
Bali selalu menjadi magnet untuk dikunjungi. Bali dikenal dengan berbagai julukan seperti Pulau Seribu Pura, Pulau Firdaus, Pulau Dewata, Pulau Kedamaian, Pulau Toleransi. Dan Bali bertambah satu lagi julukan yaitu sebagai Pulau Cinta, karena banyak pasangan baik nasional maupun internasional senang menikah di Pulau Bali. Demikian Uskup Keuskupan Denpasar Mgr Sylverster San Tungga mengawali sambutannya dalam acara pembukaan Pertemuan Nasional Komisi Komunikasi Sosial di Kuta, Denpasar, Bali, 22 Agustus 2022.
“Tetapi perlu diketahui sejak tahun 2011 kami sudah mengeluarkan surat keputusan, pasangan Katolik yang menikah di Keuskupan Denpasar harus dilaksanakan di gereja. Dilarang menikah di hotel, di vila, di tepi pantai, di tepi kolam, di dalam laut dan sebagainya. Kalau mau menikah harus di gereja,” tegasnya.
Menurutnya, berbagai julukan bagi Pulau Bali memberi kesan positif bagi masyarakat Bali yang memang cinta damai dan menjunjung toleransi. “Bali yang terkenal dengan keindahan alamnya dan kental dengan nuansa budayanya menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis domestik dan turis mancanegara,” katanya. Banyak pertemuan berskala nasional maupun internasional dilakukan di Bali. Demikian juga acara-acara gerejawi kerap diadakan di Bali. Baru-baru ini, menurutnya, Komisi PSE KWI dan Biro Nasional KKI juga menyelenggarakan rapat pleno atau pernas di Bali.
“Saya menyambut gembira kegiatan Rapat Pleno Komisi Komsos KWI 2022 yang diselenggarakan di Pulau Bali. Dengan demikian Bali mulai ada tanda-tanda kehidupan, yang 2 tahun terakhir ini tertidur nyenyak karena Covid-19. Masyarakat Bali yang menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor pariwisata sungguh merasakan dampak akibat pandemi Covid ini yang berkepanjangan. Kita bersyukur bahwa badai pandemi sudah semakin terkendali. Boleh dikatakan kita sekarang memasuki fase endemi, sehingga kehidupan kita boleh berjalan normal kembali. Tetapi kita tetap harus berhati-hati sekalipun sudah ada pelonggaran, misalnya dalam penggunaan masker. Jika kita merasa aman menggunakan masker, kita tetap bermasker. Berhati-hati dan berjaga-jaga tentu akan lebih baik,” katanya kepada para peserta rapat pleno.
Terkait dengan tema “Berjalan Bersama Di Era Disrupsi Komunikasi Sosial” yang didalami para peserta pertemuan, Mgr San menegaskan, saat ini kita hidup dalam era modern dan era globalisasi. “Salah satunya ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi yang serba canggih dan digital termasuk teknologi komunikasi dan informasi,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut sangat mempengaruhi perilaku kehidupan manusia baik pola pikir, perilaku dan gaya hidup. “Harus diakui bahwa perkembangan teknologi termasuk teknologi informasi, internet, telepon seluler, media elektronik lainnya, media online, media sosial yang berkembang sangat pesat ini memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan seperti kemudahan dalam mengakses informasi dan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dan belahan dunia. Serta menciptakan sistem kerja yang efektif dan efisien,” katanya.
Mgr San mengajak untuk bersyukur. Canggihnya teknologi komunikasi menjadi solusi jitu di masa pandemi. “Kita bisa melaksanakan ibadat misa online, sekolah online, rapat online, seminar online dan sebagainya. Kita bisa bayangkan jika tidak ada fasilitas ini apa yang akan terjadi di kehidupan manusia selama masa pandemi yang berkepanjangan itu? Kita tidak bisa berbuat banyak,” katanya.
Dampak negatif
Meski demikian, Mgr San menyadari, canggihnya teknologi komunikasi juga mempunyai dampak negatif yang dahsyat. “Munculnya beraneka ragam media sosial dan berbagai aplikasi online seolah-olah meninabobokan manusia untuk terus berselancar di dunia maya. Di media sosial, orang bisa menulis apa saja yang dia mau dan dia pikirkan tanpa peduli yang diupload itu menginspirasi dan bermanfaat bagi orang lain atau justru menimbulkan kegaduhan. Kekisruhan terjadi ketika orang bermedia sosial tidak secara cerdas dan bijaksana. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja menggunakan media sosial untuk menyebar berita bohong, ujaran kebencian, bullying, manipulasi, radikalisme, intoleransi dan memancing kekisruhan itu. Bahkan presiden juga jadi sasaran bullying yang sadis tanpa takut dengan undang-undang ITE,” katanya.
Mgr San juga menyampaikan, aplikasi-aplikasi yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari seperti dunia belanja, dunia kuliner, game, gaya hidup juga menjamur dan sangat menggiurkan. “Apa yang terjadi? Supermarket, minimarket, pasar-pasar tradisional, dapur bisa tergeser oleh aplikasi tersebut. Anak-anak juga gila dengan game online. Hal ini membuat manusia semakin berjiwa individualistis, hedonistis dan konsumeristis. Tanpa disadari orang berbelanja bukan karena kebutuhan tetapi hanya karena keinginan dan tergiur iklan yang bombastis. Penghasilan sebenarnya cukup untuk membiayai hidup, tetapi menjadi tidak cukup ketika harus membeli dan membiayai gaya hidup tersebut,” katanya.
Mgr San mengapresiasi Komsos KWI yang mengangkat tema “Berjalan Bersama di Era Disrupsi Komunikasi Sosial”. Menurutnya, era disrupsi adalah era di mana terjadinya perubahan secara masif yang mengubah sistem dan tatanan di segala aspek kehidupan manusia ke arah yang lebih baru. “Disrupsi sendiri utamanya disebabkan oleh adanya inovasi-inovasi dan kreativitas baru. Jadi, perubahan ini tidak mungkin kita hindari, melainkan harus kita hadapi dan sikapi secara cerdas dan bijaksana,” katanya.
Menurutnya, orang cerdas menyikapi perubahan sebagai peluang untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan sehingga bisa produktif menghasilkan karya-karya positif yang berguna untuk kemajuan diri, Gereja, masyarakat, dan bangsa ini.
“Kemajuan teknologi komunikasi juga menjadi peluang untuk karya menghasilkan uang. Orang cerdas akan menjadi tuan atas teknologi. Sedangkan orang bodoh atau tidak bijaksana akan menjadi hamba teknologi dan tergilas oleh perubahan itu sendiri. Mereka jadi korban perubahan dengan menjadi lebih individualistis, hedonistis, dan konsumeristis,” katanya.
Era disrupsi, menurut Mgr San, menantang Komisi Komsos sebagai pelaku komunikasi sosial untuk berkarya secara lebih aktual, kreatif, dan inovatif. Istimewanya untuk menunjang karir pewartaan kabar gembira dan evangelisasi melalui berbagai media mainstream maupun media online.
“Para pelaku Komunikasi Sosial dipanggil untuk memberikan pencerahan di era disrupsi komunikasi sosial demi nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai iman yang harus dipertahankan terus menerus apapun situasi perubahan itu. Zaman boleh berubah, namun nilai kehidupan dan nilai iman tidak boleh dikorbankan demi apapun,” katanya.
Ia juga berharap, Komisi Komsos KWI sebagai motor penggerak bagi komsos-komsos di Gereja lokal keuskupan mampu memberikan pencerahan, teristimewa dengan menjalankan tugas yang diemban oleh Gereja dari masa ke masa yaitu membangun persekutuan, meningkatkan partisipasi umat dan partisipasi di dalam bermisi. “Misi kita adalah keselamatan umat manusia di dunia ini dan di kehidupan setelah dunia ini,” imbuhnya.