HARI MINGGU BIASA XVIII
31 Juli 2022
Bacaan I : Pkh 1: 2; 2:21-23
Bacaan II : Kol 3: 1-5. 9-11
Bacaan Injil : Luk 12: 13-21
Menjadikan hidup bermutu
Saya ingin memulai renungan ini dengan apa yang diserukan oleh Bapa Suci Fransiskus melalui dokumen Evangelii Gaudium. “Hidup bertumbuh dengan dibagikan, dan menjadi lemah dalam pengasingan dan kenyamanan. Sesungguhnya, mereka yang paling beruntung adalah mereka yang mengesampingkan rasa aman dan menjadi bersemangat dengan perutusan mengomunikasikan hidup pada sesama… di sini kita menemukan hukum kenyataan yang mendalam: bahwa hidup tercapai dan menjadi matang sejauh ditawarkan sebagai pemberian kepada sesama”. Ini sungguh ungkapan paradoksal dengan keyakinan sebagian besar orang yang merasa bahwa hidup itu bermutu ketika kita bisa memiliki segala sesuatu untuk diri sendiri.
Saya menjadi sungguh malu ketika mengenangkan para pekerja rendahan yang dari ketiadaan memberikan apa yang mereka miliki untuk diberikan kepada keluarga, sahabat, maupun mereka yang lebih membutuhkan. Saya menyaksikan seorang tukang kayu yang bekerja keras di kota besar demi operasi anak angkatnya (yang dipelihara karena dibuang oleh orang tua kandungnya) dari cacat fisiknya. Seorang pekerja di sebuah warung yang selalu mengirimkan sebagian besar (ya, sebagian besar) dari upahnya yang tidak seberapa untuk membiayai sekolah keponakannya; atau seorang ibu asisten rumah tangga yang membanting tulang memeras keringat untuk kesejahteraan keluarganya di kampung. Mereka itulah yang diteguhkan oleh Bapa Suci sebagai pemilik hidup yang bermutu.
Saya menjadi semakin terpojok oleh Firman berikut: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan! Sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari kekayaan itu” (Luk 12: 15). Ya ya ya… ketamakan. Kita seringkali merasa khawatir akan nasib diri kita ketika kita tidak mempunyai apa-apa. Maka kecenderungannya adalah mengamankan diri dengan fasilitas fisik duniawi, berjuang mempunyai simpanan yang besar, mengamankan diri dengan relasi besar, mengurangi kecemasan akan nasib masa depan dengan berbagai asuransi. Dan kita tidak tahu lagi apa yang sesungguhnya membuat kita bahagia, yaitu memberi, berbagi. “Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu! Bagi siapakah nanti apa yang telah kau sediakan itu? Demikianlah jadinya dengan orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri, tetapi ia tidak kaya di hadapan Allah” (Luk 12: 20-21).
Tuhan, ajarilah kami berbagi.
Romo Agus Suryana Gunadi, Pr