Berikut ini adalah transkrip homili Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam Misa Hari Buruh di Katedral Jakarta, yang disiarkan melalui kanal youtube Komsos Katedral Jakarta, 1 Mei 2021
Saudari-saudaraku seiman di dalam Kristus, khususnya Saudari-saudara pekerja yang terkasih,
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat menyambut hari pekerja internasional dan selamat merayakan pesta Santo Yosef, pelindung para pekerja.
Dengan tulus saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Kerasulan Pendampingan Para Pekerja Dekenat Tangerang, kepada LDD dan teman-teman yang dengan sukarela memberikan diri di dalam pendampingan saudari-saudara kita para pekerja.
Semoga kesempatan ini, bagi kita semua, menjadi kesempatan untuk menimba inspirasi iman, untuk membangun persaudaraan agar dapat saling meneguhkan ketika kita berhadapan dengan berbagai macam tantangan, dan bersama-sama mencari jalan keluar di dalam masa sulit ini.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Ketika saya menyiapkan ibadah ini, saya teringat akan satu dongeng. Karena yang masuk di dalam diri saya dongeng itu, maka saya ceriterakan saja dongengnya. Dongeng tentang ‘Batu Ajaib’. Dongengnya begini.
Suatu hari ada seorang muda yang masuk kampung. Pakaiannya lusuh. Dia membawa satu tas plastik kresek. Dia mendatangi salah satu rumah di kampung itu, mengetuk pintu dan yang keluar adalah seorang ibu.
Orang muda itu berkata begini, ”Ibu, saya sudah 3 hari tidak makan. Bolehkah saya menerima sesuatu untuk dimakan dari Ibu?”
Ibu itu menjawab begini, “Maaf, Anak Muda, semua persediaan di rumah ini sudah habis. Saya juga tidak punya apa-apa lagi.”
Lalu, orang muda itu berkata begini, “Ibu, di tas saya ini ada batu ajaib. Dengan batu itu, saya bisa membuat masakan. Cukup untuk seluruh kampung. Ibu tinggal menyediakan saja panci, air, api. Saya akan menggunakan batu ini untuk memasak.”
Disiapkanlah semua yang diminta oleh orang muda itu. Sementara orang muda itu mulai memanaskan air di dalam panci, ibu itu sudah berkeliling kampung dan berkata begini, “Saudari-saudara, di rumah saya ada seorang muda yang katanya bisa memasak untuk kepentingan seluruh kampung!”
Datanglah orang-orang dari kampung itu ke rumah ibu dan mulai melihat orang muda itu memasak. Nah, ketika orang sudah berkumpul, air yang di dalam panci itu dia aduk-aduk. Lalu, dia cicipi. Dia mengatakan, “Enak! Masakan ini akan lebih enak kalau ada sayurnya,” katanya.
Lalu, beberapa orang yang datang itu berkata, “Oh, di rumah saya ada sayur!”
Beberapa dari mereka pulang mengambil sayur, memberikan sayur itu kepada orang muda itu. Dimasukkan ke dalam panci, diaduk-aduk lagi, dicicipi lagi. Dan dia berkata, “Sekarang sudah lebih enak. Akan lebih enak lagi kalau ada dagingnya,” katanya.
Nah, yang lain mengatakan, “Di rumah saya juga ada daging. Mau daging apa?”
Pergilah mereka ke rumah. Kembali ke orang muda itu dan membawa daging. Dimasukkan lagi, diaduk-aduk lagi, dicicipi lagi. Orang muda itu mengatakan, “Masakan ini hampir sempurna. Akan sempurna, siap disajikan kalau ada bumbunya,” katanya.
Orang yang datang di situ beberapa mengatakan, “Oh, di rumah saya banyak bumbu. Mau bumbu apa?”
Diambillah bumbu itu, diberikan kepada orang muda itu. Diaduk-aduk lagi masakannya. Dia mengatakan, “Masakan ini sudah sempurna. Siap disajikan. Tetapi di sini tidak ada piring. Silakan pulang ke rumah masing-masing. Ambil piring, tapi jangan kembali dengan piring kosong. Silakan ambil buah-buah atau apapun yang bisa dibawa ke sini!”
Mereka pulang mengambil piring. Dan tidak seorang pun yang membawa piring kosong. Seadanya dibawalah kepada orang muda itu. Orang sekampung siap berpesta dengan makanan masakan orang muda tadi.
Nah, ketika mereka makan bersama, orang-orang pada berkata satu sama lain. “Belum pernah ya, kita seumur-umur, orang sekampung merasakan kegembiraan bersama seperti ini? Siapa tadi yang mulai acara seperti ini?”
Yang punya rumah mengatakan, “Tadi ,orang muda tadi yang memasak!”
“Di mana dia sekarang?”
Dicari, dicari, dicari, tidak ketemu. Yang ketemu hanya satu tulisan di atas kertas. Tulisannya berbunyi begini “Saya tinggalkan batu ajaib yang tadi saya pakai untuk memasak. Kalau para Ibu-Bapak, Saudari-Saudara ingin merasakan kegembiraan bersama lagi, silakan menggunakan batu ajaib tadi.”
Dongengnya selesai.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Kita semua menangkap pesannya. Itu adalah dongeng. Dan kita semua murid-murid Yesus Kristus atau siapapun pribadi yang beriman mempunyai tugas untuk menjadikan dongeng itu kenyataan. Dan itulah yang dikatakan oleh Rasul Yohanes di dalam Surat yang tadi kita dengarkan. Saya baca kalimat pertama. “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah tetapi dengan perbuatan dalam kebenaran.” (1 Yoh 3: 18).
Itulah yang dikatakan oleh orang muda tadi di dalam dongeng. Tentu untuk yang seperti itu, diperlukan orang-orang muda yang rela berfantasi, berprakarsa membuat inisiatif untuk mengumpulkan saudari-saudara sekampung tadi agar merasakan kegembiraan sebagai sesama saudara yang hidup di dalam suatu tempat atau suatu profesi atau apapun.
Bagi saya, orang muda di dalam dongeng tadi mirip-mirip dengan yang diceriterakan di dalam Kisah Para Rasul yang tadi dibacakan, Barnabas. Orang ini sangat penting di dalam sejarah Gereja, tetapi tidak dikenal. Barnabas adalah nama panggilan. Nama aslinya di “KTP” adalah Yusuf. Kenapa dia dipanggil Barnabas? Barnabas itu artinya anak penghiburan. Pribadi yang di mana pun dia berada selalu membawa kegembiraan, selalu membawa penghiburan.
Kalau kita membaca Kisah Para Rasul, dia adalah salah seorang anggota jemaat yang menjual miliknya. Diberikan, dibawa ke kaki para rasul untuk kepentingan bersama. Sehingga di dalam kehidupan bersama, jemaat di Yerusalem dikatakan ‘tidak seorang pun yang berkekurangan’.
Kebaikan hati Barnabas juga tampak di dalam kisah yang tadi kita dengarkan. Mengenai Paulus yang sudah berjumpa dengan Kristus ingin bergabung dengan murid-murid yang lain, tetapi ditolak karena orang ini penganiaya jemaat. Sejarahnya, dikatakan di dalam Kisah Para Rasul tadi ‘tetapi Barnabas menerima dia’ (Kis 9:27).
Syukur Barnabas menerima Paulus. Kalau tidak ada Barnabas, kita tidak akan punya yang namanya Rasul Paulus. Meskipun namanya tidak dikenal banyak, tetapi Barnabas ini mempunyai peranan yang mahapenting di dalam sejarah Gereja. Dialah pemimpin Gereja di Anthiokia, salah satu kota penting pada zaman itu, yang menjadi pusat misi.
Kalau sekarang kita mengenal Kristus, kalau dicari-cari sejarahnya, ya Barnabas ini, bukan Paulus. Barnabas!
Barnabas, Anak Penghiburan yang membuat kehidupan bersama di dalam Gereja Yerusalem bergembira, bersaudara. Dan menurut apa yang dikatakan di dalam Injil, kebersamaan hidup mereka menjadi pujian kemuliaan bagi Tuhan. Dalam hal inilah, ‘Bapaku dipermuliakan yaitu jika kamu berbuah banyak’ (Yoh 15:8). Banyak itu bukan bilangan. Banyak adalah mutu.
Mutu kehidupan bersama yang diceriterakan di dalam dongeng tadi sangat jelas. Itulah yang namanya ‘buah-buah’. Dari wujud kasih yang bukan hanya disampaikan dengan perkataan dan lidah, tetapi dengan prakarsa, dengan komitmen, dan dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Semoga di lingkungan kita muncullah orang muda yang membawa ‘batu ajaib’ tadi. Moga-moga semakin banyak di antara kita yang rela menjadi ‘batu ajaib’, yang mengumpulkan orang, mendampingi, mempersatukan, dan membawa kegembiraan.
Semoga di lingkungan kita muncul Barnabas-Barnabas kecil yang disebut sebagai anak penghiburan. Di mana dia berada, orang merasa terhibur, diteguhkan dan gembira.
Sekali lagi, terima kasih atas nama Keuskupan Agung Jakarta kepada teman-teman yang dengan rela bergabung di dalam Kerasulan Pendampingan Kaum Pekerja. Bukan hanya di Keuskupan Agung Jakarta, tetapi di manapun Saudari-saudara diutus dan dipanggil untuk menjadi Barnabas-Barnabas kecil, menurut Kisah Para Rasul. Menjadi ‘batu ajaib’ atau orang muda yang membawa batu ajaib, menurut dongeng tadi.
Kita boleh yakin, sekecil apapun yang bisa kita kerjakan, kita yakin, dengan cara itu, kita memuliakan Tuhan dan memuliakan martabat manusia.