Melestarikan Keutuhan Ciptaan Tanaman Pangan Jali

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ mengingatkan kita tentang keberadaan berbagai macam tumbuhan dan ciptaan. Pada artikel 33, Bapa Paus Fransiskus mengingatkan, “Karena kita, ribuan spesies tidak akan ada lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita”.

“Jadi, satu ayat yang singkat dari Paus Fransiskus ini menjadi salah satu pijakan bahwa ketika kita budidaya tanaman, ada dimensi yang lain yang tidak boleh diabaikan,” demikian Romo Patricius Hartono, Pr menegaskan hal tersebut dalam webinar Paguyuban Ketahanan Pangan Kevikepan DIY bertema “Makananmu adalah Obatmu: Budidaya Tanaman ++ (Plus-Plus), 19 Juni 2021.

Menurutnya, saat ini kecenderungan orang melakukan budidaya tanaman berdasarkan tren. Yang paling terlihat adalah pada fenomena tanaman hias. Namun, menurutnya, mestinya tanaman pangan yang menjadi prioritas. “Tetapi jangan lupa, ada dimensi yang lain dari kegiatan menanam. Tanaman pangan selalu layak mendapat prioritas karena ini langsung menyangkut kehidupan kita. Bagaimanapun tanaman pangan mempunyai posisi yang lebih, nilai plus bagi kita. Ketika omong tentang tanaman pangan pun, kita bisa menambahkan nilai  yang lain tentang keberadaannya,” katanya.

Romo Hartono juga melihat fenomena orang terjebak menanam tanaman pangan yang hanya bernilai ekonomis tanpa melihat kemungkinan tradisi konsumsi masyarakatnya. Misalnya porang yang saat ini sedang banyak dibudidaya orang. “Tetapi sebenarnya kalau kita ingat, apakah kita, masyarakat kita mempunyai tradisi warisan untuk mengkonsumsi porang? Jadi, kalau kita tidak bisa menemukannya, jangan-jangan sebenarnya ini juga di belakangnya adalah hanya kepentingan ekonomis semata. Karena orang Jepang yang mengkonsumsi porang. Dan kita lalu tanpa sadar diperalat untuk memproduksi supaya dikirimkan ke Jepang. Ini kan soal isu ketahanan pangan juga. Soal isu kemandirian pangan yang harus diperhatikan,” katanya.

Romo Hartono melihat kecenderungan alih-alih orang-orang berfokus pada budidaya tanaman yang bernilai ekonomis seperti porang, ada bahan-bahan pangan dari tanaman yang justru diabaikan dan dilupakan. “Padahal itu bahan-bahan yang kita miliki, kita warisi dari para leluhur kita,” katanya.

Maka dari itu, Romo Hartono bersama Laudato Si’ Camp dan komunitas petani sedang membudidaya tanaman pangan Jali. “Para leluhur kita mempunyai jejak yang sangat jelas. Mereka memanfaatkan Jali sebagai bahan pangan. Salah satu jejak literatur yang sangat tua, ada dalam dokumen Serat Centhini (1814). Serat Centhini itu sudah menyebutkan bahwa pada masa itu di kawasan Jawa Tengah-Yogya, paling banyak di pegunungan selatan, Wonosari, Wonogiri, sampai daerah Jawa Timur, Jali biasa dibudidayakan, diolah dan dikonsumsi sebagai bahan pangan bersama-sama dengan bahan yang lain,” katanya.

Romo Hartono juga masih melihat jejak yang cukup kuat tentang pemanfaatan Jali sebagai tanaman pangan pada masa awal kemerdekaan. Hal itu terekam dalam lagu-lagu Ki Narto Sabda. Namun, ia menemukan keanehan ketika sekarang banyak orang tidak lagi mengenal Jali sebagai bahan pangan. “Jangan-jangan ini karena politik pangan yang dipromosikan oleh Orde Baru dalam Revolusi Hijau, intensifikasi, itu hanya padi. Mitologi yang diangkat juga hanya Dewi Sri. Itu sebabnya kita hanya mengkonsumsi beras, sega, pari, dan mengabaikan bahan-bahan pangan lokal yang lain,” katanya.

Karena tidak ada orang yang makan Jali, lanjutnya, lalu tidak ada orang yang menanam. Sementara itu, kampus juga tidak membuat riset. Yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya degradasi martabat tanaman pangan. “Lama-kelamaan, terjadilah yang namanya degradasi martabat tanaman pangan,” katanya. Ia pun pernah melakukan pengamatan singkat di sebuah kampung bernama Jali, di daerah Gayamharjo, Klaten, dekat Gua Maria Sendang Sriningsih.

Ia menemukan, anak-anak di sana tidak tahu menahu tentang tanaman Jali, kecuali itu hanya nama kampung mereka, Jali. Sedangkan kelompok yang lebih besar menganggap Jali hanya semacam rumput liar yang kadang bisa dipakai sebagai pakan sapi. Sedangkan orang dewasa mengatakan kalau tanaman Jali hanya tumbuhan liar yang kadang dimanfaatkan untuk membuat gelang, kalung, atau rosario.

Ia pun bertanya pada orang berusia lanjut tentang Jali. Orang berusia lanjut tahu persis tentang Jali dan bisa bercerita dengan lengkap. Jali, di kampungnya dulu, biasa ditanam warga dan biasa dimanfaatkan untuk bahan pangan.

“Nah, kalau kita balik mundur, maka sebenarnya, kurang lebih 70 tahun, proses sebuah bahan pangan, tanaman pangan itu terdegradasi menjadi rumput liar. Ini sesuatu yang dahsyat bagi saya. Dan itu mungkin jejak, juga jejak dari Revolusi Hijau yang di belakangnya politik pangannya hanya soal beras, padi. Yang lainnya terabaikan. Sesuatu yang dahulu oleh para leluhur sudah dihargai begitu tinggi martabatnya, ini tanaman pangan, merosot, 20 tahun menjadi hanya bahan kerajinan, 20 tahun lagi merosot hanya menjadi tumbuhan untuk pakan sapi, 20 tahun lagi, merosot hanya menjadi rumput liar. Betapa mengerikannya,” imbuhnya.

Maka, Romo Hartono menegaskan, dalam budidaya tanaman, kita jangan hanya berfokus pada tren dan soal ekonomi saja. “Ada sisi yang lain, yang di dalam kerangka iman kita diingatkan oleh Paus Fransiskus, apa? Melestarikan keutuhan ciptaan. Ada begitu banyak bahan pangan yang diwariskan, yang sudah dihargai oleh para leluhur tetapi justru sekarang kita tidak kenal. Sekarang tidak kita kembangkan,” tegasnya.

Ia berharap, Jali jangan sampai hilang. Laudato Si’ Camp mengajak masyarakat untuk kembali membudidaya, mengolah, dan mengembangkan Jali sebagai bahan pangan, supaya tidak hilang dan terabaikan.

Romo Hartono menginformasikan, Jali di Filipina dijadikan sebagai proyek riset nasional. Sementara itu, RRC juga mengembangkan Jali yang bahkan diekspor sampai Indonesia dengan harga yang mahal. “Anda akan menemukan beras Jali dijual mahal dan itu impor dari RRC. Sementara justru kita tidak mengenal, mengabaikannya,” katanya.

Ia menegaskan, Jali adalah bahan pangan yang sangat berharga. “Kami biasa menyebutnya, Jali ini pusaka boga. Pusaka warisan yang berwujud pangan. Pantas untuk kita jaga, kita kembangkan,” katanya. Ia pun mengajak banyak pihak untuk bersama-sama mengembangkan Jali termasuk universitas.

Romo Hartono pun mengutip Laudato Si’ artikel 217 tentang melindungi ciptaan Allah adalah bagian dari iman kristiani. “Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh dan bukan sebuah opsi saja atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani.”

“Jadi, gerakan kita untuk budidaya tanaman ++ (plus-plus) yang punya nilai untuk melestarikan keutuhan ciptaan itu adalah terintegrasi dengan iman kita, bukan hanya kelebihan, bukan hanya sekadar kemurahan hati kalau dilakukan baik, kalau tidak ndak papa. Sebenarnya itu terintegrasi untuk sebagai kewajiban iman kita yang percaya akan Allah pencipta, yang menciptakan segala sesuatu baik adanya,” tegasnya.

Hal itu bisa dilakukan sesuai konteks masing-masing, tempat masing-masing, misalnya kebun, pekarangan, kampus, ataupun dapur sebagai perwujudan iman kita.

“Bahwa kita sungguh-sungguh dipanggil untuk memikirkan pangan yang sehat bagi generasi yang akan datang. Kita dipanggil juga untuk menyelamatkan berbagai macam ciptaan yang jelas sekali di dalam Kitab Suci disebutkan “segala sesuatu baik adanya”,” katanya.

Romo Hartono pun menyesalkan, hanya karena kita belum mempelajari sungguh, lalu kita tidak tahu bahwa itu baik. Karena tidak tahu kalau itu baik, lalu kita meremehkan, bahkan yang lebih jahat adalah menganggapnya sebagai gulma.

Selanjutnya, Romo Hartono menekankan kalau segala sesuatu diciptakan baik pada awalnya. Maka, ia pun mengajak supaya masuk lebih dalam mengungkapkan iman dengan menghargai, mengapresiasi segala ciptaan Tuhan yang ada di sekitar kita, apapun bentuknya.

“Apalagi ketika kita fokus dengan tanaman pangan, karena pada saat yang sama bukan hanya mengapresiasi tanaman sebagai subyek ciptaan, tetapi pada saat yang sama, kita mengembangkannya,  kita mempromosikan untuk pangan, keselamatan, kesejahteraan hidup orang-orang di sekitar kita. Mempromosikannya untuk yang lain. Bukankah Yesus sangat peduli dengan orang-orang yang kelaparan, dengan sabda-Nya, “Kamu harus memberi mereka makan!” katanya

Ia pun berpesan, “Ingat, ada banyak orang bukan hanya tidak mendapat makan, tetapi ada orang yang makan salah, akhirnya jadi penyakit!”

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *