
Muy buenos días a todos, selamat pagi dan selamat datang!
Saudara-saudari terkasih,
Dengan gembira saya menyapa Anda semua pada kesempatan Yubileum yang didedikasikan bagi mereka yang, dalam berbagai kapasitas, berkarya di berbagai bidang keadilan. Saya menyapa para tokoh terkemuka yang hadir, yang datang dari berbagai negara, mewakili berbagai pengadilan, dan kamu semua yang setiap hari menjalankan tugas penting demi tertibnya hubungan antarindividu, komunitas, dan negara. Saya juga menyapa para peziarah lainnya yang telah bergabung dalam Yubileum ini! Yubileum menjadikan kita semua peziarah yang, dalam menemukan kembali tanda-tanda pengharapan yang tak mengecewakan, ingin “memulihkan kepercayaan penuh yang kita perlukan, baik dalam Gereja, masyarakat, hubungan interpersonal, hubungan internasional, maupun dalam tugas kita untuk meningkatkan martabat semua orang dan menghormati anugerah ciptaan Allah.” (Paus Fransiskus, Spes Non Confundit, 25).
Adakah kesempatan yang lebih baik daripada merenungkan lebih dekat keadilan dan fungsinya, yang kita tahu sangat diperlukan baik bagi perkembangan masyarakat yang tertib maupun sebagai kebajikan utama yang mengilhami dan membimbing hati nurani setiap pria dan wanita? Sesungguhnya, keadilan dipanggil untuk memainkan peran yang lebih tinggi dalam hidup berdampingan manusia, peran yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar penerapan hukum atau pekerjaan hakim, atau terbatas pada aspek prosedural.
Ungkapan biblis, “Cintailah keadilan dan bencilah kefasikan” (Mzm. 45:8), mengingatkan dan mendorong kita untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Sungguh, betapa banyak hikmat yang terkandung dalam pepatah, “Berikanlah kepada setiap orang haknya!” Namun semua ini tidak menguras habis hasrat mendalam akan keadilan yang hadir dalam diri kita masing-masing, dahaga akan keadilan yang merupakan sarana kunci untuk membangun kebaikan bersama dalam setiap masyarakat manusia. Sesungguhnya, keadilan mencakup martabat individu, hubungannya dengan orang lain, dan dimensi hidup berdampingan komunal, beserta tatanan dan aturannya. Keadilan membangun suatu sirkularitas hubungan sosial, yang menempatkan nilai setiap manusia pada intinya dan berupaya melestarikan nilai tersebut melalui keadilan, terutama dalam menghadapi konflik yang mungkin timbul dari tindakan individu atau dari hilangnya kesadaran komunal yang memengaruhi lembaga dan tatanan.
Tradisi mengajarkan kita bahwa keadilan, pertama dan terutama, adalah suatu kebajikan, yaitu sikap yang teguh dan tetap yang membimbing perilaku kita supaya sesuai dengan akal budi dan iman (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1804). Kebajikan keadilan, khususnya, terletak pada “kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka.” (idem, 1807). Dalam sudut pandang ini, bagi orang beriman, keadilan memanggil kita “supaya menghormati hak setiap orang dan membentuk dalam hubungan antarmanusia, harmoni yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.” (idem). Tujuannya adalah untuk menjamin tatanan yang melindungi yang lemah – mereka yang mencari keadilan karena mereka telah ditindas, dikucilkan, atau diabaikan.
Ada banyak contoh dalam Injil di mana tindakan manusia diukur dengan keadilan yang dapat mengatasi kejahatan pelecehan. Misalnya, ada kegigihan seorang janda yang mendesak hakim untuk memulihkan rasa keadilannya (bdk. Luk. 18:1-8). Ada juga keadilan yang lebih tinggi yang membayar pekerja di saat-saat terakhir sama besarnya dengan orang yang bekerja sepanjang hari (bdk. Mat. 20:1-16); keadilan yang menjadikan belas kasihan sebagai kunci untuk memahami hubungan dan menuntun kita kepada pengampunan, menyambut anak yang hilang dan telah ditemukan (bdk. Luk. 15:11-32); dan bahkan lebih lagi, keadilan yang memanggil kita untuk mengampuni bukan tujuh kali, melainkan tujuh puluh kali tujuh kali (bdk. Mat. 18:21-35). Kuasa pengampunan inilah, yang bersifat hakiki dalam perintah kasih, yang muncul sebagai unsur membangun dari keadilan yang mampu memadukan yang adikodrati dengan yang manusiawi.
Oleh karena itu, keadilan injili tidak merampas keadilan manusiawi, melainkan menantang dan menyempurnakannya. Keadilan injili mendorong keadilan manusiawi untuk melangkah lebih jauh, mendorongnya menuju rekonsiliasi. Kejahatan, pada kenyataannya, tidak hanya harus dihukum tetapi juga diperbaiki, dan untuk tujuan ini, perlu untuk melihat secara mendalam kesejahteraan individu dan kebaikan bersama. Tugas ini sulit, tetapi bukan tidak mungkin bagi mereka yang, menyadari bahwa mereka harus melakukan pelayanan yang lebih berat daripada yang lain, berkomitmen untuk menjalani kehidupan yang tak tercela.
Sebagaimana kita ketahui, keadilan menjadi nyata ketika menjangkau sesama, ketika setiap orang diberikan haknya, hingga kesetaraan martabat dan kesempatan di antara manusia tercapai. Namun, kita menyadari bahwa kesetaraan yang efektif tidak sama dengan kesetaraan formal di hadapan hukum. Meskipun kesetaraan formal merupakan syarat mutlak bagi pelaksanaan keadilan yang tepat, hal itu tidak menghilangkan realitas diskriminasi yang semakin berkembang, yang dampak utamanya justru adalah kurangnya akses terhadap keadilan. Kesetaraan sejati, di sisi lain, adalah kemungkinan yang diberikan kepada semua orang untuk mewujudkan aspirasi mereka dan memiliki hak-hak yang melekat pada martabat mereka yang dijamin oleh sistem nilai-nilai umum dan bersama – nilai-nilai yang mampu mengilhami norma-norma dan hukum yang menjadi dasar berfungsinya lembaga-lembaga.
Saat ini, yang mendorong mereka yang terlibat dalam penegakan keadilan justru adalah pencarian – atau pemulihan – nilai-nilai yang telah terlupakan dalam kehidupan bersama kita, serta kepedulian dan penghormatan terhadapnya. Proses ini bermanfaat dan diperlukan dalam menghadapi munculnya perilaku dan strategi yang meremehkan kehidupan manusia sejak awal, mengingkari hak-hak dasar yang esensial bagi eksistensi pribadi, dan gagal menghormati hati nurani yang menjadi sumber kebebasan. Justru melalui nilai-nilai yang mendasari kehidupan sosial, keadilan mengemban peran sentralnya dalam hidup berdampingan individu dan komunitas manusia. Santo Agustinus menulis, “Keadilan tidaklah demikian jika tidak bijaksana, kuat, dan ugahari” (Surat 167, 2, 5). Hal ini menuntut kemampuan untuk selalu berpikir dalam terang kebenaran dan kebijaksanaan, menafsirkan hukum secara mendalam – melampaui dimensi formalnya semata – guna memahami makna terdalam dari kebenaran yang kita layani. Oleh karena itu, berjuang menuju keadilan menuntut kemampuan untuk mencintainya sebagai kenyataan yang hanya dapat dicapai melalui perhatian yang terus-menerus, tanpa pamrih secara radikal, dan penegasan yang gigih. Ketika keadilan ditegakkan, seseorang menempatkan dirinya untuk melayani individu, masyarakat, dan negara, dengan dedikasi penuh dan teguh. Keagungan keadilan tidak berkurang ketika diterapkan pada hal-hal kecil, tetapi selalu muncul ketika dijalankan dengan kesetiaan pada hukum dan dengan rasa hormat kepada setiap orang, di mana pun mereka berada (bdk. Santo Agustinus, De Doctrina Christiana IV, 18, 35).
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Mat. 5:6). Dengan sabda bahagia ini, Tuhan Yesus mengungkapkan ketegangan rohani yang harus kita hadapi – bukan hanya untuk memperoleh keadilan sejati, tetapi terutama untuk mengupayakannya, terutama bagi mereka yang terpanggil untuk mewujudkannya dalam berbagai situasi historis. “Lapar dan haus” akan keadilan berarti mengakui bahwa menuntut upaya pribadi untuk menafsirkan hukum dengan cara yang paling manusiawi. Namun, terutama, menuntut perjuangan menuju “kepuasan” yang hanya dapat dicapai dalam keadilan yang lebih besar yang melampaui situasi-situasi tertentu.
Sahabat terkasih, Yubileum mengajak kita untuk merenungkan juga aspek keadilan yang sering diabaikan: kenyataan begitu banyak negara dan bangsa yang “lapar dan haus akan keadilan” karena kondisi kehidupan mereka begitu tidak adil dan tidak manusiawi sehingga tidak dapat diterima. Oleh karena itu, dalam lanskap internasional saat ini, pernyataan berikut selalu berlaku harus diterapkan: “Tanpa keadilan, negara tidak dapat dijalankan; mustahil ada hukum di negara yang tidak memiliki keadilan sejati. Suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum sudah pasti dilakukan menurut keadilan, dan mustahil suatu tindakan benar-benar sah jika dilakukan melawan keadilan… Negara tanpa keadilan bukanlah negara. Keadilan, pada hakikatnya, adalah kebajikan yang memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu, bukanlah keadilan sejati jika terjadi pemisahan manusia dari Allah yang sejati” (Santo Agustinus, De Civitate Dei, XIX, 21, 1). Semoga kata-kata Santo Agustinus yang tegas ini menginspirasi kita masing-masing untuk mengungkapkan pelaksanaan keadilan sebagai pelayanan kepada rakyat, sebaik-baiknya, senantiasa dengan pandangan tertuju kepada Allah, sehingga dapat sepenuhnya menghormati keadilan, hukum, dan martabat setiap orang.
Dengan harapan ini, saya berterima kasih dan memberkati kamu masing-masing, keluargamu, dan karyamu.
Diterjemahkan oleh
Peter Suriadi