
Pertemuan Pastoral (Perpas) XII Regio Nusa Tenggara (Nusra) telah usai dan menghasilkan berbagai rekomendasi. Uskup Ende, Mgr Paulus Budi Kleden, SVD dalam homili Misa Penutupan Perpas XII di Larantuka, 4 Juli 2025, menyoroti tentang perhatian Gereja terhadap para migran.
Berikut ini adalah homili lengkapnya.
Para Bapak Uskup, Saudari-saudara, Ibu, Bapak yang terkasih dalam Kristus,
“Gereja Berwajah Perantau Berziarah dalam Harapan: Mencari Solusi Praktis Pastoral”, itulah tema Pertemuan Pastoral XII Nusra kali ini. Berwajah perantau. Bukan bertopeng perantau. Berwajah. Wajah asli, bukan wajah sesudah operasi plastik. Maksudnya memang Gereja sesungguhnya adalah Gereja para perantau, melihat wajah para perantau yang dipenuhi harapan akan masa depan yang lebih baik dalam wajah para perantau yang resah dan cemas menantikan apa yang terjadi besok karena nasibnya tidak menentu.
Melihat wajah para perantau yang menderita akibat tekanan berbagai macam orang dan berbagai pihak, Gereja mengenal dirinya sendiri sebagai umat Tuhan dalam ziarah yang tidak punya pegangan lain dan jaminan lain kecuali janji dari Tuhannya yang senantiasa menyertainya sampai akhir zaman.
Dan terlebih pada wajah para perantau itu, Gereja mengenal Tuhannya sendiri, Yesus Kristus yang dilahirkan oleh orang tua yang sedang dalam perjalanan, yang harus mengungsi pada usia yang sangat dini ke Mesir. Yesus yang berziarah, yang berjalan dari desa ke desa, dari kota ke kota untuk mewartakan betapa Allah itu penuh kasih, menjamah semua, merangkul segala.
Dan Yesus yang pada akhir hidup-Nya menjelang kenaikan-Nya ke surga memberikan perintah kepada semua kita agar pergi ke seluruh penjuru dunia. Tidak ada kepergian, tidak ada kemungkinan untuk pergi ke seluruh dunia, selain menjadi peziarah, menjadi manusia yang berjalan, juga menjadi perantau. Gereja berwajah perantau karena itulah hakikat Gereja.
Dalam hari-hari ini kita merenung, berdiskusi tentang hakikat Gereja ini. Pada misa pembukaan pada hari Selasa yang lalu, dalam khotbahnya, Bapak Uskup Frans menegaskan bahwa Allah, Tuhan tidak tidur. Yesus punya hati yang terbuka dan telinga yang tanggap untuk mendengar kita semua.
Dan hari ini Tuhan yang tidak tidur itu memanggil kita semua seperti Dia memanggil Matius untuk berjalan bersama Dia. Dia memanggil kita semua agar juga memiliki mata yang terbuka, hati yang tanggap, dan telinga yang rela mendengar jeritan orang-orang miskin dan keluhan alam yang tereksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat manusia.
Yesus memanggil kita untuk menjadi peziarah dengan mata yang terbuka, telinga yang tanggap, dan hati yang berbelas kasih.
Terinspirasi oleh bacaan-bacaan hari ini, saya hendak menggarisbawahi tiga hal yang mungkin menjadi spiritualitas bagian nyata dari kehidupan para perantau, yang menjadi juga inspirasi untuk kita dalam ziarah kita sebagai Gereja.
Yang pertama, yang terungkap dalam kebijaksanaan yang dirumuskan dalam pepatah “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”, “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Dalam bacaan pertama tadi kita mendengar bagaimana Abraham meminta dari orang-orang, tanah untuk dapat memakamkan istrinya yang meninggal. Abraham tahu tanah itu ada pemiliknya. Dia menghargai struktur masyarakat yang ada. Dan karena itu dia dengan cara baik-baik meminta tanah itu.
Para perantau menghidupi spiritualitas itu, menghormati budaya orang sambil menghargai budaya itu. “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Ini juga pelajaran untuk kita sebagai Gereja. Menjadi Gereja yang sungguh menghargai kebudayaan masyarakat setempat. Juga Gereja yang akrab dengan situasi umat dan masyarakat di mana Gereja itu hadir. Gereja yang tahu penderitaan mereka yang tersingkirkan, keluh kesah mereka yang gampang dilupakan, kecemasan mereka yang terlalu gampang diabaikan dari berbagai macam perhitungan.
Gereja mesti menjadi Gereja yang kontekstual, Gereja yang tahu kecemasan dan kegembiraan masyarakat setempat. “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Gereja seperti ini mengajak semua orang untuk sungguh menghargai tanah, bumi sebagai tempat pijakan kita bersama, sebagai rahim yang memberikan kehidupan untuk kita semua. Gereja seperti ini mengajak kita semua untuk sungguh mengolah tanah dan kekayaannya secara bertanggung jawab agar tidak tereksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, kebutuhan generasi sekarang, tetapi selalu memperhitungkan apa yang akan menjadi sumber kehidupan bagi generasi-generasi seterusnya.
Hal yang kedua, yang kita pelajari dari bacaan-bacaan hari ini dan dari spiritualitas realitas kehidupan para perantau. Syukur bisa menjadi besar di tanah orang, tetapi tidak pernah lupa akan tanah asal. Juga dalam bacaan pertama tadi, kita dengar Abraham tidak mau supaya Ishak anaknya kembali ke tanah kelahirannya. Tetapi mengharuskan hambanya untuk mencari istri bagi anak itu dari tanah kelahirannya, supaya tetap ada hubungan dengan tempat asal. Menjadi besar di tanah orang tanpa pernah kehilangan relasi dengan tanah asal. Demikian juga Gereja. Gereja yang terus berkembang dalam zaman, menghadapi situasi baru, tetapi tidak pernah lupa akan apa yang menjadi kekayaan warisan masa lampau. Gereja menghidupi keyakinan bahwa transformasi Gereja dan transformasi masyarakat hanya dapat terjadi kalau kita dengan jiwa besar keberanian menghadapi tantangan hari ini dan masa datang tanpa pernah melupakan apa yang kita bawa sebagai warisan dari generasi pendahulu kita.
Dan hal yang ketiga, dalam realitas para perantau ada kerelaan bahwa perhatian khusus diberikan kepada mereka yang hidup dalam keadaan yang lebih sulit, yang mengalami kesusahan yang lebih besar. Tabib datang untuk yang sakit. Kerelaan bahwa yang mengalami kesulitan, yang hidup dalam kesusahan boleh mendapat perlakuan khusus. Sebagai Gereja, kita juga perlu memiliki opsi-opsi khusus seperti ini. Kita memberikan perhatian khusus kepada mereka yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Kita memberikan perhatian khusus kepada mereka yang tidak memiliki dokumen dalam perjalanannya. Perhatian khusus kita berikan. Dan perhatian khusus ini kita berikan dalam banyak cara. Juga dengan mengadvokasi mereka, mendampingi mereka para korban tindak pidana perdagangan orang. Sangat menyedihkan bahwa yang terjadi pada saat sekarang ini adalah yang menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang seringkali berada dalam lingkaran yang sangat dekat dengan korban: keluarga sendiri, kenalan sendiri, para tetangga sendiri. Mereka itulah yang menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang. Perhatian khusus kita berikan kepada mereka ini karena tabib datang untuk membantu yang sakit. Dan Gereja yang berani terjun, berani menyuarakan, berani membuat advokasi untuk kelompok-kelompok seperti ini mesti juga menanggung risiko bahwa dia sendiri juga mengalami kesakitan, ditinggalkan, dicemooh.
Gereja juga membutuhkan tabib itu untuk selalu memberikan kita semangat baru agar kita terus melangkah dalam apa yang menjadi keyakinan kita bahwa memang Gereja mestinya berwajah perantau.
Saudara-saudariku yang terkasih, dalam tuntunan Roh Kudus kita telah melewati hari-hari yang penuh makna ini. Kita sudah berziarah. Kiranya Tuhan yang sudah memanggil kita seperti Dia memanggil Matius dalam bacaan tadi agar kita terus berziarah bersama Dia dengan mata yang terbuka untuk melihat realitas, dengan telinga yang rela menanggapi apa yang menjadi jeritan manusia sesama yang menderita dan alam dan dengan hati yang tergerak untuk menolong. Tuhan memberkati!