25 Tahun Wafat Romo Mangunwijaya: Guru Bangsa, Guru Kemanusiaan, dan Guru Iman

Dua puluh lima tahun silam, tepatnya 10 Februari 1999, Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr wafat karena serangan jantung usai menyampaikan ceramah dalam sebuah seminar di Jakarta. Banyak orang merasa kehilangan akan sosok yang sangat dicintainya. Selain dikenal sebagai pembela kemanusiaan, ia juga dikenal sebagai budayawan, sastrawan, arsitek, pendidik maupun tokoh dialog lintas agama. Ia dekat dengan orang-orang kecil seperti masyarakat di sekitar Kali Code, Kedungombo maupun Grigak. Ketika ia wafat, masyarakat pun hadir untuk mengantar kepulangan sosok yang sangat dicintainya itu.

“Saya sangat kagum sekali karena rumah ini, kompleks ini, kampus ini sungguh-sungguh penuh sesak dengan banyak orang lintas agama. Luar biasa. Bahkan tidak hanya satu hari, hari-hari berikutnya masih, makam itu penuh dengan banyak orang yang berziarah atau berdoa di makam. Itulah saat Romo Mangunwijaya dimakamkan di kompleks seminari tinggi ini. Begitu banyak orang yang datang,” demikian kesaksian Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko dalam homili ekaristi Peringatan 25 Tahun Wafat Romo Mangunwijaya: Guru Bangsa, Guru Kemanusiaan, Guru Iman

. “Banyak sekali pokoknya. Banyak sekali. Dan macam-macam yang hadir ya, dari pemerintahan, dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, sampai masyarakat sederhana. Semua tumplek blek (tumpah ruah, Red.) di tempat ini, di kompleks ini untuk mengantar kepulangan Romo Mangun sowan ing Ngarsa Dalem Gusti (menghadap Tuhan, Red.). Semua ingin menyatakan cintanya, menyatakan perhatiannya dan sungguh-sungguh mengaguminya,” sambungnya.

Menurut Mgr Rubi, banyak orang datang mengantar kepergiannya karena Romo Mangun telah memberikan banyak hal kepada masyarakat. “Dan kita tahu kiprah Romo Mangun sangat luar biasa. Entah dalam bidang arsitektur, entah dalam bidang pendidikan, dalam bidang kemanusiaan, dalam bidang keadilan, pemerintahan, macam-macam dia kerjakan atau dia libati, dan semuanya untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan umat manusia, khususnya orang-orang yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Inilah kesan pertama yang saya temukan dalam diri Romo Mangun. Luar biasa,” tandasnya.

Meski Romo Mangun sudah berpulang 25 tahun yang lalu, Mgr Rubi melihat, spirit Romo Mangun masih dihidupi sampai saat ini dengan berbagai karya yang pernah ia rintis. “Spiritnya, semangatnya masih hidup sampai sekarang ini. Dan bahkan karya-karyanya pun juga masih diteruskan sampai detik hari ini. Sangat banyak yang ditinggalkan. Sangat banyak yang diwariskan kepada kita semua. Dan itulah yang kita coba kembangkan dari waktu ke waktu. Kita lestarikan karena memang sungguh-sungguh mempunyai keutamaan, merupakan keutamaan yang sangat bagus untuk dilanggengkan dalam rangka baik sebagai orang beriman, sebagai anak bangsa, maupun juga sebagai orang yang peduli pada kemanusiaan,” imbuhnya.

Bagi Mgr Rubi, Romo Mangun adalah orang beriman yang mencoba untuk mewujudkan imannya secara nyata dalam perbuatan, “dalam tingkah laku yang nyata, yakni kepedulian kepada pada orang-orang yang membutuhkan perhatian, khususnya yang sederhana, yang tak mempunyai kekuatan, yang tak mempunyai daya berhadapan dengan penguasa, berhadapan dengan masyarakat yang kuat. Romo Mangun hadir di sana dan memperjuangkan kehidupan mereka semua”.

Mgr Rubi pun mengajak umat untuk meneladan Romo Mangun yang melakukan semua karya itu bersumber pada Yesus sendiri. “Inilah perjuangan yang tak bakal kunjung henti selama kita mengikut Yesus, kita ingin mewujudkan iman dalam keseharian secara nyata yakni lewat karya-karya baik kita. Maka, seperti yang dikatakan Yesus hari ini atau diteladankan Yesus hari ini, ketika Dia melihat orang banyak yang kelaparan, 3 hari mengikuti tanpa membawa makanan lagi, pasti akan kelaparan. Yesus takut kalau mereka sampai jatuh pingsan karena kelaparan, lalu bergerak, bertindak yakni membagikan perhatian dengan makanan secukupnya untuk mereka. Ini menjadi salah satu simbolisasi ajakan untuk kita semua. Ayo, kita wujudkan iman kita secara nyata, sebagaimana diteladankan Romo Mangun, iman menjadi nyata, menjadi konkret karena hanya dengan demikian, iman menjadi hidup. Tanpa itu, iman kita akan menjadi mati, omong kosong. Romo Mangun telah memberi contoh yang sangat konkret sekali,” ungkapnya.

Menurut Mgr Rubi, perjuangan Romo Mangun sebagai orang beriman dengan menjadi imam tidak hanya berkiprah di seputar altar, namun terjun ke tengah masyarakat, mencari dan menyelamatkan siapapun yang perlu dibantu. “Dan nyatanya itu semua dikenang sampai sekarang. Dikenang dalam arti bukan hanya dalam pikiran. Namun juga dikenang dalam perbuatan yakni karya dan diteruskan hingga saat ini. Karena itu, marilah spirit, semangat Romo Mangun kita hadirkan terus-menerus dalam kehidupan kita dengan selalu hidup sesuai dengan keteladanannya yakni memberi perhatian kepada orang-orang kecil, orang-orang miskin, tersingkir dan difabel, membela kebenaran, membela keadilan sampai sekuat tenaga, dan tidak pernah menjadi takut kalau kita ada bersama dengan Tuhan. Semoga keteladanan Romo Mangun senantiasa menguatkan kita, menguatkan perjuangan kita sampai akhir nanti,” kata Mgr Rubi.

Usai perayaan ekaristi, acara dilanjutkan dengan sarasehan dengan menghadirkan narasumber Sri Wahyaningsih, pengasuh Sanggar Anak Alam dan Romo Martinus Joko Lelono, Pr, penulis buku ‘Gelora Hati Romo Mangun’.

Menurut Sri Wahyaningsih, Romo Mangun yang dikenalnya sejak 1983 di Kali Code, memaknai pemimpin sebagai pelayan. “Bagaimana menjadi pelayan yang baik itu mesti mengenal, mengenal yang dilayani gitu ya. Jadi kalau gembala ya mengenal domba-dombanya,” kata perempuan yang biasa disapa Wahya itu. Bagi Romo Mangun, kata Wahya, pemimpin harus berbaur, harus paham, harus tahu sehingga apa yang dilakukan itu betul-betul berorientasi untuk kemanusiaan yang adil dan beradab.

Romo Mangun, menurutnya, juga seorang yang sangat meyakini bahwa pendidikan menjadi ujung tombak dari semua perubahan. Namun sayangnya, pendidikan waktu itu terjebak pada pendidikan yang birokratis. “Jadi bukan pendidikan tentang kehidupan yang memanusiakan manusia,” kata Wahya.

Terkait dengan pendidikan yang digeluti Romo Mangun, Wahya menuturkan kalau Romo Mangun pernah berpendapat bahwa sesungguhnya yang jadi guru adalah anak itu sendiri. “Makanya, Romo selalu bilang anak adalah mahaguru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya. Biarkan mereka tumbuh dan berkembang semekar-mekarnya. Nah, artinya apa? Sebetulnya artinya, ya guru itu sebenarnya fasilitator gitu ya. Karena yang mahaguru itu adalah anak itu sendiri gitu. Nah belajar itu harus keluar dari keinginannya, dari hatinya,” ujar Wahya.

Wahya yang prihatin dan mencintai dunia pendidikan pun mengejawantahkan pemikiran Romo Mangun dalam sekolah yang didirikannya pada tahun 1988. “Kami menggunakan kurikulum yang kami desain sendiri. Jadi setiap anak itu boleh memilih, silakan kamu belajar melalui apa yang kamu sukai. Dan kemudian ada empat pilar yang melandasi kami itu: pangan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial budaya, karena ini menurut kami adalah masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan,” jelas Wahya. Sanggar Anak Alam sekarang mendidik anak-anak dari jenjang PAUD sampai SMA.

Sedangkan Romo Joko Lelono melihat Romo Mangun sebagai orang yang tidak pernah berhenti memuliakan Tuhan dan membantu sesama. “Hatinya itu nggak berhenti-berhenti ya, mencari cara untuk memuliakan Tuhan dan membantu sesama,” kata Romo Joko. Hal itu terlihat ketika Romo Mangun tidak hanya berkutat pada satu karya. Setelah dirasa cukup, Romo Mangun akan berganti projek pengabdiannya. “Bekerja di (Kali) Code itu sudah mulia sekali. Dia bisa saja dikenang hanya menjadi seorang yang di Code 6 tahun dan masih bisa terus karena orang-orang memuji dia. Tapi beliau berpindah, sudah waktunya untuk nyapih mereka. Dan akhirnya berpindah di Grigak. Di Grigak kenal Kedungombo, berpindah di Kedungombo,” kata Romo Joko. Seterusnya Romo pun selalu mencari jalan baru.

Romo Mangun yang waktu mudanya adalah anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar, menurut Romo Joko, sebenarnya bercita-cita akan menikah, hidup sederhana, pergi berdua malam Minggu naik Vespa. Namun suatu ketika ia terkesan dengan pidato Mayor Isman yang menjadi komandannya yang mengatakan, “Saudara-saudara, saya tidak menghendaki saudara menyanjung kami sebagai pahlawan. Kami bukan pahlawan. Kami sebetulnya tergolong penjahat. Kami sudah membunuh orang, merampok, membakar rumah. Kami masih muda tapi tangan kami sudah berlumuran darah. Memang semua itu kami lakukan demi kemerdekaan Indonesia, tetapi segala yang berhubungan dengan pembunuhan telah kami lakukan. Kalau saudara-saudara ingin menolong kami, para pemuda yang habis gerilya, jangan dengan cara ini. Tapi bimbinglah kami agar kami menjadi orang biasa di tengah masyarakat untuk membangun Indonesia yang sudah merdeka ini.” Pidato itu membuat Romo Mangun gelisah, ia pun berpikir harus membalas budi orang desa, orang kecil karena merekalah yang banyak berperan dalam menyelamatkan hidup para tentara. Untuk itu, ia membalas budi atau membayar hutang kepada rakyat dengan memilih menjadi imam.

“Semua kemudian tidak bermakna karena ya pilihan yang tersedia bagi beliau untuk membayar hutang kepada rakyat adalah menjadi seorang imam. Dan itulah pilihan. Yang kemudian menariknya lagi bagi orang Katolik, menjadi imam itu panggilan. Tapi bagi beliau, panggilan itu harus dimaknai terus-menerus menjadi panggilan di dalam panggilan,” kata Romo Joko.

Ketika jadi imam, menurut Romo Joko, Romo Mangun benar-benar luar biasa dalam mengabdikan diri bagi orang lain.

Terkait dengan pendidikan yang dipelajari dari Romo Mangun, Romo Joko melihat pentingnya proses refleksi. Proses refleksi, menurutnya, seringkali hilang dari proses pendidikan, jatuh pada hafalan dan penyamaan atau penyeragaman.

“Padahal proses refleksi itu mengingatkan kita bahwa hidup itu masing-masing. Dan proses merefleksikan itu membantu kita untuk menemukan ruang-ruang pribadi dalam menyatakan diri di tengah-tengah hidup bersama,” katanya.

Selain ekaristi, rangkaian peringatan 25 Tahun Wafat Romo Mangunwijaya juga akan diisi dengan rekoleksi spiritualitas Romo Mangun dan penulisan buku. Untuk mengenalkan Romo Mangun pada anak-anak, peringatan itu juga diisi dengan serangkaian lomba seperti melukis dan mewarnai. Sedangkan untuk OMK diadakan lomba menulis puisi dan video pendek.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *