
Laudato Si’ dalam Pancasila
Terkait dengan berketuhanan dalam sila pertama Pancasila, menurutnya, cara kita beriman atau percaya kepada Tuhan hendaknya mengubah cara kita melihat Tuhan dalam ciptaan-Nya ini. “Bahkan dikatakan bahwa identitas Allah itu adalah bumi. Karena itu kalau bumi dirusak maka, identitas jatidiri Allah ini rusak. Nah, cara pandang ini, harus muncul di dalam seluruh kurikulum keagamaan kita,” katanya.
Yang kedua, hidup keagamaan harus ditempatkan dalam konteks berdialog atau berjumpa dengan agama-agama dan penghayatan aliran kepercayaan lain karena semuanya membawa kepada satu harapan bahwa bumi ini adalah tempat kita hidup. “Karena itu, mendesain kurikulum berarti rekonseptualisasi kembali seluruh pelajaran agama dan budi pekerti Katolik. Dan juga sekolah-sekolah Katolik harus sungguh-sungguh terbuka terhadap perjumpaan dialog dengan agama-agama lain dan penghayatan agama yang lain,” katanya.
Berkaitan dengan sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menurut Romo Darmin, Laudato Si’ telah menegaskan, kerusakan alam terjadi akibat cara pandang atau konsep kita tentang harkat dan martabat manusia. “Jadi, seluruh proses pendidikan kita harus mengubah cara-cara kita melihat kemanusiaan kita. Memang, kita melihat dan selalu merumuskan dalam visi pendidikan memanusiakan manusia. Tetapi persisnya apa? Maka, konsep kemanusiaan yang ditawarkan oleh Laudato Si’ ini sungguh-sungguh membawa kita untuk menjadi warga bumi. Bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendirian. Dia harus berelasi dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan alam. Jadi, ini konsep-konsep kemanusiaan yang tentu berdampak, berimplikasi pada konsep-konsep kita tentang ilmu pengetahuan sosial, kemudian IPA dan lain sebagainya,” tegasnya.
Berkait dengan sila ketiga “Persatuan Indonesia”, Romo Darmin mencoba merumuskan desain kurikulum yang betul-betul sesuai dengan alam pikiran Pancasila, yaitu persatuan. “Jadi, di situ kita dalam konsep persatuan atau kebangsaan ini adalah untuk mengakui keanekaragaman suku, keanekaragaman hayati, keanekaragaman budaya. Dan bagi saya, kita sebenarnya belum bisa sampai pada pemahaman tentang persatuan sebagaimana yang digambarkan oleh Laudato Si’. Maka, penting sekali untuk memikirkan kembali konseptualisasi tentang persatuan dan persaudaraan itu melalui, tentu saja, ilmu-ilmu yang kita pelajari di sekolah. Jadi, misalnya dengan demikian kita membangkitkan persaudaraan mulia dengan seluruh ciptaan seperti yang dihayati oleh Fransiskus dari Assisi. Begitu cemerlang, rendah hati, lemah lembut, sederhana, bersahaja, keugaharian,” katanya.
Terkait dengan sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawartan/Perwakilan”, Romo Darmin melihat pentingnya anak didik memahami tentang rakyat. “Dan ini saya kira konteks kita ya untuk mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi dan khususnya saya mendesain untuk PAUD, Sekolah Dasar, SMP, kemudian menengah, jadi untuk memahami konsep tentang rakyat. Jadi, dari dokumen Laudato Si’ ini sebenarnya bahwa rakyat yang menderita, rakyat yang sengsara akibat dari kerusakan. Karena itu cara kita untuk melihat ilmu-ilmu sosial atau demokrasi atau politik atau ekonomi harus dilihat dari suara-suara dari bawah. Maka, disebut demokrasi dari bawah, sosial, keadilan sosial, keadilan ekologis dan lain sebagainya,” katanya.