Mencegah Kekerasan Seksual Berbasis Online

Di tengah semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media dan media sosial, selain aspek positif yang memberdayakan kita, juga hadir bentuk-bentuk baru kekerasan berbau gender. Demikian penegasan Moderator Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP KWI), Mgr Kornelius Sipayung OFMCap dalam Webinar Kekerasan Seksual Berbasis Online’ yang diselenggarakan SGPP KWI dan KKPPMP Regio Sumatra, 9 Juli 2021.

Mgr Kornelius pun menyebut beberapa contoh kekerasan yang berbau gender seperti pelanggaran privasi yakni mengakses, menggunakan, memanipulasi data pribadi seperti penyebaran foto, video, informasi, konten pribadi tanpa sepengetahuan dari orang yang mempunyai dan dibuat oleh orang lain.   Misalnya, menggali, menyebarkan informasi pribadi seseorang kadang-kadang dengan maksud memberi akses untuk tujuan jahat.

“Yang berikut, pemantauan, memantau, melacak, mengawasi kegiatan orang lain menggunakan cara-cara tertentu untuk melacak pergerakan seseorang, atau target. Menguntit, mengikut-ikuti pergerakan seseorang di media sosial. Merusak reputasi. Membuat dan membagikan data pribadi yang salah, tentu tujuannya supaya reputasi pengguna itu jelek. Itu dengan cara memanipulasi atau membuat konten palsu, mencuri identitas, berpura-pura menjadi orang yang menyebarkan itu, padahal orangnya lain, palsu. Membuat komentar atau posisi menyerang, meremehkan. Dan di sana juga ada pelecehan, ancaman kekerasan, komentar-komentar kadang kebencian. Ini kita temukan di media sosial,” katanya.

Mgr Kornelius pun menyoroti ancaman kekerasan lain seperti perdagangan perempuan melalui penggunaan teknologi dan pemerasan seksual. “Ada pemerasan seksual, mencuri identitas, uang atau properti. Meniru atau impersonisasi yang mengakibatkan serangan fisik. Ini contoh-contoh kekerasan dalam online,” imbuhnya.

Menurutnya, kekerasan berbasis online membawa dampak dan kerugian antara lain kerugian psikologis. “Korban itu merasa malu. Dari malu menjadi cemas, depresi, takut itu korban. Kemudian korban secara ekonomi, karena depresi, malu, takut, akhirnya ke tempat kerja juga tidak mau pergi. Akhirnya menganggur, kehilangan penghasilan. Menjadi korban keterasingan sosial. Para korban menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman karena rasa malu, takut. Ini akibat dari korban kekerasan dalam media sosial,” ungkapnya.

Karena sedemikian buruk dampak tersebut bagi korban, Mgr Kornelius pun menawarkan beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, mengantisipasi terjadinya kekerasan dengan harapan yang menjadi korban semakin sedikit. Kedua, jika terjadi korban, korban harus mendapat pendampingan. “Prioritas utama apa yang bisa kita lakukan? Mendampingi para korban,” kata Mgr Kornelius seraya berharap acara tersebut bisa membantu mengurangi jumlah korban, korban terobati dan bisa mengembalikan harkat diri dan keyakinan diri mereka.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *