Umat Katolik Yang Merdeka

Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ

Tanggal 17 Agustus tahun ini, Indonesia merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-80. Layaklah kita bersyukur bahwa kita dalam keadaan damai dalam negara yang merdeka. Karena sudah 80 tahun merdeka, dapat terjadi bahwa generasi muda kita yang tidak mengalami bagaimana dan betapa berat perjuangan bangsa kita  untuk mencapai kemerdekaan, sudah tidak lagi merasa bermakna lagi perayaan ulang tahun kemerdekaan itu. Hanya satu dari peristiwa sejarah masa lampau.

Peduli Proklamasi Kemerdekaan

Harian Suara Merdeka hari Senin tanggal 21 Juli 2025 menurunkan berita tentang Menteri  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi, yang prihatin bahwa hanya 42% anak-anak SD yang hafal lagu-lagu Nasional. Kalau demikian guru-guru mereka, terlebih guru pengajar menyanyi kurang peduli pula mengajarkan lagu-lagu nasional.

Kiranya kita semua perlu peduli terhadap peristiwa kemerdekaan. Lebih-lebih Umat Katolik yang merasa bahwa  kemerdekaan  adalah anugerah Tuhan yang besar, karena merupakan perkembangan manusia yang berproses berkembang menjadi bangsa yang mandiri, dipimpin oleh orang dari bangsanya sendiri. Ini termasuk panggilan hidup manusia di dunia, sehingga disadari bahwa merupakan hak asasi. Alinea 1 dari Pembukaan (Mukadimah), berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Bersyukur dan Terimakasih

Kita orang katolik yang merdeka harus merasa bersyukur atas rahmat Tuhan tersebut. Dan karena kemerdekaan kita juga perlu dicapai dengan perjuangan fisik berupa pertempuran-pertempuran di sana-sini, maka banyak pahlawan yang gugur di medan perang. Orang Katolik Indonesia yang sekarang merdeka, tidak hanya bersyukur atas jasa para pahlawan, tetapi juga mendoakan jiwanya, semoga diterima di sisi Bapa. Yang kita doakan tentu saja semua pahlawan, baik yang diresmikan maupun yang tidak dikenal. Orang Katolik juga baik kalau mengenal pahlawan yang Katolik. Dari Angkatan Udara, Agustinus Adisoetjipto yang gugur, pesawatnya jatuh di tembak pesawat Belanda di daerah Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Dari Angkatan Darat, Ignatius Slamet Rijadi gugur pada tanggal 4 November 1950 di Ambon, pada saat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan. Yosaphat Sudarso pada tanggal 15 Januari 1962, gugur di Laut Aru dalam rangka merebut Irian Barat. Bagaimana pandangan mengenai kepahlawanan menurut pahlawan Yos. Sudarso? Hanyalah melaksanakan kewajiban. Begini puisi yang beliau tulis mengenai pahlawan Pattimura, “Jika kau tanyakan apa jasaku, akan aku jawab tidak ada. Jika kau tanya apa baktiku, akan aku jawab tidak ada. Aku hanya melaksanakan kewajiban, tidak lebih dan tidak kurang.

Bukan bendera victory yang kukibarkan, bukan pula bendera pahlawan, melainkan bendera kewajiban yang akan tetap kunaikkan.

Trima kasih Pattimura, trima kasih para jantan Pattimura. Kita akan bertemu lagi di laut biru, di bawah bendera kewajiban.” Surabaya, 1959.

Kecuali mereka yang berjuang secara fisik dan memanggul senjata, masih ada pejuang dan pahlawan di bidang politik atau diplomasi, yaitu Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, yang menjadi pimpinan Keuskupan Semarang sejak tanggal 6 Oktober 1940. Umat Katolik yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, mendapat pedoman singkat 100% Katolik, 100% Patriot. Patriot adalah pecinta Tanah Air. Dengan pedoman ini beliau mengharapkan agar cintanya kepada agamanya seimbang dengan cintanya kepada Indonesia sebagai bangsa dan negara yang baru saja merdeka. Dalam rangka pengakuan internasional, beliau menyurati Paus, agar cepat mengakui kemerdekaan Indonesia dan memberi duta besarnya untuk Indonesia. Paus Pius XII segera menunjuk Uskup Agung Gregorius de Jonghe d’Ardoye MEP menjadi Duta Besar Vatikan pada tanggal 6 Juli 1947, berkedudukan di Jakarta. Mgr. Albertus pribadi sangat erat hubungannya dengan Bung Karno. Ketika Pusat Pemerintahan RI dipindah ke Yogyakarta, karena di Jakarta kurang aman pada awal tahun 1946, kedudukan Keuskupan Semarang juga pindah ke Yogyakarta (Bintaran) pada tanggal 7 Februari 1947, supaya dekat dengan pemerintahan RI. Karena banyak jasanya bagi RI, tak mengherankan bahwa ketika Mgr. Albertus Soegijapranata SJ wafat tanggal 22 Juli 1963,  Gelar Pahlawan Nasional dan secara anumerta diberikan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen Anumerta) menyusul pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional. Penetapan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden No. 152 Tahun 1963.

Tokoh awam yang pantas disebut adalah I.J. Kasimo. Pemerintah RI terlambat mengakui dia sebagai Pahlawan Nasional. I.J. Kasimo wafat pada tanggal 1 Agustus 1986 pada usia 86 tahun. Dan baru tanggal 7 November 2011, Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011 menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada I.J. Kasimo. Padahal dia adalah pendiri Partai Politik Katolik Indonesia dan aktif dalam pemerintahan pasca kemerdekaan, termasuk menjadi Menteri Persediaan Makanan Rakyat. Selain itu, ia juga dikenal dengan “Plan Kasimo”, sebuah rencana lima tahun untuk mencapai swasembada pangan.  Kasimo juga anggota komisariat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), selama agresi militer Belanda II. Selain itu, Kasimo juga adalah salah satu dari mereka yang berperan dalam mendirikan Universitas Katolik Atmajaya pada tahun 1960. Ditampilkan di sini beberapa nama agar kita lebih mudah dapat mendoakan semua pahlawan dan mereka yang berjasa.

100% Katolik, 100% Indonesia

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ telah menasihati Umat Katolik yang merdeka dengan semboyan 100% Katolik, 100% patriotik, yang berarti cinta tanah air (patria), cinta bangsa dan negaranya yaitu Indonesia. Dengan demikian juga akan hidup sesuai dengan azas dan dasarnya, yaitu Pancasila dengan Sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa. Maka Umat Katolik yang merdeka akan menghidupi sepenuhnya iman Katoliknya dan sekaligus menghayati nilai-nilai Pancasila sepenuhnya. Berarti menjunjung tinggi imannya kepada Tuhan Yesus yang mengajarkan agar hidup kita ditandai kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Kasihnya kepada Tuhan mengakibatkan kasihnya kepada sesama menjadi hidup. Sehingga iman yang mengakibatkan hidupnya bermoral menjadi bukti bahwa ia sungguh beriman. Di sini dipakai kata iman dan tidak memakai agama, karena agama telah kehilangan pamornya. Karena banyak yang mengaku beragama tetapi kelakuannya tidak sesuai. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, bahwa mereka yang bersumpah atas nama agama masing-masing, tidak menjamin bahwa mereka tidak akan dengan mudah melanggar sumpahnya dengan tindak korupsi ketika menjadi pejabat negara. Sumpah tidak memiliki arti lagi. Sudah menjadi upacara saja. Upacara tanpa makna. Umat Katolik yang merdeka tidak boleh berperilaku seperti itu, karena kecuali menjunjung tinggi sumpahnya, juga menjunjung tinggi yang diimaninya yaitu hormat dan bakti kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Begitu banyaknya korupsi (termasuk di dalamnya ada banyak yang dilakukan oleh yang beragama Katolik), berarti mereka memisahkan kehidupan beriman dari kehidupan bermasyarakat. Kehidupan kemasyarakatannya tidak disinari oleh imannya. Hati nuraninya yang dibimbing oleh terang iman tidak berfungsi di situ. Yang kita harapkan kehidupan kita sebagai umat beragama yang baik akan memengaruhi hidupnya di tengah masyarakat. Bagi Umat Katolik, itu berarti mencintai Tuhan tidak berakibat pada mencintai sesama manusia. Padahah cinta kita kepada sesama harus menjadi bukti bahwa kita sungguh-sungguh mencintai Allah. Maka siapapun yang korupsi diragukan juga penghayatan hidupnya sebagai umat beriman yang mencintai Allahnya.

Kalau cinta kepada Allah juga disertai dengan cinta kepada sesama sebagai saudara, berarti makin baik orang beragama makin baik juga persaudaraan di antara sesama, di antara warga bangsa Indonesia. Tetapi mengapa perbedaan agama dapat menimbulkan perselisihan atau perpecahan seperti yang baru terjadi di Cidahu, Sukabumi tanggal 27 Juni 2025? Berarti cintanya kepada  Allah yang disembah tidak membuat suburnya persaudaraan antar umat beragama yang berbeda. Kalau menurut Santo Yohanes Paulus II, memang kecuali ada Roh Kudus, ada kuasa jahat yang memengaruhi hidup manusia. Beliau mengatakan: “Daya kekuatan maut (ini istilah yang beliau pakai untuk menyebut Roh Jahat) memisahkan orang-orang, masyarakat-masyarakat dan rukun hidup religius satu dari yang lain, termasuk memberikan sikap-sikap curiga dan persaingan yang mengarah kepada konflik-konflik. Sebaliknya Roh Kudus mendukung orang-orang dalam usaha-usaha mereka untuk menumbuhkan saling pengertian dan saling menerima.” (EA 15).

Umat Katolik yang merdeka, juga masih mendasarkan diri kepada Sila 2, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dari sila ini diharapkan adanya persaudaraan, tidak berdasarkan kesamaan agama atau kesamaan bangsa, melainkan kesamaan sebagai manusia, yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Jadi, dasarnya lebih dalam dan lebih luas, mencakup seluruh umat manusia. Ketika berkunjung ke Indonesia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Mesjid Istiqlal Nasaruddin Umar tanggal 5 September 2024 menandatangani Deklarasi Istiqlal  mengajak semua orang untuk memajukan nilai-nilai agama yang menghormati martabat manusia, rekonsiliasi, dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan kerusakan lingkungan. Sebelumnya tanggal 5 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus juga menandatangai Deklarasi Abu Dhabi bersama dengan  Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmed Al-Tayeb, judulnya “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”. Semoga umat Katolik yang merayakan kemerdekaan, teguh menghayati prinsip 100% Katolik dan 100% Pancasilais, karena kita telah mendapat dukungan oleh Paus Fransiskus yang begitu besar. Mengenai persaudaraan berdasar sama-sama ciptaan Tuhan sangat penting untuk dikembangkan. Karena masih banyak kasus kekerasan yang terjadi. Belum lama ini, Kompas tanggal 25 Juli 2025 menurunkan berita berjudul: “Kekerasan Anak Terjadi di Hari Anak”. Yang terjadi di daerah Bandung adalah guru sekolah yang bertindak terhadap 8 korban selama bulan Maret sampai April. Di Bandung selatan terjadi 4 kasus. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat 705 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Jawa Barat dari bulan Januari sampai 24 Juli 2025, dengan jumlah korban 748 orang. Ini baru di Jawa Barat. Bagaimana di tempat lain? Dan berapa di seluruh Indonesia?

Penutup

Pada umumnya umat Katolik sudah mengusahakan menjadi 100% Katolik, tetapi belum merasa sebagai Pancasilais. Padahal kemungkinan besar sudah, karena nilai-nilai Pancasila sebenarnya serasi dengan nilai-nilai iman Katolik. Kalau betul demikian, kita tinggal mencoba memastikan itu dengan nilai-nilai  Pancasila yang mana. Umpama keluarga Katolik telah menolong tetangganya, seorang Muslim yang miskin, dengan melunasi utangnya kepada orang lain, yang tak lunas-lunas. Keluarga Katolik tadi menolong berjiwakan imannya. Dan tidak peduli apakah  yang ditolong itu sesama warga negara. Tetapi ketika keluarga ini mulai bertanya dalam dirinya, saya sudah membantu dengan semangat patriotik atau belum. Ketika sadar bahwa cinta kepada sesama itu juga cinta kepada sesama yang juga  sewarga bangsa, maka baru insaf bahwa sudah 100% Katolik dan 100% Indonesia. Selamat merayakan ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-80. Merdeka!

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *