauan kita saja atau hidup menurut nafsu konsumerisme kita yang mengeruk segala-galanya hanya untuk kepentingan kita, “tetapi lebih dalam, sikap mau membangun relasi yang baik dengan Allah dan relasi itu nyata dalam relasi saya dengan sesama dan alam semesta lingkungan hidup ini.”
Hal kedua, yang penting dalam membangun Gerakan Kolekte Sampah adalah dimensi inkarnatif. Di sini semangat pertobatan ekologis diwujudkan secara nyata. “Jadi, sebagaimana kita mengikuti Yesus Kristus, Dia mau menyelamatkan dunia ini, dan Dia bukan hanya dengan gagasan, tapi masuk dalam tindakan-tindakan konkret. Maka, pertobatan ekologis ini mesti diwujudkan dalam yang kita sebut salah satu gerakan ialah Gerakan Kolekte Sampah. Jadi, Gerakan Kolekte Sampah ini bisa dilihat dari secara ekonomis, bisa juga dilihat dari segi iman tadi, bahwa gerakan ini adalah bagian dari kami mewujudkan pembaharuan itu,” lanjutnya. Pembaharuan itu, menurutnya, menyangkut relasi dengan Allah dan manusia. “Pembaharuan relasi ini bukan hanya gagasan abstrak tetapi diperlihatkan dalam tindakan konkret dalam satu gerakan yang kita sebut “Gerakan Kolekte Sampah”. Maka, saya amat mengharapkan bahwa gerakan ini bukanlah sekadar sesuatu yang kita lakukan saat ini lalu kemudian menjadi berhenti, tetapi kita melihatnya bahwa gerakan ini adalah bagian dari perwujudan pembaharuan hidup kita sebagai pengikut Kristus, pengikut Allah di dunia ini,” katanya.
Mgr Paskalis pun berharap, gerakan konkret kolekte sampah itu bisa diwujudkan di sekolah, paroki, lingkungan dan bahkan rumah tangga. “Dan saya berharap karena ini sebagai sesuatu gerakan khususnya untuk di Keuskupan Bogor, saya berharap bahwa kita melakukan gerakan ini secara bersama-sama sehingga punya gaung, punya efek bagi Indonesia negara kita yang kita cintai,” harapnya.