Bermenung Atas Kehidupan Sehari-hari Bersama Untung

Judul              : Untung, Pesta Perak: Imamat Itu Anugerah

Penulis            : Aloys Budi Purnomo, Pr

Penerbit          : Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan

Halaman         : 260 halaman

Harga             : Rp.100.000,-

 

Peristiwa sehari-hari hanya akan menjadi peristiwa biasa kalau kita tak merefleksikannya. Bahkan peristiwa itu menguap begitu saja bersama perjalanan waktu. Atau bahkan, peristiwa itu tenggelam begitu saja tertimpa tumpukkan peristiwa-peristiwa selanjutnya.

Namun berbeda jika peristiwa-peristiwa itu kita refleksikan sedemikian rupa dan menjadi bahan permenungan. Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran itu penting bagi perbaikan cara kita bertindak selanjutnya. Maka, peristiwa yang kita alami menjadi pengalaman berharga, selanjutnya itu menjadi guru kehidupan.

Kalaupun tak sempat merefleksi seketika, peristiwa itu cukup kita abadikan, misalnya dengan menulisnya. Pada saatnya kelak, mungkin kita akan membacanya lagi, dan ketika membacanya, kita baru bisa memetik mutiara kehidupan. Jadi, buah-buah peristiwa berupa kebijakan-pelajaran hidup tak sekaligus langsung bisa kita petik. Bahkan peristiwa yang telah kita refleksikan pun bisa memunculkan kebijakan-kebijakan baru pada saatnya sesuai perkembangan diri kita.

Romo Aloys Budi Purnomo, Pr telah menulis peristiwa-peristiwa unik yang dialaminya dengan sangat menarik. Lelaki yang ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Agung Semarang pada 8 Juli 1996 itu membagi tulisannya dalam 3 periode perjalanan karyanya yang dibingkai dalam buku berjudul “Untung, Pesta Perak: Imamat Itu Anugerah!” Buku yang diterbitkan dalam rangka Pesta Perak Imamat  tersebut terdiri dari tiga bagian yang diberi sub judul Untung, Hidup Itu Lucu dan Indah: Untung, Hidup Itu Rahmat; dan Untung, Hidup Itu Perutusan.

Menariknya, Romo Budi mengemas tulisannya dengan mengangkat seorang tokoh dengan sudut pandang orang ketiga bernama ‘Untung’ yang sejatinya mempersonifikasikan dirinya sendiri. Nama ‘Untung’ bukanlah sembarang nama yang dipilihnya. “Dalam Bahasa Jawa, Untung sama dengan Bejo!” (hal. iii).

Seperti ditulis di pengantar, Untung berkeyakinan bahwa hidup itu lucu, indah, dan merupakan anugerah Allah. Keyakinan itu muncul setelah ia merenungkan peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman yang menjengkelkan dan yang membuat dia sendiri bertanya-tanya, “ kok begitu ya? Suatu pengalaman yang konyol, tolol, dan tak terduga” (hal. iii).

“Untung merasa bahwa inilah kelucuan hidup. Hidup menjadi peristiwa yang paling lucu, manakala ia mencoba peka terhadap pengalaman-pengalaman yang konyol. Hidup menjadi terasa indah manakala pengalaman yang lucu itu dikenang dan direnungkan kembali, apalagi dalam kacamata iman, harapan, dan kasih. Melalui permenungan dalam kacamata iman, harapan, dan kasih, Untung mengalami bahwa hidup yang konyol dan lucu itu adalah anugerah dari Bapa, maka pantas dan layak disyukuri terus menerus” (hal. iii).

Dalam buku setebal 260 halaman dan berisi 150 kisah itu, Romo Budi menulis narasi-narasi pendek dengan gaya tutur naratif yang sangat memikat untuk dibaca. Pada beberapa bagian dilengkapi refleksi dan doa yang menjadi peneguhan. Namun, pada bagian yang lain (khususnya bagian yang ketiga), Romo Budi sepertinya sengaja hanya menulis narasi berdasar pengalamannya tanpa refleksi. Rupanya, ia hendak mengajak para pembaca untuk mereflesikan narasi itu sendiri berdasar kisah hidup masing-masing.

Salah satu kisah yang menarik ditulis pada kisah pertamanya. Dikisahkan waktu petang hari, bapak dan ibu Untung perang mulut karena ketika mereka pulang dari sawah, lampu rumah belum dinyalakan. Anak-anak termasuk Untung malah sibuk bermain. Untung yang sulung merasa bersalah, ia tak tahu harus berbuat apa. Pada saat genting itulah, tiba-tiba adik Untung telah mengangkat sebuah lilin yang menyala dan menyodorkannya kepada kedua orang tuanya sambil menyanyi “Pepadhang Dalem Sang Kristus! (Cahaya Kristus!) dengan nada seperti pastor menyanyikan lagu itu pada upacara cahaya malam Paskah.

Menyaksikan sikap dan mendengar suara si bungsu itu, spontan bapak dan ibu Untung berhenti “perang mulut”. Dan dari wajah yang tegang keluarlah senyuman. Bapak dan ibu Untung pun merangkul si bungsu. Kemarahan mereka berubah menjadi senyuman yang tersipu- sipu malu.

Dari situlah, Romo Budi melalui tokoh Untung menangkap insight yang kemudian ditulis pada bagian refleksinya. “Kalau orang terbuka bagi perwartaan. Sesederhana hidup menjadi lebih cerah dan gembira. Pertengkaran dan perselisihan pun berubah menjadi senyuman ketika dilerai oleh warta cahaya Kristus. Alangkah indahnya kehidupan ini kalau setiap orang mengawali pertengkaran dan perselisihan mereka dengan doa, agar pertengkaran dan perselisihan itu menjadi usaha untuk semakin menyempurnakan hidup, dan bukannya menghancurkannya.” Kisah dan refleksi ini diberi judul “Lilin” dan tertulis pada halaman 13.

Tentu banyak kisah menarik lainnya yang pantas menjadi bahan permenungan bagi kehidupan kita. Membaca buku ini, kita seperti disodori perjalanan hidup Romo Budi secara utuh berikut permenungan yang bisa diambilnya dan menjadi peneguhan kita. Beragam peristiwa dilaluinya namun berakhir dalam permenungan yang mendalam.

Namun, mohon diperhatikan dalam membaca buku ini! Romo Budi telah memberi panduan cara membaca buku tersebut supaya bisa dinikmati secara mendalam dan penuh makna. “Kisah-kisah dalam permenungan ini akan lebih bermakna bila setiap selesai satu kisah tidak langsung membaca kisah berikutnya (memberi waktu untuk merenungkannya). Maka, cocok sekali bila kisah-kisah dalam permenungan ini dibaca dalam suasana reflektif, sehingga bisa membantu merefleksikan kisah-kisah perjalanan hidup yang muncul” (hal. xi).

Meski demikian, Romo Budi berharap, pembaca bisa menemukan refleksi secara pribadi. “Maka dari itu tidak tertutup kemungkinan bagi pembaca untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhannya” (hal. xi).

Melalui buku ini, penulis sepertinya hendak mengajak kita supaya menjalani hidup perutusan dengan sederhana tanpa muluk-muluk dan bisa diaplikasikan dalam hidup sehari-hari. “Menjalani hidup sebagai perutusan tidak usah dipikirkan secara muluk-muluk seolah-olah kita harus pergi ke tempat lain dan berkoar-koar mewartakan Injil kepada orang lain. Paling sederhana, menjalankan tugas perutusan dapat kita laksanakan bila dalam hidup kita sehari-hari, kita dapat saling berbagi kisah, kasih, dan berkat, sehingga satu terhadap yang lain dapat saling dikuatkan dan diteguhkan dalam kehidupan iman. Iman diteguhkan. Harapan dikuatkan. Kasih dikobarkan” (hal. 249).

Untuk membacanya, kita bisa mendapatkannya dengan harga Rp. 100.000,00 dengan memesan ke nomor WA  +6285101923459

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *