Hari belum terlalu panas. Tujuh peraga dengan busana serba putih berjalan perlahan seraya menyunggi kendi tanah liat berisi air. Air itu diambil dari 7 mata air suci di Kabupaten Klaten. Mereka hendak membawa air itu ke hadapan panggung untuk didoakan tokoh-tokoh lintas agama. Setelah masing-masing tokoh agama berdoa, air itu kemudian disiramkan ke tanah kembali oleh Bupati Klaten Hamenang Wajar Ismoyo. Ini adalah salah satu prosesi Kamulyaning Tirta yang diselenggarakan oleh Forum Kebersamaan Umat Beriman Kabupaten Klaten (FKUB Kebersamaan Kabupaten Klaten) di kompleks Vihara Bodhivamsa, Klaten, 15 November 2025. Kamulyaning Tirta kali ini bertema “Tirta Panguripan, Rukun Kang Nguripi: Tinjauan Ekoteologi”.

Setelah penuangan air ke tanah selesai, acara dilanjutkan dengan prosesi Fangshen, yakni pelepasan ikan dan burung oleh Bhikkhu/Bhiksuni, Bupati, dan Tokoh Agama/Kepercayaan sebagai simbol pembebasan kehidupan dan pemulihan keseimbangan alam. Prosesi Fangshen menempuh rute agak panjang dari komplek vihara menuju sungai. Setelah sampai di pinggir sungai, bunga mawar ditaburkan. Selanjutnya sejumlah ikan dilepaskan ke sungai dan burung diterbangkan ke udara.
Ketua FKUB Kebersamaan Kabupaten Klaten, Pendeta Wahyu Nirmala mengatakan, air adalah sumber kehidupan bagi umat manusia dan alam raya ini. “Oleh karena itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk melestarikan anugerah yang tidak terhindar ini atas air kehidupan yang sumbernya daripada Tuhan untuk kita rawat, untuk kita pelihara supaya bisa lestari dan anak turun kita nantinya juga dapat merasakan kenikmatan air yang begitu segarnya,” katanya.

Air yang diambil dari tujuh mata air suci di Kabupaten Klaten, menurutnya, menggambarkan tentang kebersamaan. “Kemudian nanti (air) dijadikan satu dikembalikan ke bumi dengan harapan, dengan doa-doa kita supaya air yang telah didoakan oleh lintas iman ini nantinya dapat berguna, dimaksimalkan keberadaannya, kegunaannya, kemanfaatannya untuk bumi tercinta ini,” kata Pendeta Wahyu. FKUB Kebersamaan, sambungnya, telah dua kali mengadakan Kamulyaning Tirta ini karena adanya keprihatinan tentang air. “Air yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi kita oleh beberapa orang digunakan dengan seenaknya, dibor dengan cukup masif,” katanya.
Melalui Kamulyaning Tirta, menurutnya, tokoh-tokoh agama berharap air bisa dikelola dan dilestarikan bersama. “Mari kita kelola bersama, mari kita lestarikan bersama, supaya dengan cara-cara itu mewujudkan kerukunan, dan kerukunan itu betul-betul menjadikan kehidupan kita semakin sejahtera,” ungkapnya.

Menurut Pendeta Wahyu, dari sudut pandang berbagai agama, air dimaknai sebagai tanda kasih yang datangnya dari Sang Ilahi, “yang bisa kita jadikan sebagai media penyucian dan juga simbol keselamatan”.
Dalam sambutannya, Bupati Klaten Hamenang Wajar Ismoyo mengapresiasi acara Kamulyaning Tirta 2025 yang diselanggarakan bersamaan dengan ulang tahun FKUB Kebersamaan ke-27. Menurutnya, 27 tahun ibarat seorang anak manusia yang berusia sangat matang. “Dinamikanya sudah luar biasa dan terbukti sampai hari ini FKUB Kebersamaan bisa menjadi forum yang menjaga Kabupaten Klaten,” katanya.
“Saya tentu sangat bergembira dan senang bisa diundang dalam acara ini karena sekali lagi membuktikan bahwa Klaten itu memang adem ayem dan sekaligus di sisi lain Klaten itu bersinar. Adem ayem karena kita tahu dengan warga masyarakat yang jumlahnya 1,3 juta cukup besar untuk Kabupaten, dan di sisi lain keberagamaan umat beragamanya luar biasa. Tapi alhamdulilah, kita selalu bisa menjaga toleransi antar umat beragama. Di sisi lain kita juga bersinar karena kemudian toleransi antar umat beragama ini tidak hanya dijalankan sebagai unsur dalam kehidupan antarumat beragama tetapi bagaimana kemudian sudah bisa berkolaborasi agar kemudian bisa membantu Kabupaten Klaten, membantu pemerintah daerah menyelesaikan berbagai macam permasalahannya,” terang Hamenang.

Seminar ekoteologi
Selain prosesi pemuliaan air dan Fangshen, acara Kamulayaning Tirta dilanjutkan dengan seminar Ekoteologi bertema: “Air sebagai Sumber Kehidupan dan Tanggung Jawab Spiritual Umat Beragama”. Bhante Budi Utomo dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Klaten, Anif Solikhin menjadi narasumber siang itu.
Menurut Bhante Budi Utomo, air adalah salah satu unsur yang sangat menentukan bagi kehidupan. “Kita sangat membutuhkan air itu. Tapi air yang sedikit bisa menghidupi banyak orang, tapi air yang besar bisa mendatangkan bencana. Dan itu tergantung kita semua bagaimana kita mengendalikan air itu,” katanya.

Dalam perspektif Buddhis, menurutnya, air bukan hanya elemen fisik yang menopang keberlangsungan hidup semua makhluk. “Tetapi juga sebagai simbol kemurnian, keseimbangan dan kelembutan batin. Di mana saya kira di dalam agama-agama tertentu juga menjadikan air ini salah satu sarana, elemen kemurnian dan kesucian. Termasuk ketika blessing ya, ketika blessing, pemberkatan, itu pakai air. Pembaptisan juga pakai air. Ber-wudlu pun pakai air,” katanya. Air, menurutnya, menjadi sarana spiritual dan pembersihan batin.
Bhante juga mengatakan, air menjadi simbol kelembutan. Selain simbol kelembutan, air juga menjadi landasan dan sumber utama dalam kehidupan. Air, lanjutnya, juga menjadi simbol kesejukan batin, kelembutan hati dan moral. “Jadi, dalam kehidupan sehari-hari umat Buddha, air digunakan dalam ritual puja. Di altar Buddha, itu mesti ada air, salah satu simbol air. Air itu juga menjadi simbol dari penyesuaian diri. Air ditaruh di manapun pasti akan menyesuaikan tentunya. Ditaruh di gelas akan seperti gelas. Ditaruh di piring jadi seperti piring. Ini menyesuaikan diri,” katanya. Bhante juga menyampaikan, air sebagai simbol kemurnian dan perdamaian.
Bagi Bhante, air juga mengajarkan manfaat tanpa pamrih. “Sifat-sifat ini mencerminkan situasi batin bhikku atau umat awam yang mengembangkan metta dan upekkha. “Metta itu cinta kasih. Cinta kasih yang tidak terbatas. Ini doanya dalam umat Buddha ‘Semoga semua makhluk berbahagia!’ Jadi ketika kita mendoakan ‘Semua makhluk berbahagia’ itu untuk semuanya, yang sakit, yang sehat, musuhnya, temannya, semuanya bahagia. Itu universal. Tidak pandang bulu. Tapi kalau ada juga kalau kita berempati kepada orang sakit, doanya adalah ‘Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan’. Jadi, netralitas yang perlu kita bangun, ya air itu netral, air itu bening, itu netral. Dan orang banyak minum air putih itu menyehatkan,” imbuhnya.
Selanjutnya ia mengatakan upekkha adalah keseimbangan batin. “Keseimbangan batin ini diputuskan dengan bagaimana ketika kita melihat segala sesuatu peristiwa, atau dalam menghadapi sesuatu itu kita tetap bisa tenang, tidak emosi. Ketika kita menghadapi segala sesuatu yang lain, sesuatu yang menyenangkan, kita juga harus hati-hati, jangan-jangan jebakan. Itulah pentingnya keseimbangan batin. Kita tetap woles, calm ketika menghadapi hal-hal yang membahagiakan dan juga ketika menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan,” terangnya.
Senada dengan Bhante, Anif Solikhin menyampaikan, air mempunyai manfaat yang sangat luas dalam kehidupan kita. “Keberadaan kita sendiri mayoritas terdiri dari air. Sehingga tentu air itu sangat berarti bagi kehidupan manusia,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Anif juga menjelaskan air dari kaca mata ekoteologi yang menjadi salah satu program dari Asta Protas Menteri Agama Tahun 2025-2029. Air, menurutnya, tidak hanya untuk kehidupan, tetapi juga untuk peribadatan. “Menggunakan air secara boros itu salah satu bukti kita tidak menghargai air. Tidak menghormati bagaimana air itu diciptakan oleh Tuhan itu sangat vital untuk kebutuhan kita. Ya kebutuhan kehidupan juga kebutuhan ibadah. Air ini sangat vital, maka kalau dalam kami Islam saya kira sama ya yang lain juga dengan landasan yang berbeda. Dalam ajaran Islam itu dinyatakan bahwa segala sesuatu yang hidup dijadikan oleh Allah itu dari air,” katanya.
Jadi, menurutnya, tanpa air tidak akan ada kehidupan. “Maka, air itu menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Kementerian Agama punya program prioritas ekoteologi. Apa itu ekoteologi? Ekoteologi itu adalah pemahaman bahwa ajaran agama semestinya berperan di dalam pemeliharaan alam semesta, alam yang ada. Jangan sampai pemahaman ajaran agama itu hanya ibadah an sich, tetapi justru ajaran agama itu turut berperan dalam menjaga, memelihara lingkungan alam semesta. Di antaranya tentu adalah air,” terangnya.

Menurut Anif, Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Prof. Dr. H Nasaruddin Umar telah memprogramkan penanaman pohon. “Apa hubungannya dengan air? Banyak. Kerusakan dunia ini banyak disebabkan oleh ulah-ulah manusia di antaranya adalah merusak tanaman. Tanaman, terutama merusak hutan yang akhirnya imbasnya juga kepada manusia itu sendiri supaya Allah perlihatkan akibat ulah-ulah manusia yang merusak alam terutama tanaman itu, mereka rasakan akibatnya, banjir, tanah longsor. Tanah longsor diakibatkan karena tidak ada tanaman yang memiliki akar yang kuat untuk merekatkan tanah, sehingga ketika ada hujan deras maka tanah itu menjadi longsor dan terjadilah musibah,” katanya. Dan musibah itu , menurutnya, tidak hanya dirasakan oleh orang yang berbuat jahat merusak, tetapi juga terkena orang lain.
Menurutnya, ketika kita berharap memuliakan air agar tetap bermanfaat dan tidak menjadi bencana bagi manusia, salah satu di antaranya adalah dengan menanam pohon.
Deklarasi Tirta Panguripan
Acara Kamulyaning Tirta ditutup dengan pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Tirta Panguripan yang isinya sebagai berikut: “Kami, tokoh lintas agama dan perwakilan masyarakat, menyatakan komitmen bersama: Satu, menjaga air sebagai sumber kehidupan dan rahmat ilahi. Dua, melindungi mata air, sungai, dan ekosistem dari kerusakan. Tiga, menghidupkan nilai welas asih, cinta kasih, dan tanggung jawab spiritual terhadap alam. Empat, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam gerakan pelestarian air sebagai wujud penghayatan iman dan budaya. Tirta Panguripan adalah kehidupan. Menjaga air berarti menjaga masa depan umat manusia dan seluruh ciptaan.”
