Jejak Karya Mangunwijaya

Rektor Soegijapranata Catholic University (SCU) Ferdinandus Hindiarto mengaku sedang galau mengingat anak-anak muda Gen Z kesulitan mendapatkan role model. “Saya memikirkan anak-anak muda, para mahasiwa Gen Z itu saat ini kesulitan mendapatkan role model gitu,” katanya dalam Seminar dan Pameran Foto “Jejak Karya Mangunwijaya” di SCU, 25 November 2024.

Padahal, menurutnya, dalam teori psikologi, behavior modeling adalah cara yang paling efektif untuk membentuk perilaku. “Karena paling gampang itu ya meniru manusia itu. Lalu, siapa yang mau ditiru?” katanya.

Menurut Ferdinand, kita butuh sosok model seperti Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr. “Dan ini menurut saya, ciptaan Tuhan yang luar biasa. Kalau kita menelusuri karya-karya beliau itu multidimensi. Novelnya keren. Karya arsitekturalnya luar biasa. Pemikiran dalam pendidikannya dahsyat. Pejuang kemanusiaan,” katanya.

Karena kecerdasan multidimensi Romo Mangun yang luar biasa, maka menurutnya, sungguh layak, kalau mendiskusikan mengenang kembali, menggali dan menemukan spiritnya. “Bahwa ending-nya adalah sangat layak kalau beliau kita ajukan sebagai pahlawan nasional, bukan untuk gagah-gagahan, bukan. Wah, ini ada pahlawan nasional yang romo, yang Katolik, tidak. Tapi kita saat ini betul-betul butuh role model untuk bangsa ini. Kalau Pak Karno kita jelas nasionalisme, patriotisme luar biasa. Dari Bung Hatta kita belajar tentang kesederhanaan. Termasuk beliau kita beri julukan Bapak Koperasi Indonesia. Dan beliau berpendapat koperasi harusnya menjadi soko guru ekonomi Indonesia,” ungkap Ferdinand.

Hal senada pun disampaikan oleh Ketua Panitia Peringatan 25 Tahun Wafatnya Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr, Agustinus Kunarwoko. “Betul yang dikatakan oleh Bapak Rektor tadi. Jangan-jangan kita ini memang kurang role model, kurang contoh  hidup,” katanya.

Menurutnya, Panitia terbentuk karena tiba-tiba menyadari tahun 2024 adalah 25 tahun wafat Romo Mangun. “Tiba-tiba saja ingin kami kenang karena itu tadi kita ingin mendapatkan seorang role model,” katanya. Ia pun terkenang akan Romo Mangun usai kerusuhan Mei 1998. Waktu itu, Kunarwoko merasa bingung harus bertemu siapa untuk membicarakan masalah tersebut. “Karena kami kehilangan role model, kami akan lapor kepada siapa ketika umat kita sedang takut, sedih, susah. Kami sowan aja kepada Romo Mangun. Romo Mangun langsung menjawab dan mengatakan. Sudahlah kumpulin teman-teman. Kita berdoa. Ada saatnya kita ngumpet berdoa, seperti Tuhan Yesus di pojok kamar, tetapi ada saatnya pula Yesus juga berkhotbah di atas bukit,” kenangnya.

Panitia peringatan 25 tahun Wafat Romo Mangun, sambungnya, dibentuk oleh Ikatan Alumni Filsafat dan Teologi (Ikafite). “Ikatan alumni ini sebetulnya sudah sangat terlambat terbentuk. Kentungan kampus kami itu sebetulnya sudah tua melebihi negara ini merdeka. Sudah menghasilkan 47 Uskup, 3 Kardinal dan ratusan atau bahkan mungkin ribuan rekan-rekan yang bekerja tanpa nama, tanpa dikenal di pedalaman Kalimantan, Papua dan sebagainya. Karena itu, kami sebetulnya merasa juga bangga kalau di antara alumni itu ada seorang Romo Mangunwijaya,” tegasnya.

Kunarwoko berharap, Romo Mangun menjadi tempat kita bersyukur, berterima kasih bahwa Tuhan pernah memberi kita seorang tokoh sebesar Romo Mangun. “Ketokohan beliau bukan karena dia foya-foya, muda foya-foya, tua kaya raya. Tetapi kita yakin, Romo Mangun sudah masuk surga karena dia memberikan, mewakafkan dirinya yang terbaik. Kita bersyukur juga bahwa pada generasi itu ada tokoh seorang Romo Mangun. Tuhan memberi juga tokoh seperti Mgr Albertus Soegijapranata. Kita bersyukur pada tahun itu terbentuk sebuah generasi. Generasi yang sangat melahirkan tokoh-tokoh nasional, tokoh-tokoh Katolik, tetapi juga tokoh-tokoh teladan yang sangat mencintai negara ini, sangat mencintai rakyat,” ujarnya.

Hal yang berkesan dari Romo Mangun, menurut Kunarwoko, adalah caranya menyikapi hidup, menyikapi persoalan, dan melihat saudara-saudara yang kecil. “Sungguh-sungguh melihat bahwa ini bukan orang lain. Ini adalah keluarga kita. Cintanya  Romo Mangun kepada negara, Gereja dan orang-orang yang terpinggirkan itu tidak basa-basi. Kita semua menyaksikan ini,” katanya.

Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (KAS) Mgr Robertus Rubiyatmoko menyambut gembira seminar untuk mengenang dan mendalami warisan besar Romo Mangun. “Hari ini kita memperingati 25 tahun meninggalnya Romo Mangun. Perjalanan 2,5 dekade sejak kepergian beliau tidak pernah mengurangi relevansi pemikiran dan perjuangannya. Sebaliknya, nilai-nilai yang beliau tanamkan semakin terasa penting di tengah dinamika sosial, budaya dan politik bangsa kita pada saat ini,” kata Mgr Rubi.

Menurut Mgr Rubi, Romo Mangun merupakan figur multidimensional. “Dia bukan hanya saja dikenal sebagai seorang romo dari Keuskupan Agung Semarang, tetapi juga seorang budayawan, sastrawan, arsitek dan pejuang kemanusiaan,” katanya.

Kehidupan Romo Mangun, menurutnya, mencerminkan panggilan yang melampaui sekat-sekat agama, budaya dan juga status sosial. “Hari ini kita ingin bersama-sama menyelami baik pemikiran, karya maupun perjuangan beliau yang sungguh-sungguh menginspirasi kita untuk mendukung usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi beliau. Inilah yang menjadi orientasi tujuan dari seminar kita ini. Melalui seminar dan juga pameran pada hari ini, kita semua diajak untuk mengenang karya besar Romo Mangun,” katanya.

Sebagai pejuang kemanusiaan, menurut Mgr Rubi, Romo Mangun adalah seorang pembela orang-orang kecil atau wong-wong cilik dan mereka yang terpinggirkan. “Ia ada bersama dengan kaum kecil. Ia hidup bersama dengan mereka. Dia berjuang bersama mereka. Projek pemukiman di Kalicode, di Yogyakarta adalah bukti konkret bagaimana beliau memadukan ilmu, hati dan iman demi martabat manusia. Romo Mangun sungguh berjuang untuk memulihkan martabat manusia terlepas dari status sosial mereka,” ujarnya.

Sebagai budayawan dan sastrawan, menurutnya, Romo Mangun menggugah kesadaran bangsa Indonesia melalui karya-karya yang penuh kritik sosial. “Lewat novelnya yang berjudul “Burung-burung Manyar” misalnya, beliau menuliskan sebuah refleksi panjang yang menyuarakan kritik yang sangat mendalam tentang kemanusiaan, cinta dan kemerdekaan,” katanya.

Sebagai arsitek, menurut Mgr Rubi, Romo Mangun mengajarkan bahwa pembangunan bukan hanya soal fisik, soal tembok, soal gedung, tetapi soal bagaimana menciptakan ruang yang manusiawi, adil dan bermartabat. “Kita kenal bangunan-bangunannya sangat khas karena menggunakan bahan-bahan dari daerah lokal dan selalu melibatkan orang-orang setempat untuk ikut membangun dan sekaligus nanti diharapkan menjadi pagar yang sungguh-sungguh memelihara bangunan dengan sebaik mungkin. Meskipun bagi orang zaman sekarang kadang-kadang bangunannya terasa sangat kuno, gelap dan tidak mudah untuk dipelihara. Namun toh ini semua merupakan warisan arsitektur yang sangat luar biasa, yang pantas untuk dilestarikan dan senantiasa diperjuangkan keberadaannya,” kata Mgr Rubi.

Di atas semuanya itu, lanjutnya, Romo Mangun adalah teladan iman yang hidup. “Ia menghidupi Injil melalui tindakan-tindakannya yang nyata, menjembatani dialog antar umat beragama dan merangkul mereka yang terpinggirkan. Banyak karya yang dia buat. Tidak hanya di Kali Code. Namun juga di Kedungombo, di Wonosari, di Grigak dan lain sebagainya. Beliau membuktikan bahwa iman dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Bahwa iman yang sejati harus diwujudkan dalam aksi yang nyata, melintasi sekat perbedaan demi pembangunan Indonesia yang lebih baik,” katanya.

Lebih lanjut, Mgr Rubi menyampaikan, melalui seminar dan pameran tersebut, kita bersama-sama menghidupkan kembali warisan Romo Mangun dan mendukung langkah penting untuk mengusulkannya sebagai pahlawan nasional. “Ide, gagasan ini muncul akhir-akhir ini menjadi semakin kuat karena kita ingin menghidupkan, menghidupi dan menggelorakan semangat dan nilai-nilai perjuangan Romo Mangun yang sungguh dibutuhkan untuk zaman kita sekarang ini. Gelar ini tidak hanya untuk menghormati perjuangan beliau, tetapi juga sebagai pengingat bagi kita semua akan nilai-nilai yang harus terus diperjuangkan, sebagai pondasi pembangunan bangsa yang bermartabat, khususnya terkait dengan soal keadilan sosial, kemanusiaan dan dialog yang melibatkan hati dan akal,” ujarnya.

Menurutnya, Paus Fransiskus saat berkunjung ke Indonesia juga sangat menekankan agar iman menjadi nyata dalam persaudaraan dan  bela rasa satu terhadap yang lain.

“Kami berharap semoga seminar dan pameran ini tidak hanya menjadi momentum refleksi, namun juga semangat untuk melanjutkan perjuangan Romo Mangun ini,” harapnya.

Bebeberapa narasumber seperti Romo C.B. Mulyatno, Pr (Ketua Yayasan Dinamika Edukasi Dasar), Robert Rijanto Wijaya (Dekan Fakultas Arsitektur dan Desain SCU), Mohammad Sobary (Budayawan), dan Ahmad Bahrudin (Pendiri Qariyah Thayyibah) serta Romo Yohanes Yupilustanaji, Pr turut memberikan wawasan tentang Romo Mangun dan gerakannya. Acara ditutup dengan perayaan ekaristi.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *