Renungan Harian 30 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah IV

Minggu, 30 Maret 2025

Bacaan I          : Yos. 5:9a.10-12

Bacaan II        : 2 Kor. 5:17-21

Bacaan Injil     : Luk. 15:1-3.11-32

Sukacita itu bisa nyetrum

Pada hari ini kita memasuki Minggu Prapaskah IV yang dikenal sebagai Minggu Laetare (Minggu Sukacita). Minggu Sukacita ini disimbolkan dengan warna liturgi dari warna ungu menjadi warna merah jambu (pink). Dalam Minggu Laetare ini, Gereja mengajak kita untuk bersukacita karena kita sudah separuh jalan menjalani masa Puasa dan Pantang (Masa Prapaskah). Minggu Laetare mengingatkan kita bahwa Masa Prapaskah merupakan simbol perjuangan kita di dunia untuk mencapai sukacita abadi yang dilambangkan dengan Paskah. Sukacita abadi kita peroleh berkat kehidupan, wafat, dan kebangkitan Tuhan Yesus. Minggu Laetare ini memberikan kepada kita semangat untuk menyelesaikan Masa Prapaskah ini dengan sukacita rohani yang besar.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang atau bisa juga Bapa yang penuh kasih sayang. Sang Bapak bersukacita karena anaknya bungsu yang hilang sudah pulang kembali. Atas kepulangan anaknya, sang bapak mengadakan syukuran dan pesta sukacita. Anaknya dipakaikan cincin, sepatu, dan jubah yang indah. Selain itu, para hambanya diminta untuk menyembelih anak lembu tambun. “Ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan mari kita makan dan bersukacita,” kata sang bapak.

Cincin merupakan lambang otoritas atau hak yang sepenuhnya diberikan kembali kepada anak bungsu sebagai pewaris sah atas kekayaannya. Sepatu menjadi tanda bahwa anak bungsu bukan budak, tetapi orang merdeka. Dengan memberikan jubah terbaik, bapak itu mau mengungkapkan bahwa dia menerima sepenuhnya si bungsu sebagai anaknya lagi. Perintah ini secara tidak langsung juga sebagai permintaan kepada para hamba agar menerima kembali anaknya tanpa syarat sebagai majikan dan memberikan hormat yang sepantasnya.

Akhirnya, bapak itu memerintahkan untuk menyembelih anak lembu yang gemuk untuk berpesta serta mengundang para penari dan pemusik. Artinya, pesta itu merupakan pesta sukacita yang istimewa dan pasti mengundang orang-orang sekampung karena seekor lembu yang gemuk terlalu banyak kalau hanya dikonsumsi orang-orang serumah.

Selain sebagai ungkapan sukacita, pesta itu juga merupakan upaya rekonsiliasi antara si bungsu dengan seluruh warga kampung. Itulah acara syukuran atas kembalinya sang anak yang hilang.

Sukacita atau bersyukur adalah tanda bahwa orang itu beriman. Orang yang bersukacita atau bersyukur mempunyai energi positif yang luar biasa. Bahkan sukacita atau syukur bisa menciptakan aura positif dalam hidup bersama.

Menurut peta kesadaran diri yang disampaikan David R. Hawkins, Ph.D dalam buku “Power Vs Force”, diungkapkan bahwa level sukacita itu berada dalam nilai atau score 540. Energi positifnya sangat tinggi. Bahkan level sukacita ini ada di atas level cinta (nilai 500). Sukacita yang dibagikan itu membawa berkah. Sukacita itu bisa nyetrum atau menular. Bahkan bisa dirasakan oleh banyak pihak. Selain sukacita, semangat belaskasih juga ingin ditunjukkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan tersebut. Belaskasih Bapa melahirkan sukacita bagi manusia. Kita bersyukur karena Allah kita adalah Allah Bapa yang penuh belas kasih. Tuhan Yesus menegaskan bahwa yang bersukacita tidak hanya manusia, tetapi penghuni surga pun bersukacita karena ada orang yang bertobat.

Pertanyaan refleksinya, pengalaman kasih apa yang pernah Anda alami dalam hidup ini? Sukacita akan apa yang sedang Anda rasakan akhir-akhir ini? Mari jangan lupa bahagia dan sukacita yach…#

Yohanes Gunawan, Pr

Rektor Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya,

Jangli – Semarang

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *