
Tinggal dalam Kristus dan Berbuah adalah tema besar Arah Dasar (Ardas) VIII Keuskupan Agung Semarang. Tahun 2025 tema tersebut difokuskan pada “Semakin Katolik dan Semakin Apostolik di Tengah Perubahan Zaman”. Uskup Agung KAS, Mgr Robertus Rubiyatmoko menyampaikan hal tersebut dalam peneguhan Temu Pastoral Online Keuskupan Agung Semarang, 1 Oktober 2024.
Menurutnya, ‘Katolik’ dan ‘apostolik’ sebenarnya merupakan dua dari lima prioritas garapan Ardas VIII. “Kita masih ingat kelimanya apa, yakni kekatolikan, kerasulan, kebangsaan, kerjasama-sinergi dan profesionalitas. Kita rancangkan kelima-limanya, dijalankan bersama-sama, meskipun bisa ada penekanan-penekanan tertentu. Nah, tahun 2025 kita mempunyai penekanan pada bidang kekatolikan dan kerasulan,” katanya.
Mgr Rubi menjelaskan latar belakang pemilihannya. “Kita mempunyai keprihatinan berkaitan dengan militansi umat kita, dengan pengetahuan keimanan dan keagamaan yang bisa dibilang agak lemah. Maka perlu disiasati bersama-sama supaya umat kita sungguh-sungguh memiliki pengetahuan yang mendalam hingga akhirnya bisa menghidupinya dalam keseharian,” katanya.
Dari tema tersebut, ada beberapa poin yang bisa diulas bersama. “Yang pertama, adalah bersama dengan Kristus. Ini mesti menghasilkan buah yang berkelimpahan dan buahnya itu adalah menjadi semakin Katolik. Menjadi semakin Katolik tidak lain menjadi semakin dewasa dalam beriman, yakni beriman CTMD sebuah singkatan yang sudah cukup biasa kita dengar CTMD (cerdas, tangguh, misioner dan dialogis),” ungkap Mgr Rubi.
Dengan kata cerdas, menurutnya, kita ingin supaya umat kita memiliki pengetahuan yang cukup atas iman kepada Tritunggal Yang Maha Kudus dan atas Gereja-Nya. Cerdas berarti punya penalaran, bisa menjelaskan dengan baik. “Dari pengalaman keliling paroki-paroki selama penguatan atau Krisma, nampak sekali umat kita kurang cukup kuat,” katanya “termasuk orang-orang mudanya”.
Tangguh berarti mampu menghidupi iman dalam keseharian secara sungguh-sungguh dan tak tergoyahkan. “Namun realitasnya tidaklah demikian. Tidak sedikit umat kita yang pergi meninggalkan iman, meninggalkan Gereja karena berbagai macam alasan. Masih tergoyahkan oleh hal-hal duniawi, entah karena perkawinan, entah karena pekerjaan, karena pangkat atau yang lain-lainnya,” katanya.
Sedangkan misioner berhubungan dengan semangat untuk mewartakan Injil, mewartakan kabar sukacita, dan memberikan kesaksian. “Dan inilah yang menjadi arah langkah kita selanjutnya, menjadi pewarta-pewarta keselamatan dengan masyarakat,” kata Mgr Rubi.
Dialogis adalah bagaimana kita mencoba membangunnya dalam kebersamaan orang lain, bahkan lintas agama, sehingga bisa menciptakan suatu komunitas yang terpadu, tidak hanya orang-orang Katolik, namun juga melibatkan sekian banyak orang lain. “Harapannya tentu saja iman kita tidak tergoyahkan bahkan bisa memberikan inspirasi, memberi pengaruh yang baik bagi yang lain,” tutur Mgr Rubi.
Sedangkan apostolik mau menunjukkan atau menandaskan mengenai bagaimana iman kita semakin bermakna bagi masyarakat, khususnya melalui karya-karya pelayanan atau kerasulan dengan masyarakat yang kita miliki baik karya pastoral, karya pendidikan, kesehatan, karitas dan lainnya.
Zaman yang berubah
Mgr Rubi menyadari zaman begitu cepat berubah yang membuat kita seakan-akan tertinggal. “Dunia dan masyarakat kita selalu berubah bahkan semakin hari semakin cepat dan tentu saja ini menuntut respon dari kita. Respon yang positif dibarengi pembenahan-pembenahan sana-sini demi menghasilkan buah yang berkelimpahan,” kata Mgr Rubi.
Dalam perubahan zaman itu, Mgr Rubi berharap, kita mampu menangkap tanda-tanda zaman, “untuk maneges kersa Dalem Gusti, Tuhan menghendaki apa atas zaman ini, atas peristiwa-peristiwa yang kita hadapi, dan sekaligus merangkul dan memanfaatkan teknologi secara kritis untuk pembinaan iman dan pewartaan Injil”. “Sebelum pandemi sudah kita rasakan, sudah kita ketahui adanya kemajuan teknologi yang sangat pesat. Dengan pandemi semakin melejit dan sekarang ini menjadi sesuatu yang biasa lagi. Biasa dalam arti tidak bisa tidak harus kita pakai dalam rangka pembangunan jemaat, dalam rangka pewartaan kepada masyarakat luas,” tuturnya.
Maka, menurutnya, Gereja mau tidak mau harus berhasil menjawab kebutuhan dan tantangan yang nyata. “Kita temukan tantangan-tantangan seperti apa dan kita mencari tahu solusinya seperti apa, kita tawarkan kepada masyarakat untuk memberikan inspirasi dan sekaligus memberikan solusi. Hanya dengan cara demikianlah, maka Gereja, kita semua sungguh-sungguh menjadi relevan dan signifikan entah dalam konteks kegerejaan di antara kita sendiri maupun dalam dalam konteks masyarakat luas,” kata Mgr Rubi.
FIBB
Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan (FIBB) merupakan tema yang akan terus digeluti secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. FIBB menjadi fokus pastoral pada tahun 2024 “mengingat Gereja itu terlahir karena pewartaan, berkembang juga melalui pewartaan dan akhirnya Gereja diutus untuk mewartakan, sebagaimana kita lihat dalam Matius 28, ketika Yesus berkata, “Pergilah ke seluruh dunia. Ajarlah semua bangsa!” Ini semua menjadi perutusan untuk kita semua yang telah dibaptis,” katanya.
FIBB menjadi kerangka besar tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya. “Sekarang nggak pernah bisa dilepaskan. Dan saya sangat senang sekali ketika keliling paroki-paroki dalam rangka kunjungan pastoral dan sekaligus penerimaan sakramen, selalu ditampilkan bagaimana paroki-paroki berdinamika menyambut FIBB ini. Begitu banyak kegiatan katekese, persiapan katekese dan pelaksanaannya untuk berbagai macam kelompok usia dan berkelanjutan,” katanya.
Beberapa paroki, lanjut Mgr Rubi, mengaitkannya langsung dengan peristiwa penerimaan sakramen-sakramen. “Ini rasanya sangat bagus sekali meskipun tidak hanya terbatas di situ, namun dengan banyak cara sehingga lalu variatif. Saya sangat senang sekali ketika paroki-paroki menampilkan hal ini karena rasanya FIBB menjadi suatu yang sangat hidup meskipun masih tetap harus kita kembangkan, kita kemas lebih baik lagi ke depan, termasuk katekese bulanan yang rasa-rasanya belum terlalu menjadi habitus kita,” katanya.
Meski demikian, Mgr Rubi maklum karena memang sedang mencari bentuk. “Namun harapannya ke depan, nanti semakin bisa kita siapkan jauh-jauh sebelumnya bahan-bahan untuk katekese bulanan sekaligus ditindaklanjuti di tingkat paroki bahkan sampai ke tingkat lingkungan-lingkungan,” katanya.
FIBB dipilih karena lemahnya pemahaman umat, khususnya orang-orang muda atas iman dan Gereja. “Mereka pengin tahu, pengin ngerti namun tidak tahu bagaimana mendapatkan sumber informasinya. Dan juga militansi umat yang cenderung menurun. Maka, tujuan FIBB ini tidak lain adalah agar iman kepada Yesus Kristus bisa nyambung, bisa nyantol, bisa mengejawantah dalam kehidupan yang nyata, dalam kehidupan kita sehari-hari di tengah masyarakat,” katanya.
Ini selaras dengan yang pernah disampaikan Santo Yakobus, “Iman tanpa perbuatan itu adalah mati.” “Iman menjadi nyata dalam perbuatan. Iman menjadi hidup dalam tindak-tanduk, dalam perbuatan yang konkret. Inilah yang kita harapkan nantinya, iman mengejawantah dalam kehidupan nyata di tengah masyarakat yang selalu berubah, entah masyarakat internal Gereja sendiri ataupun masyarakat pada umumnya, di mana kita tinggal di tengah-tengah mereka,” katanya.
Untuk itu, menurutnya, perlu diimplementasikan program-program pelayanan baik itu pastoral pendidikan, kesehatan, sosial untuk bisa disinkronkan dengan misi Gereja KAS, RIKAS dan Ardas bahkan motto penggembalaan Uskup “Mencari dan Menyelamatkan”.
Mgr Rubi berharap, iman melalui FIBB bisa meresap dalam berbagai macam program pelayanan. Bahkan ia berharap, FIBB bisa masuk dalam pendidikan di sekolah. “Maka kita semua penyelenggara sekolah mesti memikirkan supaya sekolah-sekolah pun juga ikut terlibat di dalam FIBB ini,” katanya. Bahkan dalam bidang kesehatan seperti rumah-rumah sakit dan klinik juga diharapkan untuk menerapkan misi Gereja Katolik KAS dalam karya pelayanannya. “Justru karena kita menyandang nama Katolik, tidak bisa dilepaskan dari dinamika Gereja partikular atau Gereja Keuskupan kita ini,” kata Mgr Rubi.
Remaja dan orang muda Katolik
Remaja dan orang muda Katolik perlu mendapat perhatian lebih. “Keprihatinan yang cukup kuat adalah remaja dan orang muda. Keprihatinan dalam arti mereka membutuhkan bimbingan, pembinaan yang lebih banyak daripada yang lain-lain. Kalau saya memperhatikan yang di paroki-paroki, pembinaan untuk PIA, pembinaan iman anak itu rata-rata sudah jalan bagus, baik bahkan sangat semarak. Untuk yang usia dini masih mencari bentuk. Sementara untuk pembinaan iman remaja dan orang muda, ini yang rata-rata dialami di banyak paroki. Memang ada beberapa paroki yang sudah berhasil mengumpulkan banyak orang muda untuk terlibat dalam dinamika dan mengalami pembinaan yang terus-menerus, termasuk bahkan melibatkan orang-orang muda dalam atau menjadi katekis-katekis muda. Maka, kiranya nanti dalam katekese kita perlu untuk lebih banyak memberi waktu bagi remaja dan orang muda ini. Karena merekalah yang menjadi tulang punggung Gereja kita. Selagi remaja dan orang muda aktif keluar dari rumah dan terjun di tengah-tengah kegiatan menggereja, maka Gereja akan kelihatan hidup. Sebaliknya kalau mereka pergi, ngumpet, maka Gereja akan menjadi kelihatan Gereja tua bahkan Gereja yang amem,” katanya.
Terkait dengan FIBB pada kelompok remaja dan orang muda, Mgr Rubi melihat perlu ada penyiapan. Yang pertama, sumber daya manusia (SDM) khususnya para katekis untuk masing-masing jenjang usia. “Bagaimana kita mencoba membekali mereka. Salah satu kendala yang membuat susahnya mencari katekis adalah karena mereka merasa tidak mampu, tidak mempunyai bekal. Maka kita mesti menangkap sinyal ini dengan cara membekali mereka secukupnya untuk masing-masing jenjang sehingga mereka akhirnya merasa mantap dan mempunyai bekal untuk pengajaran, pembinaan yang bisa dibagikan kepada orang lain. Saya sangat mengapresiasi beberapa paroki yang mencoba untuk secara khusus menyiapkan katekis-katekis ini. Bahkan untuk masing-masing jenjang usia ada kelompok katekis sendiri, dilatih secara berkesinambungan. Tidak hanya secara teknis, namun juga dibekali soal isinya. Saya melihat mereka bergembira, bersukacita karena sebenarnya banyak sekali yang pengin terlibat menjadi katekis, namun tidak tahu bagaimana membekali diri,” paparnya.
Yang kedua, penyiapan bahan-bahan katekese untuk masing-masing kelompok usia baik usia dini (PIUD), anak (PIA), remaja (PIR), orang muda (PIOM), orang dewasa (PIOD), usia lanjut (PIUL). “Untuk yang PIUD dan PIUL rasa-rasanya kita tidak perlu khawatir karena pembinaan orang-orang dewasa yang mapan yang selalu akan mencari Tuhan. Sementara yang PIA, yang PIR dan PIOM, dan PIOM itu yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Saya sangat berharap masing-masing kevikepan membentuk tim-tim yang mempersiapkan bahan katekese secara berkesinambungan ini. Ada benang merahnya, yang selalu terulang namun semakin mendalam, semakin mendalam dan arahnya semakin dewasa, semakin diarahkan untuk membawa iman ke tengah masyarakat, lebih aplikasi hidup di tengah masyarakat. Sementara semakin muda mungkin sampai ke tahapan pemahaman, pengertian. Ini kurang lebih arahnya,” tuturnya.
Mgr Rubi mengapresiasi paroki-paroki yang telah membuat program FIBB. “Saya senang karena beberapa Paroki bahkan sudah mencoba membuatnya. Ini bisa dibagikan kepada Paroki yang lain. Mungkin kevikepan juga bisa membentuk tim-tim khusus, maka tolong Romo-romo Vikep untuk memonitor hal ini, mandhegani hal ini supaya program FIBB tetap bisa jalan terus,” pesannya.
Lebih lanjut, Mgr Rubi juga menekankan perlunya pendekatan katekese yang membumi, yang menyentuh hal-hal yang praktis, yang dialami sehingga menarik. “Inilah salah satu tantangan yang tidak mudah, namun kalau kita coba, lama-kelamaan kita akan menjadi semakin terampil. Kemasannya pun juga sedapat mungkin memanfaatkan teknologi,” katanya. Hal ini penting terlebih, orang zaman sekarang ini tidak tahan dengan tontonan dan bacaan-bacaan yang panjang, namun senang dengan video-video singkat dan itu bisa diunggah dalam berbagai macam aplikasi atau sarana.
“Ada Facebook, ada Instagram, ada Tiktok. Tiga aplikasi yang sangat diminati oleh masyarakat kita, kita manfaatkan untuk pewartaan. Kita manfaatkan untuk pembinaan. Kita gerakkan orang-orang muda kita untuk membuat video-video singkat yang isinya untuk sharing pengalaman iman yang meneguhkan. Maka, orang-orang muda jangan takut untuk memanfaatkan itu semua mengenai isi konten yang bisa diunggah. Ada banyak yang bisa dicari referensinya. Entah dari dokumen-dokumen maupun bahkan juga dari cerita-cerita orang atau pengalaman sendiri,” katanya.
Politik
Bersamaan dengan kepemimpinan baru di Indonesia, Mgr Rubi mengajak Gereja untuk ikut berdinamika dalam derap bangsa kita ini, supaya Gereja Katolik tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara dan ikut ambil bagian berkontribusi untuk kemajuan bangsa kita ini. “Kita dukung program-program pemerintah yang baik terkait dengan Indonesia maju, Indonesia Emas. Ini sinkron dengan cita-cita kita, cita-cita RIKAS yakni peradaban kasih di Indonesia yang semakin sejahtera, bermartabat dan beriman,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengajak untuk menyiapkan kader-kader secara terprogram untuk legislatif dan pimpinan daerah di masa mendatang. “Saya mengamati penyiapan-penyiapan masih sifatnya sporadis dan dadakan karena akan ada Pilpres dan Pilkada. Kiranya perlu dikembangkan bagaimana nanti PK3, UPP Advokasi dan Kemasyarakatan bekerja bersama untuk menyiapkan orang-orang kita ini supaya mereka menjadi kader-kader untuk legislatif yang handal. Syukur-syukur menjadi pemimpin-pemimpin daerah yang bisa diharapkan,” katanya.