Launching Buku Deklarasi Istiqlal, Refleksi dan Tantangan Seluas Indonesia: Dari Written Document ke Living Document

Tanggal 5 September 2024, Paus Fransiskus melakukan kunjungan silaturahmi ke Masjid Istiqlal dan diterima Imam Besar Istiqlal, Prof Dr KH Nasaruddin Umar, yang saat ini mengemban amanah sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dalam Kabinet Merah Putih Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pada tanggal tersebut, terjadilah penandatanganan Dokumen Deklarasi Istiqlal (DDI) oleh Paus Fransiskus dan Prof Dr KH Nasaruddin Umar.

DDI diberi judul “Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan”. Di dalamnya diperhatikan dua krisis serius yang dihadapi dunia, yakni dehumanisasi dan perubahan iklim. Dehumanisasi ditandai dengan meluasnya kekerasan dan konflik, yang seringkali membawa jumlah korban yang mengkhawatirkan. Agama seringkali diperalat sehingga mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia. Padahal peran agama harus mencakup peningkatan dan pemeliharaan martabat setiap kehidupan manusia. (DDI 2024 no.1). Selanjutnya, telah terjadi perubahan dan krisis iklim, yang menimbulkan berbagai konsekuensi destruktif seperti bencana alam, pemanasan global, dan pada cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis tersebut menghambat kehidupan bersama yang harmonis di antara masyarakat (DDI 2024 no. 2).

Menyikapi dua masalah serius tersebut, DDI menyerukan empat hal. Pertama, nilai-nilai tradisi agama-agama harus dimajukan secara efektif demi mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian dengan cara meningkatkan budaya hormat, martabat, belarasa, rekonsiliasi, dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan perusakan lingkungan. Kedua, para pemimpin agama harus bekerjasama dalam menanggapi krisis tersebut dan mengambil tindakan yang tepat. Ketiga, perlu dilakukan dan ditingkatkan dialog antarumat beragama untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Keempat, menumbuhkan lingkungan sehat dengan menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup demi generasi mendatang.

Menandai Setahun DDI, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI), mempersiapkan dan me-launching Buku berjudul Deklarasi Istiqlal, Refleksi dan Tantangan Seluas Indonesia. Buku ini terbit berkat kerjasama sinergis sejumlah Ketua Komisi HAK Keuskupan yang tersebar di Indonesia dan sejumlah pihak (Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen, dan Katolik) sebagai kontributor. Romo Aloys Budi Purnomo Pr selaku Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI bertindak sebagai editor. Buku tersebut di-launching di Henry Soetio Hall Gedung KWI (10/9/2025) dengan menghadirkan Prof Dr KH Nasaruddin Umar sebagai Pembicara Kunci. Hadir pula Ketua Presidium KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, Mgr. Christophorus Tri Harsono sebagai Ketua Komisi HAK KWI sekaligus sosok yang membacakan DDI setahun silam. Para narasumber lain yang menuliskan refleksi dan hadir dalam launching tersebut adalah KH Muhammad Abdul Qodir (Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin Demak, Jawa Tengah), Bante Dhammasubo Sri Mahathera, Prof Philip K. Widjaja (Permabudhi), XS. Budi S. Tanuwibowo (Matakin), Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (PHDI), dan Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty (PGI). Hadir dalam acara ini Para Pimpinan Majelis Agama, Mitra HAK KAJ dan Bogor, OKP Lintasagama, Komunitas Laudato Si’, Gusdurian, Komunitas JAI, Bimas Katolik, MLKI, Sant’ Egidio, FUKRI, ICRP, Majelis Istiqlal, dan LPOK.

Romo Aloys Budi Purnomo, Pr (Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI)

Sekretaris Komisi HAK KWI Romo Aloys Budi Purnomo, Pr berharap, terbitnya buku ini dapat membantu perluasan dan pendalaman atas DDI sehingga semakin berdampak dalam kehidupan bersama di Indonesia. Sebagaimana dicita-citakan DDI, kerukunan umat beragama untuk menghargai martabat kemanusiaan dan upaya menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan diteguhkan.

Prof Dr KH Nasaruddin Umar (Menteri Agama RI)

Prof Dr KH Nasaruddin Umar sebagai Pembicara Kunci mengapresiasi hadirnya buku tersebut. Nasaruddin yang juga menerima buku tentang ekoteologi selain DDI menyampaikan, kedua buku itu sangat proaktif untuk memfasilitasi keinginan bersama kita di tanah air ini. “Di Indonesia ini kita butuh cinta yang sejati,” katanya.

Mgr. Christophorus Tri Harsono (Ketua Komisi HAK KWI)

Ketua Komisi HAK KWI, Mgr. Christophorus Tri Harsono menyampaikan bahwa semangat DDI merupakan kelanjutan dari Dokumen Abu Dhabi yang terus menggema dan dilanjutkan dalam pertemuan-pertemuan.Tidak berhenti di penandatanganan, tetapi dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa berguna bagi dunia.

DDI, menurutnya, tingkatnya sama dengan Deklarasi Abu Dhabi. Namun, DDI lebih khas Indonesia. “Melanjutkan dari cita-cita iman dan juga kecerdasan kemanusiaan, maka perlu mencintai bumi ini dengan cara mendamaikan bumi, menjaga dan memelihara untuk seluruh umat manusia. Tidak hanya untuk kelompok tertentu atau keyakinan tertentu ataupun juga bangsa tertentu, kepada seluruh umat manusia untuk melanjutkan dari cita-cita dokumen Abu Dhabi dan Deklarasi Istiqlal, serta menghindari keserakahan, ketamakan dan ketidakadilan, kerusakan dan kehancuran bumi karena kejahatan sesama ciptaan itu sendiri. Ini perlu, harus dikurangi atau bahkan disingkirkan,” katanya.

Meski demikian, upaya itu, menurutnya, tidak bisa langsung, tetapi paling tidak dengan deklarasi, dengan pengaturan-pengaturan ini manusia akan menjadi lebih sadar terhadap sesama ciptaan.

Mgr Tri mengapresiasi buku “Deklarasi Istiqlal, Refleksi dan Tantangan Seluas Indonesia”. “Buku ini diciptakan luar biasa. Ini ada penulis-penulis juga dari lintas agama, lalu juga dari ini se-Indonesia untuk menanggapi sebetulnya Deklarasi Istiqlal. Jadi saya kira ini akan membuka mata pikiran kita, hati kita juga untuk lebih menjadi sesuatu yang menyadarkan untuk cinta bumi ini, untuk melanjutkan Deklarasi Istiqlal ini,” katanya.

Mgr Tri mengapresiasi para penulis yang menekankan hal-hal baik dan positif. “Artinya tidak ada yang bercerita tentang tidak boleh ini, tidak boleh itu, atau yang buruk-buruk. Tapi ini hal-hal yang baik semua yang sebenarnya sudah diadakan. Kenapa kita harus berpikir selalu hal-hal yang buruk saja, tetapi banyak yang sudah dicapai, perdamaian atau yang disebut juga dengan saling menghormati satu dengan yang lain sudah banyak sekali di sini. Ini yang menjadi contoh supaya kita juga menyemangati bangsa dan negara kita untuk selalu baik,” katanya.

Paus Fransiskus, lanjutnya, selalu bersukacita, termasuk ketika ke Indonesia. “Yang paling membahagiakan terakhir adalah bangsa Indonesia, ia selalu kasih salam, kasih salam, ketemu orang Indonesia selalu kasih salam lagi, bangsa Indonesia yang sangat luar biasa yang penduduk agamanya mayoritas adalah Islam, tetapi sudah menjalankan suatu toleransi beragama, luar biasa. Di seluruh dunia teladan untuk dialog antar umat beragama adalah sebetulnya Indonesia, menjamin itu semua,” katanya.

Mgr Tri berharap, pikiran-pikiran dalam buku tersebut dapat direalisasikan dengan baik. “Dokumen-dokumen imani dan kecerdasan insani inilah yang nanti akan menyambut dan juga akan menggaungkan Deklarasi Istiqlal bersama,” katanya.

Begitu antusiasnya akan realisasi Deklarasi Istiqlal, Mgr Tri bahkan akan mengabarkan hal baik itu pada perayaan 60 Tahun Nostra Aetate atas undangan Paus Leo XIV. “Deklarasi Istiqlal tidak berhenti di sana tetapi direalisasikan dan dijalankan terus-menerus. Sekali lagi terima kasih untuk persaudaraan sejati, persatuan hati dan tindakan nurani. Dan kita manusia yang penuh iman ini mau mensukseskan deklarasi-deklarasi baik damai bumi ini dengan sebaik-baiknya,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, sejumlah narasumber pun menyampaikan apresiasinya. Mereka adalah K. H. Muhammad Abdul Qodir (Pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin), Bhante Dammasubo Sri Mahatera (Buddha), Prof. Philip K. Wijaya (Ketua Umum Permabudhi), Xs Budi Tanu Wibowo (Ketua Umum Matakin),  I Ketut Budiasa, ST, M.M. (Sekretaris Umum PHDI), Pdt Johan Kristantara (Sekretaris Eksekutif Bidang KKC PGI), dan Niluh Puspasari (Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)).

Niluh Puspasari

Mewakili Ketua Umum PHDI Wisnu Bawa Tenaya yang berhalangan hadir, Niluh Puspasari menilai momen kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia 3-6 September 2025 adalah momen yang sangat luar biasa. “Tentu ada maksud di balik kedatangan beliau, datang ke Indonesia. Ada maksud yang sungguh kita harapkan bersama untuk menyuarakan, terutama dalam hal ini adalah perdamaian untuk seluruh anak bangsa di seluruh dunia,” kata Niluh.

Terkait dengan Deklarasi Istiqlal, ia melihat ada dua hal substansi penting. Yang pertama adalah peneguhan kerukunan umat beragama untuk kemanusiaan dalam tantangan dehumanisasi. Kedua, seruan perbaikan lingkungan dalam menghadapi krisis iklim global.

Niluh Puspasari

“Nah, kedua substansi ini sangat relevan  dengan kondisi bangsa kita. Kita tahu bangsa Indonesia sangat beragam. Ada enam agama besar, ada 700 bahasa yang berbeda-beda, ada 1300 suku bangsa yang ada di Indonesia dan ada 17.000 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Tentu tidak mudah menyatukan berbagai keberagaman ini. Dan satu semboyan atau pedoman gitu ya yang kalau kita bisa bilang pedoman adalah yang selalu mengikat kita supaya tetap bersatu adalah” bhineka tunggal ika”. Itu sudah semboyan sakti. Mungkin kalau tanpa, tanpa kita berpedoman kepada “bhineka tunggal ika” bisa jadi nasib kita seperti negara yang lain, yang terpecah-pecah karena begitu beragamnya, betapa majemuknya kita sehingga rawan sekali terjadi perang,” kata Niluh.

Kita bersyukur, lanjutnya, dengan keberagaman, kemajemukan, kita tetap bisa bersatu di bawah naungan Pancasila dengan semboyan “bhineka tunggal ika”.

Menurutnya, umat Hindu mensyukuri dan berterima kasih atas kunjungan Paus Fransiskus dan inisiatif Deklarasi Istiqlal yang sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Ia pun mengutip Bhagavad Gita bab 4 Sloka 11, ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmyaham mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ”. Artinya, dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati-Ku, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan, manusia mengikuti jalan-Ku.

“Jadi apapun caranya, bagaimanapun caranya, tujuannya adalah sama. Kita mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.

Kemudian Bhagavad Gita bab 7 sloka 21, Yo yo yāṁ yāṁ tanuṁ bhaktaḥ śraddhayārcitum icchati tasya tasyācalāṁ śraddhāṁ tām eva vidadhāmy aham”. Artinya, dalam bentuk apapun juga mereka yang berbakti pada-Ku yang dengan kepercayaan bermaksud menyembah-Ku. “Jadi sekali lagi ini menandakan bahwa keberagaman, kemajemukan adalah keniscayaan. Nah, kalau keberagaman adalah keniscayaan, maka menjaga kerukunan antar umat manusia adalah bukti cinta kita, bukti kasih kita, bukti penghormatan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta,” kata Niluh.

Niluh lebih lanjut menjelaskan, Hindu mempunyai ajaran Tat Twam Asi ya, cinta kasih. “Aku adalah kamu, kamu adalah aku.” “Ketika kita menyakiti orang lain itu sama dengan menyakiti diri sendiri. Ketika kita merendahkan orang lain itu sama dengan merendahkan diri kita sendiri,” kata Niluh.

Ajaran berikutnya adalah Vasudhaiva Kutumbakam. “Kita semua bersaudara. Kita yang ada di muka bumi ini semuanya adalah bersaudara. Bapak dan Ibu layaknya saudara. Kita tentu saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga agar semuanya bisa berjalan dengan harmonis. Itu konsep di kami Tat Twam Asi dan Vasudhaiva Kutumbakam. Bahwa pada dasarnya semua makhluk hidup adalah suci,” tutur Niluh. Umat Hindu, lanjutnya, menyambut gembira dan antusias atas seruan dalam Deklarasi Istiqlal dan berharap Deklarasi Istiqlal dapat menyebar ke seluruh dunia, menginspirasi para pemimpin dunia dan para pemimpin umat beragama.

“PHDI sebagai majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Paus Fransiskus atas usaha dan komitmen beliau yang tanpa henti terus membangun, saling menghargai, saling pengertian, saling menghormati, dan menjaga hubungan yang harmoni antar pemimpin agama dunia,” katanya.

Namun, kata Niluh, di tengah-tengah kemajuan dunia yang berorientasi material, peran agama dibutuhkan hadir sebagai penyeimbang dan penyejuk agar jiwa-jiwa suci, jiwa-jiwa agung tidak terseret ke dalam kehidupan yang tidak baik atau berkonflik dan bisa mendapatkan tuntunan kembali pada hakikat yang bersifat spiritual.

“Munculnya dehumanisasi ditandai dengan meluasnya kekerasan dan konflik di mana agama seringkali dijadikan alat untuk memuaskan kekuasaan dan memuaskan ego semata. Tidak mudah untuk membangun persaudaraan, saling pengertian dan harmoni yang tulus, bila di ruang-ruang tertutup masih ada budaya membangun kebanggaan atas agamanya sendiri dan merendahkan agama lainnya,” tegas Niluh.

Niluh juga menyinggung tantangan selanjutnya adalah eksploitasi yang semena-mena dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. “Agama harus hadir untuk mendorong, kita menyebutnya kesalehan sosial. Jadi, umat beragama tidak hanya fokus pada ritual beribadah, tapi ada prasyarat lain bahwa kita punya tanggung jawab untuk menjaga dan memuliakan alam semesta atau lingkungan,” katanya. Dalam konsep Hindu, lanjutnya, ada Tri Hita Karana. “Tiga hubungan yang harmonis. Satu, hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Yang kedua, hubungan dengan sesama. Dan yang ketiga adalah hubungan yang harmonis dengan lingkungan atau alam semesta,” katanya.

Prof. Philip K. Wijaya (Ketua Umum Permabudhi)

Prof. Philip K. Wijaya dalam kesempatan itu mengatakan kalau dirinya hadir saat pembacaan Deklarasi Istiqlal. “Saya hadir dalam deklarasi itu. Saya saksikan ditandatangani dokumen itu dan  saya juga berulang kali berkecimpung di berbagai acara untuk membahas Dokumen Istiqlal itu. Poinnya adalah Permabudhi sebagai sebuah organisasi Buddhis, kita sesuai dengan ajaran agama Buddha yang ada, tentu aja welas asih itu menjadi apa yang kita junjung tinggi,” katanya.

Menurut Prof  Philip, yang terpenting dalam Deklarasi Istiqlal adalah merealisasikan, menerjemahkan apa yang ada di dalam Dokumen Istiqlal itu ke dalam kehidupan hubungan antar agama, “kehidupan yang lebih tenang dan bisa damai yang dipersembahkan kepada bumi ini”.

Prof. Philip K. Wijaya

“Permabudhi melalui cabang-cabangnya di seluruh Indonesia, kita ada di 37 provinsi, kita akan berusaha menyebarluaskan pemikiran-pemikiran ini dan mengajak seluruh umat Buddha yang bernaung untuk dapat bersama-sama merealisasikan cita-cita yang disampaikan oleh seorang Paus, yang disepakati bersama juga dengan seorang imam besar dari Indonesia itu bisa dirubah jadi sebuah impian menjadi kenyataan. Karena dokumen ini, Dokumen Istiqlal ini cukup penting. Saya ingatkan di berbagai kesempatan bahwa dokumen ini adalah pelengkap dari dokumen Abu Dhabi yang sudah ada,” katanya.

Bhante Dammasubo Sri Mahatera (Buddha)

Menurutnya, ada tiga cara menjaga dunia. Satu, kalau orang itu sudah berhenti berbuat jahat dan takut akan akibatnya. “Dunia akan selamat oleh orang-orang yang takut berbuat jahat, malu berbuat jahat dan takut akan akibatnya,” katanya. Yang kedua, orang-orang menjadi selamat bukan dengan pagar kawat berduri, tetapi dengan pagar hati. “Maka kalau orang sudah nggak punya hati dan nggak hati-hati, artinya sudah mati rasa, jangan mimpi, mimpi saja jangan, dunia ini akan selamat,” katanya.

Bhante Dammasubo Sri Mahatera

Yang ketiga, dunia akan selamat oleh orang-orang yang sudah tidak sibuk menyoal atau sibuk dengan urusan mulut, urusan perut, ngisore (bawah) perut, dhuwure (atas) lutut.

Sebelum 5 September 2024 dideklarasikan, menurut Banthe Dammasubo, 2600 tahun yang lampau Sidharta Gautama telah mendeklarasikan satu kata “Sabbe satta bhavantu sukhitatta” (Semoga semua makhluk berbahagia). “Di Jawa “Memayu Hayuning bawono”, memperindah-indahnya dunia,” katanya.

Xs Budi Tanu Wibowo (Ketua Umum Matakin)

Menurut Xs Budi Tanu Wibowo, dua hal yang menjadi catatan dalam Deklarasi Istiqlal adalah soal dehumanisasi dan soal kelestarian lingkungan. “Kalau saya boleh usulkan lebih tepat namanya kelestarian kehidupan. Karena alam rusak kayak apapun, alam atau bumi tetap masih ada, tapi yang mati adalah manusianya. Jadi kita mau merusak alam sekalipun tidak soal, asal kita sadar bahwa akhirnya kita sendiri yang akan menanggungnya,” katanya.

Ia pun mengutip Kitab Sanjak “Tekun hidup sesuai firman, memberkati diri banyak bahagia. Bahaya yang datang oleh ujian Tuhan dapat dihindari, tetapi bahaya yang dibuat sendiri tidak dapat dihindari. Celaka dan bahagia tiada yang bukan dicari sendiri. Sebelum udara mendung dan hujan, kukumpulkan akar berlumpur untuk menambal dan menutup pintu sarangku. Kini hai manusia, beranikah engkau menghinaku? Seekor burung bisa sadar akan bahaya yang datang. Ketika hari mau hujan, mereka secara sadar menutup lubang-lubangnya. Bisakah manusia sesadar burung itu?”

Xs Budi Tanu Wibowo

“Itu pertanyaan yang paling mendasar. Agama adalah untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Tapi sayangnya, agama hanya ditafsirkan secara tidak seimbang. Kita berat memuja-muja Tuhan, lupa untuk mengasihi sesama manusia. Jadi kalau deklarasi ini bisa berjalan dengan efektif, saya sarankan seluruh tokoh agama mengajari dan mengajak umatnya untuk seimbang dalam menerapkan ajaran agama ke atas takut akan Tuhan bukan dengan sekedar takut tapi menjalankan seluruh ajarannya yang mendekati kemanusiaan,” katanya.

Kedua, ia menyarankan, “mulailah berbakti kepada orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa,

negara, dan kemanusiaan. Ke belakang harus menghayati, menghargai nilai-nilai luhur budaya yang sudah lama umurnya dan terbukti ampuh. Kini agama tidak boleh menjadi penentang atau penjegal kemajuan ilmu teknologi, tapi mengarahkan dan memberi arah yang jelas, landasan yang baik. Tekanan agama harus bicara soal kemanusiaan, bukan umat dari agama itu sendiri. Bicara tentang kesejahteraan karena mustahil kita bisa rukun jika tidak ada keadilan. Dan ke depan agama harus seperti burung tadi menambah sarang ketika hari mau hujan,” katanya.

Namun, yang paling pokok, menurutnya, agama harus memberikan cinta. “Cinta kepada Yang di atas, kepada yang di bawah, kanan, kiri, belakang, dan depan. Hanya dengan itu agama bisa aktif. Tapi kalau hanya memuja-muja Tuhan, tapi melupakan kemanusiaan, selamanya akan terjadi hal seperti ini,” katanya.

H. Muhammad Abdul Qodir (Pimpinan Pondok Pesantren Roudhotus Sholihin)

Menurut K. H. Muhammad Abdul Qodir, konsen utama Deklarasi Istiqlal hampir satu selaras dengan Deklarasi Abu Dhabi, yaitu tentang dehumanisasi dan krisis lingkungan. “Ini merupakan apa ya, representasi manifestasi nyata oleh tokoh-tokoh lintas agama yang dalam angka merespon isu-isu ini. Semakin ke sini kita menyaksikan dehumanisasi seperti kasus genonida di Gaza. Sudah 60.000 lebih korban jatuh. Kita tahu Bapak Uskup, baik Paus Fransiskus dan Paus Leo punya konsen juga di sana termasuk Grand Syekh, Profesor Ahmad At Thayyib,” ungkapnya.

K. H. Muhammad Abdul Qodir

Lelaki yang kerap disapa Gus Qodir itu juga menyoroti Paus Fransiskus yang mengeluarkan  ensiklik Laudato Si. Gus Qodir pun menemukan tiga isu penting di daerah yang juga masih ada seperti dehumanisasi, kerusakan lingkungan dan persaudaraan lintas agama. Berdasarkan kasus yang ditemukan di daerah-daerah Sayung, Demak yang mengalami kerusakan lingkungan, Gus Qodir melihat adanya dehumanisasi. “Mereka tidak mendapatkan kehidupan dan tempat tinggal yang layak, generasi muda yang terancam pendidikannya. Dan ternyata pemerintah lambat merespon,” katanya.

Terkait dengan dialog agama, Gus Qodir menyampaikan, di Kota Semarang ada Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). “Sampai sekarang komunitas tersebut masih konsen dalam rangka pendampingan advokasi,” katanya.

Para pegiat Pelita sering terjun ke desa-desa saat terjadi bencana, banjir misalnya. “Bagi masyarakat kampung yang masih asing dengan isu-isu lintas agama ini menjadi sensitif. Bahkan saya pun ikut membagikan bantuan banjir yang gambarnya dari gereja. Ini tentunya kan sebuah effort yang kuat, akan muncul banyak tantangan. Tetapi dari situ, semangat-semangat ini juga menjadi semakin kuat, semakin bisa saling memperkuat satu sama lain,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Gus Qodir juga mengritisi program moderasi beragama yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama. “Saya sangat berharap program moderasi beragama ini tidak berhenti pada tataran akademik di kampus atau bahkan di instansi pemerintah. Kami berharap Kementerian Agama melalui wewenangnya itu mempromosikan, mengkampanyekan ini di pondok-pondok pesantren, di Majelis Taklim supaya ada perjumpaan dengan saudara-saudara kita yang berbeda,” harap Gus Qodir.

 Pdt Johan Kristantara (Sekretaris Eksekutif  Bidang KKC PGI)

Pada kesempatan itu, Pdt Johan Kristantara hadir mewakili Ketua PGI, Pdt Jacklevyn Frits Manuputy yang tidak bisa hadir karena kunjungan ke Eropa.

Ia berangkat dari tulisan Pdt Jacklevyn Frits Manuputy di buku tersebut. “Beliau memang punya dasar seorang aktivis, aktivis lingkungan, aktivis sosial. Jadi memang gayanya memang gaya yang gaya profetik yang sangat kuat. Beliau menandaskan bahwa Deklarasi Istiqlal sesungguhnya bukanlah sekadar sebuah dokumen diplomatik formal, tetapi lebih dalam dari itu. Deklarasi Istiqlal harus dilihat sebagai sebuah seruan profetik atau seruan kenabian yang menggugah kita bersama dengan mengangkat dua isu penting yang tadi teman-teman lain sudah ungkapkan, yaitu dehumanisasi dan kerusakan ekologi,” katanya.

Dalam hal dehumanisasi, lanjutnya, ada satu hal yang sangat penting yang disampaikan oleh Pendeta Jacky, yaitu bahwa dalam terjadinya kekerasan, konflik, perang juga kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dirusak sesungguhnya bukan hanya fisik ataupun cedera secara badani, tetapi yang lebih dalam dari itu adalah rusaknya Imago Dei atau citra Allah di dalam diri manusia.

Pdt Johan Kristantara

“Dan karena itu maka Pendeta Jacky mengajak gereja-gereja bersama-sama dengan umat beragama lain untuk bergerak bersama di dalam keberpihakan terhadap mereka yang lemah, keberpihakan terhadap mereka yang tertindas, yang menjadi korban peperangan, konflik, juga kekerasan-kekerasan di dunia,” katanya.

Yang kedua, lanjutnya, berkaitan dengan krisis ekologi, Pendeta Jacky spiritualitas ugahari. “Kita semua tentu juga sudah mengenal ini. Spiritualitas ugahari berarti gaya hidup secukupnya, tidak boros, tidak berlebihan, menolak keserakahan dan dengan tekun menjaga ciptaan dan menjaga kehidupan sesama manusia. Dengan spiritualitas ugahari, maka kita mencegah kerakusan yang seringkali menjadi akar dari kerusakan ekologi,” imbuhnya.

Menurut Pendeta Johan, Pendeta Jacky juga mengaitkan antara nilai-nilai lokal spirit ugahari dengan dokumen-dokumen global seperti Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus.

Pendeta Johan melanjutkan, Pendeta Jakcy juga mengangkat dua hal yang lain sangat menarik, yaitu dialog antar agama. “Pendeta Jacky mengajak kita untuk apa, barangkali istilah saya untuk naik kelas bukan hanya sampai pada dialog antar agama tetapi juga melakukan aksi bersama antar agama. Kita sudah begitu banyak memiliki dialog antar agama. Sudah saatnya kita membangun aksi-aksi atau tindakan-tindakan lintas agama. Dan akhir-akhir ini kita bersyukur karena kita melihat misalkan gerakan-gerakan lingkungan yang dilakukan secara interfaith, kemudian gerakan-gerakan sosial yang dilakukan secara interfaith dan ini menjadi satu best practices yang perlu terus kita gerakkan,” katanya.

Pendeta Johan juga menyoroti Pendeta Jacky yang mengarisbawahi tanggung jawab lintas generasi. “Kita, generasi yang hidup sekarang memiliki tanggung jawab untuk membangun karakter dan spiritualitas yang bisa kita wariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita katakan, apa yang kita perbuat untuk dilihat, dicontoh, diteladani, dan kemudian diwariskan kepada generasi-genererasi berikutnya,” ungkapnya.

Terakhir, Pendeta Johan menyoroti Pendeta Jakcy yang menggarisawahi dan menyerukan secara kuat bahwa Deklarasi Istiqlal jangan sampai berhenti sebagai sebuah arsip, “melainkan menjadi sebuah pedoman, menjadi sebuah penentu arah bagi kerja sama lintas agama di dalam kita meng-adress persoalan dehumanisasi dan persoalan ekologi. Karena itu kami di persekutuan Gereja-gereja Indonesia mengajak Bapak, Ibu, Saudara umat-umat beragama, mari kita bersama-sama bergerak dengan Deklarasi Istiqlal sebagai panduan bagi aksi kita bersama,” katanya.

Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua Konferensi Waligereja Indonesia)

Menurut Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Deklarasi Istiqlal ini adalah written document. “Tapi yang jauh lebih penting daripada written document, tokoh-tokoh yang terlibatnya itu adalah living documents. Itulah yang lebih kaya daripada tulisan-tulisan itu. Ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar, tetapi dihadiri oleh semua tokoh agama dan budaya yang turut menyetujui. Sehingga bukan soal ini deklarasi dua agama, tapi deklarasi bangsa Indonesia,” katanya.

Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC

Yang kedua, menurutnya, Deklarasi Istiqlal disebut sebagai deklarasi humanis karena memperjuangkan kemanusiaan dan berorientasi kemanusiaan. Yang ketiga, sambungnya, Deklarasi Istiqlal disebut sebagai deklarasi ekologis “karena menyadarkan kita bahwa  ekologi adalah rumah kita bersama bagaimana memelihara dan memperjuangkannya serta bagaimana mengatasi bersama-sama bergotongroyong untuk kehidupan kita”.

Yang ketiga, Deklrasi Istiqlal adalah deklarasi dialogis yang mengutamakan perjumpaan. “Maka perjumpaan-perjumbahan itulah yang menjadi aplikasi dari deklarasi tersebut. Maka kita ditantang sekarang untuk mewujudkan isi deklarasi itu melalui aplikasi. Enam bulan setelah pertemuan ini, saya mendengar dari K.H. Nasaruddin Umar sendiri bahwa Kementerian Agama sedang merencanakan Kurikulum Cinta. Dan Kurikulum Cinta itulah aplikasi yang sangat konkret untuk dijalankan ya. Nah, mudah-mudahan makin tinggi sebagaimana tadi Bapak Kiai Haji mengajak kita, makin tinggi keagamaan kita, makin kita dekat dengan manusia. Makin kita membaca kitab suci kita masing-masing, makin kita bersahabat dengan orang lain. Maka dalam tahun ini saya ada dua momen yang sangat membuat saya berdoa khusyuk ketika apa? Dipimpin oleh Bapak K. H. Nasaruddin Umar, ketika ada pertemuan di Istiqlal di ball room itu pertemuan itu dan kemarin 2 minggu yang lalu ketika di istana. Jadi doa seorang Kiai Haji membawa seorang uskup bertemu dengan Tuhan. Nah, inilah ya yang kesucian seseorang itu nanti kelak tidak lagi dipandang dari segi agamanya. Karena kesucian inilah yang mampu mewujudkan dua deklarasi itu, humanis, ekologis dan dialogis,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *