Renungan Harian 14 Agustus 2021

Hari ini kita memperingati para martir: St Maximilianus Kolbe dari Polandia. Dia dimasukkan penjara oleh tentara Jerman yang menduduki Polandia.  Dia rela mengorbankan nyawa karena menggantikan seorang tahanan yang dijatuhi hukuman mati. Maximilian disuntik mati tanggal 14 Agustus 1941.

Kitab Keb 3: 1-9 menegaskan bahwa jiwa orang benar ada di tangan Allah, dan siksaan tiada menimpa mereka. Menurut pandangan orang bodoh mereka mati nampaknya, dan pulang mereka dianggap malapetaka, dan kepergiannya dari kita dipandang sebagai kehancuran, namun mereka berada dalam ketenteraman.

Kalaupun mereka disiksa menurut pandangan manusia, namun harapan mereka penuh kebakaan. Setelah disiksa sebentar mereka menerima anugerah yang besar, sebab Allah hanya menguji mereka, lalu mendapati mereka layak bagi diri-Nya. Laksana emas dalam dapur api diperiksalah mereka oleh-Nya, lalu diterima bagaikan korban bakaran.

Maka pada waktu pembalasan mereka akan bercahaya, dan laksana bunga api berlari-larian di ladang jerami. Mereka akan mengadili para bangsa dan memerintah sekalian rakyat, dan Tuhan berkenan memerintah mereka selama-lamanya. Orang yang telah percaya pada Allah akan memahami kebenaran, dan yang setia dalam kasih akan tinggal pada-Nya. Sebab kasih setia dan belas kasihan pilihan-Nya.

Yohanes dalam injilnya (Yoh 15: 9-17) mewartakan Sabda Yesus: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.  Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Hikmah yang dapat kita petik:

Satu, diimani umat Allah sejak ribuan tahun sebelum Kristus lahir, bahwa jiwa orang benar ada di tangan Allah, dan siksaan tiada menimpa mereka. Menurut pandangan orang bodoh mereka mati nampaknya, dan pulang mereka dianggap malapetaka, dan kepergiannya dari kita dipandang sebagai kehancuran, namun mereka berada dalam ketenteraman.

Dalam kesederhanaan pola hidup, keterbatasan fasilitas, dan ilmu pengetahuan belum semaju seperti sekarang, manusia sudah sampai pada penghayatan bahwa Allah itu ada, dan bahwa jiwa manusia itu kekal adanya, ada kehidupan sesudah kematian. Bahkan malapetaka dan kehancuran badan pun tidak merontokkan iman mereka.

Kalau demikian, manusia zaman now yang berpola hidup modern, punya banyak fasilitas, dan dibekali dengan ilmu dan ketrampilan yang komplit, semestinya menjadi manusia-manusia yang lebih bijaksana, pengertian, murah hati, tahan banting, dan mulia, bukan malah sebaliknya.

Dua, Yesus bersabda: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”.

Yesus menyebut kita sahabat.  Artinya diri kita dan kehidupan kita diakui tinggi kualitasnya. Di sisi lain,  Dia juga sahabat kita. Sahabat itu peka, peduli, gesit, tahan bantingan dan mengerti serta menangkap sinyal-sinyal yang dirasakan dan dialami orang lain. Dia hadir dengan tulus,  mau berkorban dan menawarkan bantuan, tanpa diminta.

Lebih dari itu, kita disebut sahabat karena telah mendengar semua yang Yesus dengar dari Bapa. Semoga dengan demikian, persahabat kita terjadi bukan karena uang, kedudukan, fasilitas, pangkat, jaminan sosial dan lain-lain, tetapi karena kualitas kepribadian kita yang patut diacungi jempol. Amin.

Mgr Nico Adi MSC

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *