
Kalau diajak bicara mengenai Keuskupan Agung Semarang (KAS), pasti saya tidak bisa melupakan seorang tokoh penting yaitu Romo Van Lith. Demikian Romo Floribertus Rosari Hasto, SJ mengawali paparannya dalam Studi Bersama dan Refleksi tentang Dinamika Hidup Menggereja di KAS yang merupakan satu kegiatan Refleksi dalam kegiatan HUT ke-85 KAS di Aula Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Sabtu, 7 Juni 2025 lalu.
Ia pun mengawali kisah tentang Romo Van Lith dalam memahami budaya Jawa. Waktu itu, di Muntilan sudah ada sekolah. Romo Van Lith sudah belajar bahasa Jawa dan merasa sudah tahu bahasa Jawa. Karena sore harinya akan ada pertemuan dengan beberapa orang, pagi jelang siang, ia meminta pada beberapa siswanya untuk membantunya. Ia pun menyampaikannya dalam bahasa Jawa. Kurang lebihnya dialognya seperti ini.
“Cah, mengko sore mbantu Romo, ya, (Anak-anak nanti sore bantu Romo, ya) untuk menata ruangan, karena Romo akan ada pertemuan nanti sore ya!” katanya.
“Nggih (ya), Romo,” jawab anak-anak.
“Tenan ya, teka ya!” (Benar ya, datang ya!)
“Nggih, Romo!”
Sore harinya, Romo Van Lith datang ke ruangan yang sudah ditentukan. Ditunggu seperempat jam dari yang dijanjikan, anak-anak tidak muncul. Ditunggu 5 menit anak-anak juga tidak kunjung muncul. Akhirnya Romo Van Lith menata sendiri meja kursi itu untuk pertemuan. Waktu pertemuan sudah dimulai pun anak-anak tetap tidak muncul.
Pagi berikutnya, mereka bertemu di sekolah. Romo Van Lith dengan kecewa berkata, “Jarene teka saguh. (Kemarin kamu sudah janjian untuk membantu Romo datang ke ruangan ini untuk bantu)!”
“Nggih, Romo,” jawab anak-anak itu.
“Wong Jowo, nggih, nggih ra kepanggih (Orang Jawa bilangnya ya, ya, tapi tidak melaksanakan)”
Anak-anak menjawab, “Romo, yen sing dhawuhi Romo, napa kulo saged wangsulan? Mboten (Kalau yang menyuruh Romo apakah boleh menjawab tidak? Kalau yang menyuruh Romo kan kami hanya bisa menjawab ya).”
Pengalaman singkat ini, menjadi pelajaran istimewa bagi Romo Van Lith. Pengalaman dialog dengan anak-anak itu kemudian ia tulis dalam surat, lalu dia kirim kepada temannya di Provinsi Belgia yang bekerja di India. Temannya berpesan bahwa bahasa itu penting untuk mendalami sebuah budaya. Bahkan bahasa itu merupakan pintu gerbang untuk memasuki budaya. Tetapi ternyata, tahu bahasa saja belum menjamin bahwa seseorang itu memahami mentalitas dan cara berpikir orang Jawa.
“Bagi Romo Van Lith, kalau melihat kemudian sampai rangkaian meninggalnya, pengalaman pagi-siang itu seakan-akan membuat Romo Van Lith jadi seorang yang mengapa dia selalu belajar, belajar, belajar dan memiliki begitu (banyak) pembaharuan dalam karya misinya,” kata imam yang biasa disapa Romo Hasto itu.
Terkait dengan misionari dan katekis, Romo Hasto menyampaikan, peran misionaris dan katekis dalam gerak dan dinamika KAS seperti sepasang sayap. “Maka, saya nanti tidak akan bisa memisahkan peran misionaris demikian, peran katekis demikian. Dua misionaris dan katekis dalam gerak dinamika Keuskupan Agung Semarang sampai sekarang dalam pengamatan saya adalah satu pasang sayap yang tidak terpisahkan satu sama lain,” kata anggota Tim Sejarah Keusupan Agung Semarang itu. Dalam perkembangan misi, bruder-suster pun terlibat dalam dinamika KAS. “Sampai sekarang nampak-nampaknya dalam pengamatan saya, peran antara para romo, bruder, suster dengan katekis itu merupakan suatu gerak yang tidak terpisahkan,” imbuhnya.
Para misionaris awal, menurutnya, dalam melakukan karya pewartaan di Nusantara, tidak terpisah dari gerak dinamika Gereja Universal lewat dokumen-dokumennya, khususnya berkaitan dengan tanah misi. “Sebenarnya para misionaris berangkat dari sana. Apa yang diharapkan oleh Gereja universal itulah yang kemudian dipakai sebagai landasan para misionaris untuk melakukan kegiatan-kegiatannya di tanah misi,” katanya.
Peranan misionaris dan katekis
Menurut Romo Hasto, waktu Romo Van Lith datang ke Semarang sudah ada katekis. “Katekis sudah ada sebelum Romo Van Lith itu mulai berkarya. Maka, orang-orang Katolik awal yang menjadi Katolik adalah buah dari kerja dari para katekis itu. Namun kita juga tahu Romo Van Lith sempat mengalami kekecewaan dalam kerja sama dengan para katekis itu,” katanya. Nah, menurutnya, pengalaman kekecewaan itulah yang kemudian mengalihkan fokus Romo Van Lith untuk mendalami, mengarahkan fokus pada pendidikan.
Menurut Romo Van Lith waktu itu, pendidikan yang baik sangat ditentukan oleh para pengajarnya. Pendidikan yang baik itu harus disertai juga oleh kualitas para gurunya. Maka Romo Van Lith ingin mendirikan sekolah guru. Karena guru yang berkualitas akan menentukan kualitas pendidikan pula. Menurut Romo Hasto, meski Romo Van Lith merintis pendidikan berkualitas, namun dia tidak melupakan cita-citanya untuk membangun para katekis.
Waktu itu, menurut Romo Hasto, Romo Van Lith punya pandangan bahwa dalam masyarakat Jawa yang mengajar agama itu orangnya harus sudah tua.
Maka, Romo Van Lith merancang sekolah calon guru dengan harapan para guru itu ketika mereka pensiun, sudah tua, mereka menjadi katekis, mengajar agama.
Namun, dalam perkembangannya, Romo Van Lith menemukan pikiran lain yang didasarkan pada pengamatannya ketika turun ke masyarakat.
Romo Van Lith melihat, ternyata guru pada waktu itu memiliki status yang istimewa. “Guru itu hidupnya harus diteladani. Kata-katanya harus didengarkan. Maka betul, Romo Van Lith berkata “guru itu adalah kudu digugu dan ditiru”,” ungkap Romo Hasto.
Menurut Romo Hasto, bahkan Romo Van Lith semakin yakin tidak salah kalau pilihan dia adalah mendirikan sekolah calon guru karena guru dalam masyarakat Jawa memiliki status istimewa. “Dengan demikian tidak perlu menunggu pensiun nanti kalau guru sudah lulus bekerja di sekolah-sekolah, dia sekaligus pagi mengajar di sekolah, sore dia bisa berperan sebagai guru mengajar agama,” katanya.
Dengan demikian, untuk menjadi katekis tidak perlu menunggu guru-guru itu sampai nanti pada usia pensiun. “Waktu mereka masih aktif pun mereka bisa juga mulai mengajar agama. Ini pemikiran awal dari Romo Van Lith yang bergeser. Semula dia berpikiran bahwa mengajar agama itu orangnya harus tua, maka yang dipikirkan guru setelah pensiun itu nanti menjadi katekis, dan kemudian bergeser bahwa sewaktu para guru itu masih muda pun bisa mengajar agama karena status guru ini memiliki posisi istimewa dalam masyarakat Jawa,” kata Romo Hasto.
Perkembangan Gereja pada waktu itu berjalan baik di wilayah Yogyakarta karena ada kerja sama antara misionaris dan katekis. Menurut Romo Hasto, mereka bagaikan sepasang sayap. Tahun 1920-an, Yogyakarta mengalami perkembangan umat Katolik yang luar biasa. “Begitu banyak orang ingin bagaimana menjadi Katolik juga pada tahun sekitar itu. Para lulusan Muntilan sudah mulai berkarya di desa-desa sekitar Jogja, dapat bantuan dari pemerintah mengajar di sekolah-sekolah pemerintah,” katanya.
Dalam perkembangan waktu, Ordo Serikat Yesus membuka novisiat di Yogyakarta untuk mengawali pembinaan di Yogjakarta. Waktu itu, jika ada orang-orang muda yang ingin menjadi Jesuit harus dikirim ke Eropa. Sejak ada novisiat di Yogyakarta, mereka yang ingin menjadi Yesuit cukup menjalani formasio di Yogyakarta.
“Pada tahun awal-awal lulusan pertama sekolah guru di Muntilan itu sudah ada yang ingin menjadi Yesuit. Dan mereka itu dikirim ke Eropa. Demikian tiap kali ada yang masuk dikirim ke Eropa, tetapi lebih banyak yang meninggal daripada bertahan hidup di sana,” katanya. Menurut Romo Hasto, penyebabnya kemungkinan karena tidak tahan dingin karena gizi waktu itu belum baik. “Romo Van Lith mengambil keputusan jangan mengirim anak muda ke Belanda. Mengapa kita tidak dirikan saja di Jogja, di Indonesia ini didirikan Novisiat. Maka didirikan Novisiat. Nah, lalu mereka yang orang-orang pribumi yang pengin masuk Yesuit datang ke Jogja, tepatnya di Kolsani sekarang. Yang dari Belanda, yang anak-anak pemuda Belanda yang ingin jadi misionaris di Indonesia menjalani masa Novisiat tahun pertama, tahun kanonik di Belanda. Tahun kedua dibawa ke Jogja,” katanya.
Maka, sambungnya, di Yogyakarta ada novisiat dengan dua kewarganegaraan yakni untuk orang pribumi dan satu kelompok lagi untuk orang Belanda. “Tujuan lain dari Romo Van Lith adalah supaya sejak awal-awal pembinaan, mereka ini sudah berlatih untuk bekerja sama antara yang Belanda dengan yang pribumi, tujuan pertama. Tujuan kedua, supaya mumpung masih muda, pikirannya masih jernih, mudah menghafal, mudah belajar, supaya anak-anak muda ini belajar bahasa Jawa, lalu belajar bahasa Indonesia,” katanya.
Belajar bahasa Jawa dulu, baru belajar bahasa Indonesia, “karena sudah belajar bahasa Indonesia, pasti malas belajar bahasa Jawa.”
Dalam perkembangannya, Romo Straeter, selaku pembina para frater sekaligus Rektor Kolese Ignasius mengutus para frater novis yang adalah anak-anak muda itu supaya setiap tiga kali dalam seminggu harus pergi ke desa-desa untuk mengajar agama. Di sana mereka berjumpa dengan guru-guru lulusan Sekolah Guru Muntilan. “Maka ada kerja sama. “Misionarisnya adalah para novis, nanti juga para frater filsafat yang bekerja diminta untuk langsung turun ke desa-desa bekerja sama dengan guru-guru lulusan Muntilan. Nah, inilah kerja sama antara misionaris dan katekis versi waktu itu. Dan saya rasa sampai sekarang pun gerak dinamika Keuskupan Agung Semarang kerja sama antara “misionaris” dengan katekis pun masih berjalan sebagaimana pola yang terjadi di awal-awal tahun 1920-an itu,” ungkapnya.
Dalam perkembangannya, waktu itu mulai datang para bruder dan suster ke wilayah Keuskupan Agung Semarang. Mereka pun bergabung dengan pola yang sudah berjalan itu. “Sudah ada pola yang terjadi, maka, kehadiran para suster-bruder juga akan terlibat masuk dalam dinamika dan pola yang sudah ada itu,” katanya.
Model-model Kemunculan Paroki
Dalam perkembangan Gereja selanjutnya, kerja sama antara misionaris dan katekis menjadi model atau pola sampai saat ini. “Kerja sama antara misionaris dan katekis yang tidak bisa dipisahkan. Saya selalu senantiasa mengatakan mereka adalah satu pasang sayap yang tidak dipisahkan satu sama lain,” katanya.
Romo Hasto pun membuat model-model kemunculan paroki di KAS. Sampai hari ini ada 109 paroki di KAS. Menurutnya ada 6 (enam) model kemunculan paroki-paroki di KAS.
Pertama, paroki sebagai kompleks misi (wajah Gereja). Contohnya, Muntilan, Boro, Ambarawa.
Kedua, paroki yang muncul sebagai kelanjutan dari perkembangan pendidikan (karya pendidikan). “Yang saya maksudkan adalah di mana ada gereja, tidak jauh dari gereja itu juga ada bangunan sekolah, melanjutkan bagaimana pentingnya pendidikan pada waktu itu terus berkembang di situ,” katanya.
Yang ketiga, paroki sebagai “strategi misi”. Contoh: Katedral Randusari, Karanganyar, Ngablak, Kopeng.
Yang keempat, paroki “tata kota”. Contoh: Banyumanik, Minomartani, Palur.
Yang kelima, paroki kategorial. Contoh: Panca Arga, Pangkalan.
Yang keenam, paroki tradisional. Tradisional itu artinya ya berkembang dalam urutan waktu. Contoh: Boro, berkembang muncul Promasan dan Nanggulan. Delanggu berkembang muncul Jombor. Wedi berkembang muncul Gondang, Dalem, dan Bayat.
Paroki Sebagai Perwujudan Wajah Gereja
Paroki Boro, Ambarawa, dan Muntilan yang merupakan paroki yang relatif awal berdiri telah menunjukkan wajah Gerejanya. Maka, menurut Romo Hasto, di kompleks paroki itu ada berbagai karya. Sebagai pemeliharaan jiwa ada paroki. Pelayanan bagi yang sakit, ada rumah sakit. Untuk menjawab kebutuhan pendidikan ada sekolah. “Sungguh-sungguh Gereja mau menampakkan wajahnya, memperkenalkan kepada masyarakat Jawa ini loh Gereja Katolik dengan wajahnya yaitu wajahnya berbagai macam bidang karya yang ada,” katanya. Semua itu dilakukan dengan kerja sama dengan para suster dan bruder yang berkarya. Di ketiga paroki itu ada kerja sama antar Serikat Jesus, Kongregasi Suster OSF dan Kongregasi Bruder FIC yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, maupun sosial.
Dengan demikian, Gereja selalu mencoba bekerja sama melibatkan yang lain untuk berkarya.
Berikut ini adalah penjelasan model kemunculan paroki yang terkait dengan wajah Gereja seperti yang telah disampaikan sebelumnya.
Pertama, paroki sebagai cermin pertumbuhan “karya pendidikan”. “Harus diakui bahwa di Semarang ini terutama Gereja Katolik berkembang tidak bisa dipisahkan dengan karyanya, karya pendidikan. Karya pendidikan amat dikenal entah karena disiplinnya, entah karena sekolahnya bersih-bersih, bagus-bagus, muridnya disiplin, entah alasannya apa, tapi itulah awalnya lewat pendidikan. Dan itu tercermin dari perkembangan paroki yang ada,” katanya.
Beberapa paroki yang menunjukkan wajah seperti itu adalah Paroki Purbayan, Paroki Klaten, dan Paroki Temanggung. Di dekat paroki ada sekolah Katolik. Sekolah-sekolah tersebut, bagi masyarakat sekitar, seperti menjadi wakil dari paroki.
“Gereja perkembangannya beriringan juga dengan pertumbuhan pendidikan,” katanya. Pendidikan menjadi sebuah pilar yang amat penting dalam perkembangan Gereja Katolik di Semarang.
Kedua, Gereja sebagai strategi misi. Contohnya adalah Randusari (Katedral), Karanganyar, dan Ngablak. “Biasanya paroki terbentuk dari sekelompok umat kecil mulai dengan lingkungan, wilayah, stasi, kuasi paroki, lalu menjadi paroki. Berkembang secara alamiah, pelan-pelan, tetapi membentuk sebuah paguyuban, satu komunitas yang akhirnya menjadi Paroki. Namun, hal itu tidak terjadi dengan tiga paroki tersebut.
Berdirinya Paroki Randusari, Katedral di Semarang karena ada visi ke depan. Tempat itu akan menjadi tempat yang penting untuk pusat pemerintahan. “Maka, Gereja wajib hadir juga di tempat di mana akan ada bangunan-bangunan penting, tempat yang penting, tempat yang strategis, supaya Gereja hadir di tengah-tengah, katakanlah, ada warna-warna politiknya, entah perdagangannya, entah apa tapi bukan karena mulai dari bawah, tetapi dari atas menghendaki kita dirikan sebuah paroki di tempat itu,” katanya. Pandangan ini lebih melihat ke aspek strategi. Demikian pula Paroki Karanganyar. Didirikan karena dekat dengan pusat pemerintahan Karanganyar.
Fenomena yang sama juga terjadi dengan Paroki Ngablak yang terbaru. Menurutnya, Paroki Ngablak didirikan karena umatnya kebanyakan adalah petani sayur-sayuran, “mau menemani supaya pastoralnya lebih terfokus.”
“Gereja mau hadir secara pastoral di tengah-tengah para petani sayur-sayuran di daerah Ngablak. Maka, didirikan (Paroki) sebagai alasan, sebagai model strategi, bukan mulai dari secara alamiah,” katanya.
Ketiga, paroki tatakota. Contohnya: Banyumanik, Minomartani, dan Palur. Menurutnya, berdirinya paroki-paroki tersebut karena adanya perumahan sesuai program pemerintah. “Gereja mencoba ikut dengan arus dan pemerintah sambil menghadirkan diri di tempat-tempat itu,” katanya. Pastoralnya pun menyesuaikan.
Keempat, paroki kategorial. Contoh: Panca Arga dan Pangkalan.
Paroki ini ada karena di sana ada profesi tertentu. Paroki Pangkalan untuk anggota TNI Angkatan Udara. Sedangkan Panca Arga untuk anggota TNI Angkatan Darat. “Karena di sana ada profesi tertentu yang perlu pendampingan juga secara tertentu, maka hadir,” kata Romo Hasto.
Kelima, paroki tradisional. “Banyak pengalaman terjadi paroki lahir itu bersamaan dengan perkembangan-perkembangan umat, sesuai dengan waktu secara alamiah, terjadi berkembang seperti itu. Saya kira sebagian besar dari paroki memang mulai dari satu paroki lalu dipecah-pecah menjadi banyak paroki,” katanya.
Keenam, Gereja Diaspora seperti yang pernah ditulis Romo Mangun dalam bukunya. “Bagi Romo Mangun inilah Gereja yang ideal. Gereja yang memang plural. Gereja yang dengan berbagai macam secara sosial, budaya, profesional,” kata Romo Hasto. Menurut Romo Hasto, waktu kita masuk ke Gereja Paroki, orang-orang di sekitar kita itu memiliki profesi yang berbeda, latar belakang budaya yang berbeda, latar belakang sosial yang berbeda. Tetapi pada hari Minggu, waktu kita ikut ekaristi, kita disatukan dengan semangat yang sama, dengan iman yang sama, bahwa kita bersatu, bukan karena profesi. Bukan karena status sosial. Bukan karena kesamaan suku atau budaya. Tapi kita satu karena iman kita akan Yesus Kristus,” katanya. Maka, sambungnya, Romo Mangun mengidealkan Gereja Diaspora yang adalah Gereja yang hadir mengelilingi altar dengan berbagai pluralitas yang ada di masyarakat kita.
Kesimpulan
Menurutnya, catatan-catatan sejarah, termasuk kemunculan paroki, membantu kita untuk menentukan arah dan policy. Menurut Romo Hasto, kita bisa belajar dari masa lalu, bahwa keputusan yang kita ambil sekarang itu hasil belajar dari sejarah yang pernah terjadi di tempat lain, lalu memandu kita untuk mengambil keputusan atau policy.
Kedua, policy di tanah misi tidak pernah terlepas dari arahan dokumen-dokumen Gereja universal yang ada, atau dengan lain kata merupakan terjemahan atau penerapan dari kebijakan universal di dalam konteks tempat dan waktu pada masanya. Dalam bermisi, Gereja memperhatikan pentingnya kehadiran tenaga-tenaga gerejani pribumi. “Maka, sewaktu di tengah-tengah kita muncul ada anak-anak muda yang ingin menjadi imam, bruder, suster sewaktu Gereja kita masih muda, maka Romo-romo pun berani juga berani untuk menerima, karena itulah anjuran dari Gereja universal, karena pentingnya kehadiran tenaga-tenaga pribumi,” katanya. Tenaga gerejani pribumi sangat mengenal budaya dan cara berpikir bangsanya.
Ketiga, magis. Menurutnya, magis dalam pengertian ini adalah Gereja ingin supaya bisa memberikan pelayanan yang lebih baik, supaya kita bisa melayani dengan lebih baik daripada yang sudah kita lakukan. “Itulah prinsip policy yang dibuat oleh para misionaris pendahulu kita. Mengapa perubahan-perubahan terjadi? Pergeseran sudah terjadi? Tidak lain karena Gereja ingin melayani dengan lebih baik lagi,” pungkasnya.