SAGKI V: Menjadi Gereja Sinodal Yang Misioner Untuk Perdamaian

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) V diselenggarakan di Ancol-Jakarta, 3-7 November 2025 dengan mengangkat tema “Berjalan Bersama Sebagai Peziarah Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal Yang Misioner Untuk Perdamaian.” Seperti yang disampaikan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, dalam siaran pers pada 7 November 2025, SAGKI V diikuti peserta dari 39 keuskupan termasuk Keuskupan TNI-Polri dan kelompok-kelompok kategorial termasuk ormas-ormas Katolik.

Menurutnya, SAGKI bukan sekadar rapat, pertemuan, perjumpaan ataupun sidang, tetapi suatu praktik bagaimana menghidupi Gereja. “Jadi kita menghidupi komunitas itulah yang dipentingkan, pengalaman komunitas kegerejaan selama 5 hari ini, di mana kita pada tahap awal itu mendengarkan masukan-masukan, paparan-paparan baik dari internal Gereja berkaitan dengan sejarah misi Gereja dan tugas Gereja apa dan yang kemudian disusul dengan masukan-masukan dari beberapa ahli berkaitan dengan banyak bidang termasuk adalah pengalaman berjalan bersama dari para tokoh agama,” katanya.

Menurut Mgr Anton, setelah mengungkapkan berbagai persoalan di tempat masing-masing, para peserta berdiskusi dan merumuskan berbagai persoalan yang dihimpun dalam beberapa fokus. Yang pertama adalah persoalan kejahatan manusia. “Ini ada banyak bidang. Kejahatan manusia ini termasuk penjualan-perdagangan orang ya, lalu (pelanggaran) hak asasi manusia,” ujarnya. Yang kedua, kerusakan lingkungan. Yang ketiga, masalah keadilan dan perdamaian. Yang keempat, masalah internal Gereja. “Yang menarik dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia V ini, saya boleh menyimpulkan 80% dari pembicaraan dan hasilnya nanti itu bukan berkaitan dengan internal Gereja, berkaitan dengan persoalan masyarakat dan kebangsaan. Maka di hari terakhirlah muncul itu juga berkaitan soal-soal internal Gereja. Itu baru di saat-saat terakhir. Sebetulnya karena terinspirasi dari perjalanan yang disebut dengan perjalanan misi dari Gereja itu sendiri,” terangnya.

Menurutnya, persoalan-persoalan tersebut memperlihatkan ketidakadaban publik. “Jadi keadaban publik yang merosot. Maka kita membutuhkan sorotan-sorotan dan fokus-fokus,” katanya. SAGKI menghasilkan dokumen tertulis yang kemudian bisa ditindaklanjuti oleh para peserta di keuskupan atau tempat masing-masing.

“Di balik dokumen tertulis ini kita lebih menekankan ada dokumen yang jauh lebih penting yaitu para peserta sendiri. Kita sebut sebagai a living document, dokumen masing-masing pribadi itu. Maka seluruh partisipan itu adalah the living document, dokumen yang hidup yang bisa membahasakan dan mewujudkan isi dari dokumen itu dalam praktik hidup sehari-hari di tempat masing-masing dengan bahasa, fungsi, dan posisi masing-masing,” kata Mgr Anton.

Sedangkan Romo Yohanes Aristanto, MSF dalam kesempatan yang sama menyampaikan, ada tiga kata kunci yang dibahas dalam perjalanan SAGKI yakni sinodal, misioner, dan perdamaian. Terkait dengan sinodal, lanjutnya, pertama-tama mau menggarisbawahi panggilan Gereja yang tidak hanya berjalan sendiri sebagai imam atau gembala, sebagai umat atau sebagai Gereja keseluruhan. “Tetapi unsur sinodal ini mau mengajak Gereja untuk membuka dan melibatkan setiap orang dari segala lapisan masyarakat termasuk menjangkau mereka yang jauh untuk ambil bagian dalam karya-karya kemanusiaan dan keadilan,” ujarnya.

Sedangkan untuk poin misioner, Romo Aris menyampaikan ada empat subjek misi yaitu anak muda, perempuan, orang lanjut usia, dan para difabel. “Semua ambil bagian dalam satu karya misi bersama sebagai kesatuan Gereja,” katanya.

Selanjutnya, Romo Aris juga menyampaikan 12 tema panggilan kenabian dan keterlibatan Gereja yang  begitu ramai didiskusikan dengan mendengarkan Roh Kudus. “Bukan semangat diskusi, juga bukan semangat untuk mencari kebenaran pribadi, tetapi semangat mendengarkan Roh Kudus,” kata Romo Aris. Dua belas tema tersebut adalah melawan pengabaian martabat manusia,  perlindungan anak, pendidikan Katolik, pelayanan kesehatan, advokasi hak atas tanah adat, mewartakan Injil di tengah ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan, menjadi komunitas profetis yang berani menyuarakan kebenaran, pastoral integral migran dan perantau, membawa damai dan rekonsiliasi di tengah konflik, merawat rumah kita bersama, membangun budaya perjumpaan lintas iman, dan pentingnya pembinaan (formatio) iman. Dari 12 tema tersebut, masing-masing diuraikan dalam 3 poin yakni kenyataan, harapan dan rekomendasi.

Sedangkan Karlina Supeli dalam kesempatan itu menyoroti subjek misi atau panggilan misioner perempuan. “Dan di sini memang secara khusus kemudian disebutkan bahwa dunia yang masih terluka oleh ketidaksetaraan ini baik di masyarakat maupun di dalam Gereja sendiri memanggil Gereja untuk sungguh-sungguh melibatkan perempuan sebagai subjek misi dan merekomendasikan untuk agar Gereja secara aktif mengundang, mengakui dan mengadvokasi peran perempuan dalam kehidupan dan misi Gereja dan memberikan ruang bagi suara dan kepemimpinan perempuan di berbagai bidang pelayanan dan pengambilan keputusan,” kata Karlina.

Mgr Pascalis Bruno Syukur, OFM dalam kesempatan itu mengatakan, SAGKI sebenarnya mau memperlihatkan kepada dunia bahwa Gereja Katolik khususnya Gereja Katolik Indonesia mau sungguh-sungguh terlibat dalam masalah-masalah kemanusiaan, masalah-masalah yang muncul di tengah kehidupan bangsa dan negara. “Dan itu terlihat dari pesan-pesan yang disampaikan, diskusi-diskusi yang disampaikan. Dan kita menyadari bahwa perjuangan Gereja sinodal, artinya perjuangan untuk membawa perdamaian itu tidak bisa dilaksanakan sendiri, tetapi harus kami jalankan dalam semangat sinodal, artinya dalam semangat berjalan bersama dengan pihak-pihak yang memang akan membantu juga untuk membangun bangsa dan negara dan membangun hidup dalam perdamaian. Maka dalam sidang ini juga ditegaskan agar Gereja membangun kerja sama dengan pemerintah, tentu disebut kolaborasi kritis. Artinya kita membangun kerja sama dengan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah-pemerintah daerah, tetapi dengan semangat kritis, tidak dalam artian ikut begitu saja,” kata Mgr Pascalis.

Menurutnya, Gereja tidak bisa berjuang sendiri. “Kami menyadari bahwa ya Gereja tidak bisa berjuang sendirian juga. Masih ada teman-teman lain yang beragama lain yang juga sesama warga Indonesia dan pasti juga berjuang untuk kehidupan bangsa dan negara lebih baik berdasarkan iman kepercayaannya masing-masing. Maka dalam konteks ini kita juga didorong untuk membangun kerja sama yang selama ini sudah dijalankan, tetapi lebih ditingkatkan lagi terutama kerja sama yang membawa efek bagi kehidupan manusia Indonesia yang semakin baik, yang semakin beradab,” katanya.

Terkait dengan itu, menurutnya, pembicaraan-pembicaraan dalam SAGKI juga memperhatikan persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat seperti perdamaian, soal kekerasan di daerah Papua, pertambangan, bahkan geothermal di Flores. “Tentu saja kita belum mengambil keputusan bagaimana, tetapi paling tidak dikaji sungguh-sungguh persoalannya sehingga kita bisa mempunyai satu panorama yang tepat dan strategi yang tepat untuk menghadapi soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat. Sehingga saya melihat bahwa memang keterlibatan Gereja dalam dunia ini sesungguhnya memperlihatkan Gereja Indonesia setia kepada Pemimpinnya, yakni Yesus Kristus yang turun ke dunia. Dalam konteks bahasa teologinya itu teologi inkarnasi, bahwa Allah menjadi manusia dan terlibat dalam soal-soal kemanusiaan yang nyata. Dan itu terlihat sekali dalam dokumen yang kami hasilkan dari sidang ini,” katanya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah hasil dan rekomendasi SAGKI sungguh bisa diwujudnyatakan? Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam homili misa penutup SAGKI, 7 November 2025, menyampaikan rasa optimisnya. “Saya yakin apa yang kita rumuskan dan kita hasilkan dalam rangkuman tadi akan dilaksanakan dan pasti pada waktunya ada buahnya,” katanya. Namun, lanjutnya, sesudah yakin bahwa itu akan dilaksanakan dan akan berbuah, muncul pertanyaan, apa yang perlu kita kembangkan supaya rencana-rencana yang sudah dirumuskan itu pada waktunya sungguh-sungguh menerima wujudnya?

Kardinal Suharyo menegaskan perlunya spiritualitas inkarnasi untuk mewujudkan hal tersebut seperti yang tersirat dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi yang menjadi bacaan misa tersebut. “Dengan demikian saya yakin kalau semua yang kita bicarakan dan rumuskan, kita bawa, kita usahakan, kita perjuangkan dengan spiritualitas inkarnasi, tentu buahnya akan lebat,” ungkapnya.

Ia pun menjelaskan spiritualitas inkarnasi itu dengan sederhana. “Rumusannya bisa sangat sederhana. Dalam inkarnasi Allah masuk ke dalam dunia. Konsekuensinya kalau kita mau berjumpa dengan Allah, kalau kita ingin menemukan kehendak Allah, tidaklah perlu dicari di tempat-tempat yang jauh. Kehendak itu ada di dalam sejarah. Dan sejarah itu cakupannya bisa luas, tetapi juga bisa sempit, Gereja lokal, paroki, lingkungan, lingkup kategorial, dan macam-macam. Itulah lokus di mana kehendak Allah bahkan Allah sendiri dapat ditemui,” katanya.

Lalu, bagaimana caranya untuk menemukan Allah dan kehendak-kehendak-Nya itu? “Sebagai orang beriman, pertama-tama tentu Tuhan dan kehendak-Nya kita temukan di dalam doa. Doa yang macam apa? Karena ada banyak macam doa. Saya ingat beberapa tahun yang lalu Konferensi Waligereja Indonesia melalui Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi mengeluarkan satu buku judulnya (Jalan Baru) Spiritualitas Gerakan (Sosial) dan di dalamnya dijelaskan mengenai spiritualitas inkarnasi itu. Langkah pertama untuk menemukan kehendak Tuhan di dalam sejarah, di dalam konteks, adalah doa mohon kegelisahan. Aneh. Biasanya kalau kita berdoa yang kita mohon adalah damai. Tetapi di dalam spiritualitas gerakan, pertama-tama yang kita mohon adalah kegelisahan. Bukan kegelisahan yang membuat kita bingung lalu berbeban, bukan. Tetapi kegelisahan seperti yang diungkapkan oleh Santo Agustinus, “Jiwaku belum merasa tenang sampai aku menemukan Dikau, sampai aku menemukan Kehendak-Mu”. Itulah doa mohon kegelisahan atau di dalam bahasa yang biasa, doa supaya saya dibebaskan dari zona nyaman,” katanya.

Langkah yang kedua, menurut Kardinal, dengan akal budi yang diberikan Tuhan, kehendak Tuhan bersama-sama dengan doa mesti disertai dengan analisa-analisa interdisipliner seperti yang dikerjakan dalam SAGKI.

Langkah yang terakhir, sesudah ditemukan, kurang lebih pertanyaan yang harus diajukan adalah apa yang mesti kita lakukan supaya lingkungan hidup kita menjadi semakin manusiawi? Apa yang harus kita lakukan supaya kesejahteraan bersama atau damai semakin terwujud? “Pertanyaannya sama, tetapi jawabannya bisa sangat berbeda-beda,” kata Kardinal.

Ia memberi contoh, kalau pertanyaan ini diajukan kepada ibu-ibu WKRI, misalnya di daerah Pasar Kamis, jawabannya adalah mendirikan tempat penitipan anak. “Karena apa? Karena di Pasar Kamis ada banyak pabrik. Ada banyak pekerja. Pekerja itu adalah pekerja muda dengan keluarga muda, dengan anak-anak kecil. Kalau orang tuanya bekerja, siapa yang akan memperhatikan anak-anak itu? Maka jawabannya adalah mendirikan tempat penitipan anak,” katanya.

Akan berbeda kalau pertanyaan itu diajukan oleh anggota DPR RI. “Pasti jawabannya bukan mari kita dirikan tempat penitipan anak. Jawabannya pastilah atau seharusnya mari kita rumuskan undang-undang yang memastikan bahwa kesejahteraan bersama menjadi kenyataan,” katanya memberi ilustrasi.

Menurut Kardinal, mengajukan pertanyaan seperti itu tidak mudah. Untuk itu dibutuhkan kompetensi etis. “Agar dapat mengajukan pertanyaan apa yang harus kita kerjakan supaya lingkungan hidup kita menjadi semakin manusiawi diperlukan kompetensi etis. Kalau orang yang tidak mempunyai kompetensi itu, ia akan cuek bebek terhadap realita sejarah, terhadap penderitaan, terhadap ketidakadilan. Kompetensi etis itulah yang disarankan oleh Rasul Paulus di dalam suratnya. “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat di dalam Yesus Kristus”. Atau di dalam Injil Yohanes tadi “Tinggal di dalam Aku”, “Tinggal di dalam Kristus”,” katanya.

Menurutnya, kalau kita berhasil mengajukan pertanyaan dan menemukan jawabannya dan dilaksanakan, itulah tanda-tanda pengharapan yang dimaksudkan oleh Paus Fransiskus di dalam bula “Harapan Tidak mengecewakan”. “Semakin banyak tanda-tanda yang diwujudkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan tadi, itulah tanda-tanda pengharapan,” ungkap Kardinal Suharyo.

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *