Saudara dan saudari terkasih!
“Hendaklah Keadilan dan Perdamaian Mengalir” adalah tema Musim Ciptaan ekumenis tahun ini, yang diilhami oleh kata-kata Nabi Amos: “Hendaklah keadilan bergulung-gulung seperti sungai, dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (5:24).
Kiasan menggugah yang digunakan oleh Nabi Amos berbicara kepada kita tentang apa yang diinginkan Allah, yakni bahwa keadilan berdaulat. Hal itu sama pentingnya bagi kehidupan kita sebagai anak-anak Allah yang dibuat menurut gambar-Nya, seperti air penting bagi kelangsungan hidup fisik kita. Keadilan ini harus mengalir ke mana pun dibutuhkan. Allah ingin setiap orang berusaha untuk adil dalam setiap situasi, untuk hidup sesuai dengan hukum-Nya dan dengan demikian memungkinkan kehidupan berkembang. Ketika kita “mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya” (Mat 6:33), menjaga hubungan yang benar dengan Allah, manusia, dan alam, maka keadilan dan perdamaian dapat bergulung-gulung seperti sungai air bersih yang tidak pernah berhenti, dan memelihara umat manusia dan semua makhluk.
Di saat kita membenamkan diri dalam alam ciptaan, kita bisa merasakan detak jantung keibuan bumi. Sama seperti jantung bayi dalam kandungan berdetak selaras dengan jantung ibunya, demikian pula untuk tumbuh sebagai manusia, kita perlu menyelaraskan ritme kehidupan kita sendiri dengan irama ciptaan, yang memberi kita kehidupan.
Selama Musim Ciptaan ini, marilah kita memikirkan detak jantung itu: detak jantung kita sendiri dan detak jantung ibu dan nenek moyang kita, detak jantung alam ciptaan dan detak jantung Allah, yang saat ini tidak berdetak secara harmonis; tidak diselaraskan dalam keadilan dan perdamaian. Terlalu banyak saudara dan saudari kita yang dihalangi minum dari sungai besar itu. Mari kita mengindahkan panggilan kita untuk mendukung para korban ketidakadilan lingkungan dan iklim, dan mengakhiri penyerbuan kita yang tidak masuk akal terhadap alam ciptaan.
Dampak dari penyerbuan ini dapat dilihat dari banyaknya sungai yang mengering. Benediktus XVI pernah mengamati bahwa: “gurun-gurun lahiriah di dunia sedang meluas, karena gurun batiniah telah begitu meluas”. Keserakahan konsumeris, yang dipicu oleh hati yang mementingkan diri sendiri, mengganggu siklus air planet ini. Penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terkendali dan perusakan hutan mendorong suhu menjadi semakin tinggi dan menyebabkan kekeringan serius. Kekurangan air yang mengkhawatirkan semakin berdampak pada masyarakat pedesaan kecil dan kota-kota besar. Selain itu, industri yang ibarat predator menguras dan mencemari sumber air tawar kita melalui praktik ekstrem ekstraksi minyak dan gas, proyek penambangan besar-besaran yang tidak terkendali, dan peternakan hewan yang massal. “Saudari Air”, dalam kata-kata Santo Fransiskus dari Assisi, dijarah dan diubah menjadi “komoditas yang tunduk pada hukum pasar” (Laudato Si’, 30).
Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim telah menyatakan bahwa harus bertindak sekarang dengan urgensi yang lebih besar agar kita tidak akan melewatkan kesempatan kita untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan dan adil. Kita bisa dan kita harus mencegah yang terburuk terjadi. “Sungguh, banyak yang dapat dilakukan” (ibid., 180), asalkan kita bersatu seperti begitu banyak batang air, kali, dan anak sungai, yang akhirnya menyatu menjadi sungai besar untuk mengairi kehidupan planet indah kita dan kehidupan seluruh umat manusia untuk generasi-generasi mendatang . Jadi mari kita bergandengan tangan dan mengambil langkah berani untuk “membiarkan keadilan dan perdamaian mengalir” di seluruh dunia kita.
Bagaimana kita dapat berkontribusi pada sungai besar keadilan dan perdamaian di Musim Ciptaan ini? Apa yang dapat kita, khususnya sebagai komunitas Kristiani, lakukan untuk memulihkan rumah kita bersama agar dapat dipenuhi kembali dengan kehidupan? Yang perlu kita lakukan ialah dengan tegas mengubah hati kita, gaya hidup kita, dan kebijakan publik yang mengatur masyarakat kita.
Pertama, mari kita menyatu menjadi sungai besar dengan mengubah hati kita. Ini penting agar transformasi lain akan terjadi; itulah “pertobatan ekologis” yang didorong oleh Santo Yohanes Paulus II agar kita membarui hubungan kita dengan ciptaan sehingga kita tidak lagi melihatnya sebagai objek untuk dieksploitasi tetapi menghargainya sebagai hadiah suci dari Pencipta kita. Selanjutnya, kita harus menyadari bahwa pendekatan integral untuk menghormati lingkungan melibatkan empat hubungan: dengan Allah, dengan saudara dan saudari kita hari ini dan besok, dengan seluruh alam, dan dengan diri kita sendiri.
Mengenai yang pertama dari keempat hubungan ini, Paus Benediktus XVI berbicara tentang pentingnya dan perlunya kita mengakui bahwa penciptaan dan penebusan tidak dapat dipisahkan: “Penebus adalah Sang Pencipta dan jika kita tidak mewartakan Allah dalam keagungan-Nya yang penuh – sebagai Pencipta dan sebagai Penebus – kita juga mengurangi nilai penebusan”. Penciptaan merujuk baik pada tindakan Allah yang misterius dan luar biasa dalam menciptakan planet dan seluruh alam semesta yang agung dan indah ini dari ketiadaan maupun pada buah-buah selanjutnya tindakan itu, yang kita alami sebagai anugerah yang tidak ada habisnya. Pada saat liturgi dan doa pribadi di “katedral agung alam ciptaan”, marilah kita mengenang Seniman agung yang menciptakannya demikian indah, dan merenungkan misteri kebijakan-Nya yang penuh kasih untuk menciptakan dunia.
Kedua, mari kita memperbesar aliran sungai yang dahsyat ini dengan mengubah gaya hidup kita. Berawal dari kekaguman yang penuh syukur atas Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, marilah kita bertobat dari “dosa-dosa ekologis” kita, seperti yang didesak oleh saudaraku, Patriark Ekumenis Bartholomeus. Dosa-dosa itu merugikan dunia alam dan sesama manusia. Dengan pertolongan rahmat Allah, marilah kita mengenakan gaya hidup yang mengurangi pemborosan dan konsumsi yang tidak perlu, terutama di mana proses-proses produksinya merusakkan dan tidak berkelanjutan. Marilah kita berhati-hati dalam kebiasaan dan ketetapan ekonomi kita sehingga semua saudara-saudari kita dapat berkembang di mana pun mereka berada, juga generasi mendatang. Mari kita bekerja sama dengan karya ciptaan Allah yang berkelanjutan melalui pilihan-pilihan positif: menggunakan sumber-sumber daya secara wajar dan dengan keugaharian yang penuh sukacita, memilah dan mendaur ulang limbah, dan lebih banyak menggunakan produk dan layanan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.
Terakhir, agar sungai yang besar terus mengalir, kita harus mengubah kebijakan publik yang mengatur masyarakat kita dan membentuk kehidupan kaum muda hari ini dan besok. Politik ekonomi yang mempromosikan kekayaan yang memalukan bagi segelintir orang yang memiliki hak-hak khusus dan mengakibatkan kemerosotan bagi banyak orang lainnya, berarti kesudahan perdamaian dan keadilan. Jelaslah bahwa negara-negara kaya telah menanggung “utang ekologis” yang harus dibayar (bdk. Laudato Si’, 51). Para pemimpin dunia yang akan berkumpul untuk KTT COP28 di Dubai dari 30 November hingga 12 Desember 2023 harus mendengarkan hasil penelitian ilmiah dan menetapkan aturan transisi yang cepat dan adil untuk mengakhiri era bahan bakar fosil. Menurut komitmen yang dibuat dalam Perjanjian Paris untuk menahan pemanasan global, tidak masuk akal untuk mengizinkan eksplorasi lanjutan dan perluasan infrastruktur bahan bakar fosil. Mari kita angkat suara untuk menghentikan ketidakadilan terhadap orang miskin dan anak-anak kita, yang akan menanggung dampak terburuk dari perubahan iklim. Saya mengimbau semua orang yang berkehendak baik untuk menyelaraskan tindakan-tindakan mereka dengan perspektif terhadap masyarakat dan alam ini.
Perspektif sejajar lainnya adalah berkaitan dengan komitmen Gereja Katolik terhadap sinodalitas. Tahun ini, penutupan Musim Ciptaan pada 4 Oktober, pesta Santo Fransiskus dari Assisi, akan bertepatan dengan pembukaan Sidang Sinode tentang Sinodalitas. Seperti sungai di alam, yang dialiri oleh banyak anak sungai kecil dan batang air yang lebih besar, proses sinode yang telah dimulai pada bulan Oktober 2021 mengundang semua orang yang mengambil bagian di tingkat pribadi atau komunitas, untuk bersatu dalam sungai refleksi dan pembaruan yang semarak. Seluruh Umat Allah diundang untuk memasuki sebuah perjalanan dialog sinodal dan pertobatan.
Seperti daerah aliran sungai dengan banyak anak sungainya yang kecil dan besar, demikian juga Gereja adalah suatu persekutuan Gereja-gereja lokal yang tak terhitung banyaknya, komunitas-komunitas religius dan perkumpulan-perkumpulan yang menimba dari perairan yang sama. Setiap sumber menambahkan kontribusinya yang unik dan tak tergantikan, hingga semuanya mengalir bersama ke dalam lautan luas belas kasih Allah. Sama seperti sungai adalah sumber kehidupan bagi daerah di sekitarnya, Gereja sinodal kita harus menjadi sumber kehidupan bagi rumah kita bersama dan semua penghuninya. Seperti sungai memberi kehidupan bagi semua jenis kehidupan hewan dan tumbuhan, dengan cara yang sama Gereja sinodal harus memberikan kehidupan dengan menaburkan keadilan dan perdamaian di setiap tempat yang dijangkaunya.
Di Laut Galilea Yesus membawa kesembuhan dan penghiburan bagi banyak orang dan menyerukan “revolusi cinta kasih.” Lautan dan sungai kita juga merupakan tempat penyembuhan, penghiburan dan kesatuan kasih, tempat-tempat yang “mengingatkan kita bahwa persaudaraan itu sungguh-sungguh jika menyatukan mereka yang berjauhan. Pesan persatuan yang diturunkan surga ke bumi tidak takut akan perbedaan, tetapi mengajak kita untuk bersatu dalam persekutuan dengan perbedaan-perbedaan, untuk bersama-sama mulai kembali dari awal, karena kita semua adalah peziarah di tengah perjalanan”.
Di Musim Ciptaan ini, sebagai pengikut Kristus dalam perjalanan sinode kita bersama, marilah kita hidup, bekerja, dan berdoa agar rumah kita bersama akan dipenuhi kembali dengan kehidupan. Semoga Roh Kudus sekali lagi melayang di atas pemukaan air dan membimbing upaya kita untuk “memperbarui muka bumi” (bdk. Mzm 104:30).
Roma, Santo Yohanes Lateran, 13 Mei 2023
Sumber: https://seasonofcreation.org/resources/ (di beberapa alinea sedikit dipersingkat bila isinya kurang kita kenal)
Diterjemahkan oleh Martin Harun, OFM