Renungan 3 Juni 2025

Hari ini kita memperingati St. Karolus Lwanga dkk, para martir dari Uganda.

Raja Uganda yang awalnya simpati menjadi marah dan benci kepada penganut agama Katolik, ketika dinasihati Yosep Mkasa untuk berhenti dari perilakunya yang jahat. Kemudian dia membunuh Mkasa, Kizito dkk. tahun 1885. Tahun berikutnya dia membunuh Karolus bersama dengan 22 orang lainnya. Mereka dinyatakan santo oleh Paus Paulus VI tahun 1964.

Dalam 2Mak 7: 1-2.9-14 dikisahkan: “Pada masa pemerintahan raja Antiokus Epifanes, terjadilah penganiayaan terhadap umat Tuhan. Tujuh orang bersaudara dan ibu mereka ditangkap. Lalu dengan siksaan cambuk dan rotan mau dipaksa oleh sang raja untuk makan daging babi yang haram. Maka seorang dari antara mereka, yakni yang menjadi juru bicara, berkata begini: “Apakah yang hendak baginda tanyakan kepada kami dan apakah yang hendak baginda ketahui? Kami lebih bersedia mati daripada melanggar hukum nenek moyang.”

Ketika sudah hampir putus nyawanya berkatalah ia: “Memang benar kau, bangsat, engkau dapat menghapus kami dari hidup di dunia ini, tetapi Raja alam semesta akan membangkitkan kami untuk kehidupan kekal, karena kami mati demi hukum-hukum-Nya!”

Sesudah itu, orang yang ketiga disengsarakan. Ketika diminta segera dikeluarkannya lidahnya dan dengan berani dikedangkannya tangannya juga. Dengan berani berkatalah ia: “Dari Sorga aku telah menerima anggota-anggota ini dan demi hukum-hukum Tuhan kupandang semuanya itu bukan apa-apa. Aku berharap akan mendapat kembali semuanya dari-Nya!” Sampai-sampai sang raja sendiri serta pengiringnya pun tercengang-cengang atas semangat pemuda itu yang memandang kesengsaraan itu bukan apa-apa.

Sesudah yang ketiga berpulang, yang keempat disiksa dan dipuntungkan secara demikian pula. Ketika sudah dekat pada akhir hidupnya berkatalah ia: “Sungguh baiklah berpulang oleh tangan manusia dengan harapan yang dianugerahkan Allah sendiri, bahwa kami akan dibangkitkan kembali oleh-Nya. Sedangkan bagi baginda tidak ada kebangkitan untuk kehidupan.”

Matius dalam injilnya (Mat 5: 1-12a) mewartakan: “Sekali peristiwa, Yesus melihat orang banyak datang kepada-Nya, lalu naiklah Ia ke atas bukit. Setelah Ia duduk, datanglah para murid-Nya kepada-Nya. Lalu, Ia pun mulai berbicara dan mengajar mereka: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, sebab merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga.

Hikmah yang dapat kita petik:

Satu, dikisahkan bahwa 7 orang bersaudara yang disiksa dan dibunuh raja, alasannya adalah pertama mereka percaya bahwa ada kebangkitan dan pahala dari Allah. Kedua, mereka menolak untuk menyembah berhala dan makan makanan haram yang ditetapkan raja. Mereka memberikan teladan iman dan kesetiaan kepada kita, meski harus mati. Anak-anak, anggota komunitas, keluarga kita pertama-tama tidak butuh bukti punya uang/jabatan, tetapi butuh teladan kesetiaan, kemurahan hati, kejujuran, sukacita, kerukunan sebagai buah dari iman, harapan dan kasih.

Tiga, Yesus menegaskan bahwa kebahagiaan yang diwartakan-Nya benar-benar melawan arus. Orang yang benar-benar berbahagia adalah orang ada dalam kasih dan sejalan dengan rencana Allah dan damai dengan sesama, dan bukan dengan menuruti tawaran dunia (= senang-senang, banyak uang, populer, dll). Orang bisa hidup damai dan bahagia meski tinggal di desa, di dusun terpencil, dan seadanya, tanpa AC, tanpa hp dll., karena berjalan bersama Allah. Amin.

Mgr Nico Adi MSC

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *