Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
“Kisah ini terjadi di tahun seribu delapan ratusan. Kisah hidup seorang pria berusia 34 tahun dan seorang wanita berusia 26 tahun. Mereka berasal dari Prancis namun tinggal di tempat yang berbeda dan tidak saling mengenal. Awalnya mereka berdua meyakini bahwa mereka dipanggil untuk hidup membiara, namun keduanya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. Penolakkan itu tidak membuat kecewa tetapi menyadari bahwa kehidupan membiara bukanlah panggilan mereka. Panggilan mereka adalah panggilan untuk berkeluarga. Singkat cerita, Tuhan mempertemukan mereka dan mereka saling jatuh cinta. Ya memang sudah jodohnya, hanya dalam waktu tiga bulan masa perkenalan, mereka memutuskan untuk menikah. Mereka menjalani hidup berkeluarga yang biasa pada umumnya. Mereka juga mengalami pengalaman suka dan duka kehidupan. Kesulitan terbesar yang mereka alami adalah ketika terjadi perang di Prancis dan duka yang terbesar yang mereka alami adalah ketika mereka kehilangan empat dari sembilan anak mereka yang sangat mereka cintai karena sakit. Di tengah tantangan kehidupan, mereka tetap menanamkan nilai-nilai iman kristiani kepada anak-anak mereka. Bahkan ketika menjalankan bisnis kecil mereka, mereka tetap menerapkan prinsip iman kristiani.”
Ia lalu bertanya tentang keluarga siapa kisah yang telah ia sampaikan kepada kelompok dari beberapa keluarga yang sedang berziarah pertapaan. Mereka hanya terdiam dan saling memandang satu sama lain. Lalu ia menambahkan penjelasan bahwa pasangan suami istri tersebut berhasil mengantar ke lima putri mereka menjadi biarawati, bahkan menjadi orang kudus. Dengan penjelasan tambahan tersebut, seorang ibu memberikan jawaban bahwa kisah tersebut tentang orang tua St. Theresia Liseaux. Dengan senyum ia membenarkan dan memberitahu nama mereka adalah Louis Martin dan Zélie Martin. Pasangan tersebut membuktikan bahwa kehidupan keluarga dapat menjadi tempat bertumbuh dalam kekudusan. Berkat pernikahan mereka yang dihayati dengan kesucian dan ketaatan kepada Tuhan, Gereja mengangkat mereka menjadi orang kudus pelindung pernikahan dan pengasuhan anak.
Keluarga adalah sekolah pertama kehidupan kristiani, tempat anak-anak belajar tentang kasih Allah dan ajaran Kristus. Orang tua memiliki tugas suci untuk membimbing anak-anak mereka dalam iman, menanamkan dalam diri mereka rasa memiliki akan Allah dan Gereja-Nya, demikian Katekismus Gereja Katolik mengajarkan. Namun dalam realita, harus diakui tidak semudah membalikkan tangan tugas itu dilaksanakan. Keluarga zaman sekarang menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang sedang dan sudah sering dibicarakan adalah bagaimana keluarga, khususnya anak-anak dalam menggunakan alat-alat komunikasi berbasis teknologi. Hingga saat ini hal itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi para keluarga. Alat-alat komunikasi zaman sekarang selalu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membangun kehidupan manusia namun di sisi lain bisa menghancurkannya. Untuk itu, setiap orang tua harus memiliki sudut pandang yang tetap memprioritaskan perkembangan rohani bagi anak-anak dan diri mereka sendiri sebagai orang tua, misalnya selalu beri waktu untuk berdoa, pergi ke gereja, sekalipun perkembangan secara manusiawi diperlukan dalam menghadapi perkembangan zaman.
Keluarga zaman sekarang juga dihadapkan pada perjuangan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan yang memang dibutuhkan untuk penghasilan bagi kehidupan keluarga dan kehidupan keluarga itu sendiri. Bisa terjadi, para orang tua bekerja demi alasan untuk kehidupan keluarga, malah mengabaikan kehidupan keluarga karena sangat kurangnya relasi kasih dan perhatian dengan pasangan dan juga anak-anak sehingga mengaburkan arti sebuah tanggungjawab bagi keluarga, khususnya bagi anak-anak. Ini sebenarnya masalah yang sangat klasik tetapi tetap menjadi pekerjaan rumah yang harus dicari penyelesaiannya. Penyelesaian dengan berlandaskan nilai-nilai kristiani dalam sebuah keluarga, sehingga menemukan cara untuk menyelaraskan bekerja untuk keluarga dengan tanggung jawab untuk keluarga.
Dalam realita kehidupan ada kisah sedih yang terjadi dalam keluarga, misalnya, kisah perceraian karena masalah keuangan dan yang sering terjadi perceraian karena masalah perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangan atau oleh keduanya. Perceraian tersebut membuat luka bagi keluarga terutama bagi anak-anak. Anak-anak juga merasa ditinggalkan. Keluarga umat Gereja Katolik, harus menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah sakramen, dimana Allah hadir dan menjadikan setiap pernikahan menjadi pernikahan suci yang tidak terpisahkan. Untuk itu, setiap suami dan istri perlu menyadari betapa pentingnya komitmen dan pengorbanan serta pengampunan dalam relasi di dalam keluarga.
Selain kisah sedih, juga terjadi kisah sangat tragis dalam keluarga. Kisah pembunuhan yang dilakukan istri terhadap suami dan sebaliknya pembunuhan yang dilakukan suami kepada istrinya. Pembunuhan yang dilakukan seorang anak kepada ibu atau bapaknya dan sebaliknya pembunuhan yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Kisah pembunuhan itu terjadi karena seribu macam persoalan hidup yang mereka hadapi. Dan perlu kita ketahui kisah yang sangat tragis yang pernah terjadi di keluarga dan pertama kali dicatat adalah kisah pembunuhan yang dilakukan Kain kepada Habel adiknya. Persoalannya adalah Kain cemburu terhadap Habel. (Kej 4:1-16). Kisah-kisah tragis dalam keluarga menunjukkan betapa tragisnya dampak dosa terhadap keluarga. Namun kisah sedih dan kisah tragis dalam keluarga tidak akan pernah meniadakan persatuan pria dan wanita dalam pernikahan yang sudah Allah tetapkan sejak Adam dan Hawa, meski mereka juga mengalami kisah tragis yakni jatuh dalam dosa karena ketidaktaatan kepada Sang Pencipta mereka
Akhirnya Allah datang ke bumi ini dalam diri Bayi yang kudus di dalam keluarga di Nazaret. Allah bisa saja datang ke dunia ini sebagai seorang Raja Semesta Alam. Allah bisa saja datang ke bumi sebagai seorang Imam Agung Abadi. Namun hal itu tidak Ia lakukan. Ia lebih memilih datang ke bumi di dalam sebuah keluarga yang sederhana sebagai seorang Bayi Kudus yang lahir dari Perawan Maria yang bersuamikan Yusuf. Bayi Kudus itu dibesarkan dan dididik dalam keluarga tukang kayu. Dengan lahir sebagai seorang Bayi Kudus bernama Yesus di dalam sebuah keluarga, Allah menyatakan betapa pentingnya kehidupan keluarga bagi Allah dalam karya keselamatan-Nya bagi dunia. Dalam sebuah keluarga, Yesus dipersiapkan oleh Allah dalam misi penyelamatan dunia.
Kehadiran Allah di dalam keluarga tidak hanya terjadi di Keluarga Kudus Nazareth tetapi di setiap keluarga hingga saat ini. Secara khusus, dalam masa natal ini, setiap keluarga diingatkan akan kehadiran Allah di dalam keluarga. Sebagaimana Keluarga Kudus dari Nazareth menjadikan Yesus Kristus menjadi pusat kehidupan mereka, demikian juga setiap keluarga zaman ini menjadikan Yesus sebagai pusat kehidupan keluarga sehingga karya keselamatan Allah itu sungguh dialami oleh setiap keluarga.
…. Kemudian ia menceritakan kisahnya tentang sebuah keluarga dengan enam anak dalam usia remaja dan si bungsu berusia tujuh tahun. Mereka tinggal di rumah yang sederhana namun asri di sebuah pedesaan di Indonesia. Di tengah kesibukan kerja, pasangan suami istri itu menanamkan kebersamaan kepada anak-anak mereka, seperti doa bersama, makan bersama untuk menanamkan kebersamaan kasih dalam keluarga. Dan pagi itu mereka akan bersama-sama berjalan kaki berangkat ke gereja stasi mereka yang sederhana untuk merayakan misa natal. Merayakan kedatangan Allah yang datang untuk menyelamatkan setiap keluarga di bumi ini. Selamat Natal untuk setiap keluarga!
*Penulis adalah Rahib and Imam – Our Lady of Silence Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia.
