Tahun 2021 merupakan tahun yang penting bagi Serikat Jesus karena bertepatan dengan momen peringatan 500 tahun pertobatan Santo Ignatius Loyola, pendiri ordo Serikat Jesus. Selama ini, Jesuit berinteraksi, berelasi dan bekerja sama dengan rekan-rekan lintas agama. Tahun Ignatian merupakan momen istimewa untuk merefleksikan sejenak kebersamaan dan kerja sama yang telah terbangun dalam terang Spiritualitas Ignatian.
Atas kerja sama komunitas Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), Tim Pelayanan HAK Paroki Bongsari dan Tim Komunikator Serikat Jesus Provinsi Indonesia, ‘Webinar Pengenalan Spiritualitas Ignatian Aktivis Lintas Agama’ yang tersaji dalam 10 tema dan pertemuan pun digelar sejak Juli-November 2021.
Penanggung jawab kegiatan Romo Eduardus Didik Chahyono, SJ dalam pertemuan perdana, 8 Juli 2021, mengatakan, acara tersebut bukan sekadar webinar, namun sarana untuk membangun persahabatan, persaudaraan, dan membangun komunitas mengingat peserta yang terlibat berasal dari berbagai agama dan keyakinan. “Ini adalah semangat persaudaraan itu. Dan semangat persaudaraan yang sungguh kita hidupi, kita nikmati,” katanya.
Romo Didik melanjutkan, ketika menawarkan spiritualitas Ignatian yang berdasarkan pada sosok Santo Ignatius Loyola, itu bukan dalam upaya memengaruhi iman kepercayaan, keyakinan atau agama yang dianut masing-masing peserta. “Namun, inilah salah satu bentuk kita sharing iman. Jadi, kalau Bapak-Ibu sudah terbiasa dalam dialog lintas agama, biasanya aktivitas sosial atau berkunjung ke komunitas agama yang lain, kemungkinan ada sharing-sharing di sana, nah, ini juga salah satu itu. Kita berkunjung, kita sharing tentang kekayaan rohani dari sebuah komunitas,” katanya.
Provinsial Serikat Jesus Provinsi Indonesia Romo Benedictus Hari Juliawan, SJ menjelaskan, Serikat Jesus didirikan oleh Santo Ignatius Loyola 500 tahun yang lalu dan masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 ketika beberapa orang Jesuit mendarat di Surabaya. Tetapi sebenarnya, tambahnya, ada Jesuit yang sudah sampai ke kepulauan Nusantara pada abad XVI yaitu Fransiskus Xaverius.
Mengenai Spiritualitas Ignatian, Romo Hari menjelaskan, spiritualitas adalah cara mengalami Allah. “Cara mengalami, memandang, memahami Allah. Dan Santo Ignatius itu punya cara pandang atau cara mengalami Allah yang spesifik, yang tertentu. Dan inilah yang kemudian diwariskan menjadi Spiritualitas Ignatian, cara pandang tertentu mengenai Allah. Dan kalau cara pandang tertentu mengenai Allah itu berarti juga cara pandang tertentu mengenai ciptaan di dunia ini dan tempat kita di dalam ciptaan tersebut. Jadi, akhirnya, spiritualitas ini sangat praktis karena kalau itu menjadi cara pandang, otomatis itu juga menjadi cara kita bertindak, cara kita melakukan banyak hal, itu ditentukan oleh cara kita memandang dunia ini, memandang Allah, dan memandang tempat kita di dalamnya,” katanya.
Sedangkan Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko, dengan inspirasi Spiritualitas Ignatian, menyampaikan 3 hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan sesuatu termasuk ketika melakukan kegiatan-kegiatan lintas iman.
Yang pertama adalah, membuat preparasi atau persiapan. “Artinya bahwa segala aktivitas yang hendak kita lakukan mesti direncanakan dan dipersiapkan secara matang dengan melihat kebutuhan nyata, kebutuhan riil yang kita hadapi dan berpangkal dari kaidah iman dan moral yang benar. Dengan cara ini, maka kita tidak nyeleweng ke sana ke mari. Sebaliknya, tetap sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan sendiri. Karena itu, dalam arti ini, sangat diperlukan adanya diskresi atau proses timbang-menimbang mana secara matang sebelum melangkah. Melalui diskresi ini kita ingin menemukan mana yang terbaik, yang sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri,” terangnya.
Yang kedua adalah melakukan aksi atau tindakan. “Semua yang telah direncanakan itu kita laksanakan dengan sebaik mungkin karena kesadaran bahwa itu semua akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Santo Ignatius memberi kita teladan bagaimana melaksanakan tugas tanggung jawab dengan sepenuh hati di hadapan Allah demi keselamatan umat manusia,” katanya.
Yang ketiga, melakukan refleksi. “Yang sangat penting sekali, yang menjadi ciri khas Spiritualitas Ignatian adalah refleksi. Semua kegiatan yang telah dilakukan dicoba untuk direfleksikan di hadapan Tuhan dalam terang iman. Melalui refleksi ini, kita akan mampu untuk menyerap nilai-nilai atau makna-makna rohani yang selanjutnya akan menjadi modal dan penyemangat bagi aktivitas hidup selanjutnya. Kecenderungan kita dalam beraktivitas kadang-kadang selalu sibuk dengan aktivitas, namun tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk merefleksikannya sehingga banyak hal yang terlewatkan begitu saja. Padahal ada banyak nilai-nilai rohani yang dapat kita cecap, yang dapat kita ambil. Dan itu menjadi penyemangat untuk kehidupan kita. Inilah yang saya tangkap dari Spiritualitas Ignatian, tiga hal yang kiranya bisa juga kita pelajari dan bisa menjadi inspiasi bagi kita semua,” katanya.
Acara perdana diawali dengan pemaparan dari Romo Didik, SJ dan Romo Mutiara Andalas, SJ. Romo Didik mengatakan, acara perdana adalah mengenali sosok Santo Ignatius Loyola. “Tentunya bukan menjadikan Santo Ignatius Loyola sebagai kultus individu, namun kita ingin belajar dari Ignatius Loyola bagaimana memahami kasih Allah, bagaimana merasakan kasih Allah yang dirasakan oleh Santo Ignatius Loyola dan kemudian berpengaruh dalam kehidupannya,” katanya.
Romo Didik mengajak peserta untuk berefleksi atas kehidupan masing-masing dan becermin pada sosok Ignatius Loyola. “Dengan becermin ini, harapannya kita terbantu juga untuk melihat, mengalami secara nyata kasih Allah itu,” katanya.
Namun, tegas Romo Didik, hal itu tidak hanya berhenti pada Santo Ignatius Loyola, tetapi sampai pada pengalaman kasih Allah. “Kalau kita timbang-timbang, kita rasa-rasakan ya dalam seluruh perjalanan hidup kita, ternyata kita yang lemah ini, kita yang berdosa ini, dilibatkan dalam rencana-rencana Sang Pencipta yang agung di dunia ini,” katanya.
Dengan demikian, menurutnya, kita bisa merasakan bahwa hidup kita mempunyai makna. Kepada peserta lintas agama yang aktif dalam gerakan lintas agama, Romo Didik mengajak supaya membuka hati dan memaknai bahwa keterlibatan dalam gerakan lintas agama, kalau dilihat-lihat, dirasa-rasakan, karena kita juga mengalami kasih Allah yang mengobarkan kita, selanjutnya kita membagikan kasih Allah tersebut kepada sesama.
“Maka, melalui perjumpaan malam ini, kita mau becermin dari Santo Ignatius Loyola dan kemudian juga dari hidup kita, dan kemudian melihat perjalanan hidup kita sebagai penggerak kerja sama lintas agama,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu, Romo Didik juga menyampaikan, spiritualitas dipahami sebagai semangat hidup yang berkobar-kobar dalam diri seseorang karena didasarkan dari refleksinya. “Refleksi pribadinya itu terkait dengan relasi pribadi dengan Sang Pencipta,” katanya.
Dengan spiritualitas tersebut, Romo Didik mau mengajak peserta untuk melihat relasinya dengan Sang Pencipta. “Ketika kita menimbang-nimbang, merefleksikan relasi kita dengan Sang Pencipta kemudian kita akan bisa terbantu untuk memandang dunia ini dan kemudian berinteraksi dengan ciptaan-ciptaan lain yang ada di dunia ini,” katanya.
“Jadi, misalnya ketika seseorang memiliki pengalaman bahwa saya dikasihi oleh Sang Pencipta, oleh Tuhan, maka kemudian saya juga akan melihat kehidupan ini sebagai anugerah dari Tuhan sendiri. Dan karena saya sudah dicintai maka saya akan membagikan cinta saya kepada sesama saya. Maka, hidupnya penuh dalam suasana kasih,” kata Romo Didik.
Acara itu mendapat sambutan yang positif dari para aktivis lintas agama. Proses belajar pun diwarnai dengan suasana saling memperkaya pandangan menurut sudut pandang agama yang dianut masing-masing peserta.