‘Laudato Si’ dan  Aksi Penyelamatan Bumi

Krisis Ekologis: suatu persoalan kompleks

Beberapa elemen dari krisis ekologis dewasa ini mengungkapkan dengan jelas karakter iman dan moral. Di antara sekian banyak karakter iman dan moral yang ada, pada tempat pertama harus disebutkan penerapan begitu saja ilmu pengetahuan dan teknologi, secara khusus dalam kaitannya dengan eksploitasi atas sumber-sumber daya alam. Memang, di lain pihak, harus diakui bahwa banyak penemuan membawa kebaikan bagi umat manusia dan lingkungannya; hal-hal ini malahan mengungkapkan betapa luhur panggilan manusia untuk ambil bagian secara bertanggungjawab pada kegiatan penciptaan Allah di dunia. Akan tetapi tersimpul pula bahwa penerapan penemuan-penemuan tersebut di lingkungan industri, perkebunan, pertanian, pertambangan, pemanfaatan atau eksploitasi atas hutan, bahkan peternakan untuk jangka panjang menimbulkan efek-efek negatif. Hal tersebut secara kasar telah mengungkapkan bagaimana setiap intervensi terhadap suatu wilayah ekosistem tidak bisa mengabaikan pertimbangan konsekuensinya terhadap wilayah lain dan secara umum atas kesejahteraan generasi mendatang.

Penipisan gradual lapisan ozon dan konsekuensi “efek rumah kaca” telah mencapai dimensi kritis yang disebabkan oleh berkembangnya industri, perambahan hutan secara besar-besaran di seantero bumi baik untuk perkebunan maupun untuk kayu industri, konsentrasi urban dan pemakaian energi khususnya di kota-kota besar. Sampah-sampah industri, gas dari karburator, pemakaian beberapa jenis lemari es, kipas angin, dan lain-lainnya, ikut berpengaruh secara negatif terhadap atmosfer dan lingkungan hidup. Sekarang muncul pelbagai perubahan cuaca (global warming), iklim, dan atmosfer, yang efeknya bisa berupa gangguan kesehatan sampai pada kemungkinan tenggelamnya daerah-daerah rendah!

Bapa Suci dalam ensikliknya,  Laudato Si, dengan meminjam ide St. Fransiskus dari Assisi, mengatakan: “Saudari ini (=Bumi)  sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggungjawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan” (hlm. 5, no.2).

Akar manusiawi krisis ekologis menurut Bapa Suci ada dalam diri manusia itu sendiri, yakni ketidakbijaksanaan dan nafsu memanfaatkan ilmu pengetahuan secara tidak bertanggungjawab. Selain sebagai kreativits yang dimungkinkan oleh Allah untuk dilakukan oleh manusia, ilmu pengetahuan dan tekhnologi “memberikan kekuatan dahsyat “ kepada manusia.  Apalagi kalau dikaitkan dengan ekonomi dan politik. Kekuasaan itu semakin dahsyat, karena dengan itu manusia dapat memanipulasi segala sesuatu. Bapa Suci selanjutnya mengatakan, “…kemajuan besar teknologi (juga ilmu pengetahuan) belum disertai dengan pengembangan manusia dalam hal tanggungjawab, nilai-nilai, dan hati nurani…” dan  “manusia tidak seutuhnya otonom. Kebebasan manusia memudar ketika menyerahkan diri kepada kekuatan buta dorongan bawah sadar, kebutuhan langsung, keegoisan, dan kekerasan” (hlm 67, no. 105). Dalam konteks kehidupan kristiani, hal ini bisa dikategorikan hidup dan bertindak  di luar kesadaran iman dan moral!

Selain itu, akar masalah lainnya yang ada dalam diri manusia menurut Bapa Suci adalah “…cara manusia menerima teknologi dan perkembangannya menurut suatu paradigma yang seragam dengan hanya satu sudut pandang.” yang menggiring orang kepada upaya untuk memeras habis-habisan sumberdaya alam, karena adanya “kecenderungan, yang tidak disadari, untuk menetapkan metode dan tujuan teknosains menjadi paradigma pemahaman yang menentukan kehidupan individu dan cara kerja masyarakat”.  Hal ini selanjutnya akan “membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang-peluang di masyarakat ke arah kepentingan kelompok-kelompok berkuasa tertentu. Beberapa pilihan yang tampaknya hanya mengenai peralatan, dalam kenyataannya, adalah pilihan tentang corak kehidupan sosial yang ingin dikembangkan” (hlm 68-69, no 106-108). Paradigma teknokratis ini, menurut Paus juga cenderung mendominasi bidang ekonomi dan politik (hlm 98, no 109).

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *