On The 400th Anniversary of The Cannonization of St. Ignatius of Loyola

Injil memberitahu kita bahwa Yesus naik gunung “untuk berdoa” (ay. 28). Ini adalah kata kerja ketiga: berdoa. “Dan ketika dia sedang berdoa, raut wajahnya berubah, dan pakaiannya menjadi putih menyilaukan” (ay. 29). Perubahan yang lahir dari doa. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, bahkan setelah bertahun-tahun pelayanan, apa makna hari ini bagi kita, bagi saya, apakah untuk berdoa? Mungkin kekuatan kebiasaan atau ritual harian tertentu telah membuat kita berpikir bahwa doa tidak mengubah individu atau sejarah. Namun berdoa berarti mengubah kenyataan. Doa adalah misi aktif, uluran bantuan yang dilakukan dengan konsisten. Doa itu tidak jauh dari dunia ini, tetapi mengubah dunia. Berdoa adalah membawa detak jantung dari urusan saat ini ke hadirat Tuhan, sehingga pandangan-Nya akan bersinar pada lintasan hidup manusia. Apa artinya bagi kita untuk berdoa?

Menjadi hal yang baik bagi kita untuk bertanya pada diri sendiri apakah doa mengikutsertrakan kita dalam perubahan ini. Apakah doa itu memberi pencerahan baru kepada orang lain dan mengubah situasi mereka? Karena jika doa itu hidup, doa itu “melepaskan” kita dari dalam, menyalakan kembali api pengutusan kita, mengobarkan kembali sukacita kita, dan terus-menerus mendorong kita untuk membiarkan diri kita dijamah oleh permohonan semua orang yang menderita di dunia kita. Mari kita juga bertanya: bagaimana kita membawa perang saat ini ke dalam doa kita? Kita dapat melihat doa Santo Filipus Neri, yang memperluas hatinya dan membuatnya membuka pintunya bagi anak-anak jalanan Roma pada masanya. Atau Santo Isidorus, yang berdoa di ladang dan membawa pekerjaan pertaniannya ke dalam doanya.

Mengambil setiap hari secara baru panggilan pribadi kita dan sejarah komunitas kita; kemudian naik menuju tempat tinggi yang ditunjukkan Tuhan kepada kita; dan berdoa untuk mengubah dunia tempat kita berada saat ini.

Namun ada juga kata kerja keempat, yang muncul dalam ayat terakhir Injil hari ini: “Yesus tetap seorang diri” (ay. 36). Dia tetap tinggal, sementara segala sesuatu yang lain berlalu kecuali dari “kesaksian” Bapa: “Dengarkan dia” (ay. 35). Injil diakhiri dengan membawa kita kembali kepada apa yang penting. Kita sering tergoda, di Gereja dan di dunia, dalam kerohanian kita dan dalam masyarakat kita, untuk memberikan kepentingan utama kepada banyak kebutuhan yang bersifat sekunder. Merupakan godaan bagi kita setiap hari untuk menjadikan sejumlah kebutuhan sekunder sebagai yang utama. Singkatnya, kita berisiko berfokus pada kebiasaan dan tradisi yang membuat hati kita terpaku pada hal-hal yang berlalu dan membuat kita melupakan apa yang masih ada. Betapa pentingnya bagi kita untuk bekerja di hati kita, sehingga hati kita dapat membedakan antara hal-hal dari Allah yang masih ada, dan hal-hal duniawi yang sudah berlalu!

Saudara-saudari yang terkasih, semoga Bapa Suci Ignatius kita membantu kita melestarikan kearifan, warisan berharga kita, sebagai harta yang selalu dicurahkan pada Gereja dan dunia. Karena penegasan memampukan kita untuk “melihat kembali segala sesuatu di dalam Kristus”. Memang, kearifan sangat penting, sehingga, seperti yang ditulis Santo Petrus Faber, “kebaikan yang dapat dicapai, yang dipikirkan atau yang diorganisir, dapat dilakukan dengan semangat yang baik, bukan yang jahat” (lih. Memorial, Paris, 1959, n. 51). Amin.

Diterjemahkan oleh

Blasius Panditya

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *