
Unsur formatif dan hidup rohani ekologis
Pendidikan dan hidup rohani terkait dengan gerakan ekologis sudah saatnya sungguh-sungguh mendapat perhatian serius, karena banyak hal perlu diarahkan kembali dan manusia harus berubah. Manusia perlu juga menyadari asalnya bersama, perihal saling memiliki, dan suatu masa depan bagi semua.
Perubahan gaya hidup, berkat adanya kemampuan untuk bangkit melampaui dirinya, melampaui segala kondisi mental dan sosial yang dibenamkan padanya, sebagai sebuah tanggapan yang terus dibangkitkan oleh Allah dalam diri manusia, dan yang memungkinkan manusia tidak melupakan martabatnya. Peranan pendidikan dan pengolahan hidup rohani tentulah menjadi hal yang tidak bisa diabaikan dalam kaitannya dengan ini!
Perubahan gaya hidup bisa membawa tekanan sehat pada mereka yang memegang kekuasaan politik, ekonomi dan sosial. Mereka menjadi efektif dalam mengubah perilaku perusahaan, dengan memaksanya untuk mempertimbangkan dampak ekologis dan pola produksinya. Ketika kebiasaan masyarakat mempengaruhi keuntungan perusahaan, mereka ini dipaksa untuk berproduksi dengan cara lain. Inilah tanggungjawab sosial konsumen: “membeli selalu merupakan tindakan moral, lebih dari sekadar tindakan ekonomis” (hlm. 126, no. 206).
Paus mengingatkan bahwa manusia selalu bisa mengembangkan kemampuan baru untuk keluar dari diri sendiri menuju yang lain. “Sikap dasar melampaui diri dengan mendobrak keberpusatan dan keterkungkungan diri, adalah akar yang memungkinkan segenap perhatian diarahkan kepada orang lain dan lingkungan, dan yang menimbulkan tanggapan moral untuk memperhitungkan dampak setiap tindakan dan keputusan pribadi kita terhadap dunia sekitar kita” (hlm. 127, no. 208).
Pendidikan lingkungan hidup secara bertahap telah memperluas tujuannya, dari terfokus kepada informasi ilmiah (ekologi sebagai ilmu tentang bumi, rumah tempat tinggal manusia), peningkatan kesadaran dan pencegahan risiko untuk lingkungan, kepada kemampuan mengritisi “mitos” modernitas yang didasarkan pada cara berpikir utilitarian (individualisme, kemajuan tanpa batas, persaingan, konsumerisme, dan pasar tanpa aturan). Pendidikan itu juga membantu upaya pemulihan kembali pelbagai tingkat keseimbangan ekologis: di tingkat internal dengan dirinya sendiri, di tingkat sosial dengan orang lain, di tingkat alami dengan semua makhluk ciptaan, dan di tingkat spiritual dengan Allah (hlm. 128, n0. 210). “Pendidikan lingkungan hidup harus mempersiapkan kita untuk melakukan lompatan ke Misteri yang memberi etika lingkungan maknanya yang terdalam. Selain itu, para pendidik harus mampu mengembangkan jalur-jalur pedagogis bagi etika lingkungan, sehingga membantu orang secara efektif bertumbuh dalam solidaritas, tanggungjawab, dan perawatan penuh kasih” (hlm. 118, no. 210), juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam wujud tindakan-tindakan kecil! Hal ini sungguh akan berdampak positif bagi upaya pelestarian lingkungan hidup (contoh: menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, memilah sampah, memasak secukupnya, memperlakukan makhluk lain dengan baik, menggunakan alat transportasi umum atau satu kendaraan bersama beberapa orang lain, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak perlu). Pendidikan ekologis dapat terjadi dalam pelbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katekese, dan lain-lain.