Burung-burung Merpati sebagai lambang perdamaian dilepaskan oleh para tokoh agama, Kepala Desa Pasung dan para tokoh Forkompincam Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Burung-burung itu terbang bebas ke angkasa seakan menggambarkan cita-cita membangun perdamaian dan kerukunan mesti diterbangkan setinggi mungkin dengan diimbangi laku nyata. Laku nyatanya adalah dengan terus merajut persaudaraan sejati. Pagi itu, laku nyata merajut persaudaraan sejati diwujudkan dengan Pawai Hari Toleransi Internasional mulai dari Lapangan Desa Pasung menuju Balai Mandala Gereja Katolik Santa Perawan Maria Bunda Kristus, 30 November 2025.
Anak-anak, para remaja, kaum muda dan orang-orang dewasa dari agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu dengan gembira mengikuti pawai tersebut. Sebelum pelepasan burung Merpati, para tokoh agama dari 5 agama melakukan doa bersama. Romo Basilius Edy Wiyanto, Pr (Katolik), Gus Agung Nugroho (Islam), Priyadi (Hindu), Arum (Buddha), dan Diaken Yoganata (GKJ Wedi) melambungkan doa sesuai dengan tradisi agamanya masing-masing.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Klaten, Anif Solikhin yang hadir pagi itu menyampaikan rasa syukurnya hidup di negara Indonesia. “Kita bersyukur ya hidup di negara Indonesia yang kita cintai dengan kemajemukan, keberagaman yang luar biasa tetapi dapat hidup rukun bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar Pancasila, sehingga kita bisa hidup rukun berdampingan meskipun kita beda,” ungkapnya.
Selain syukur, Hanif juga menyatakan rasa bangganya hidup di Indonesia. “Dan perlu kami sampaikan juga kita ikut berbangga ya, di negara kita Republik Indonesia ini ya dengan negara yang paling plural sedunia, paling beragam sedunia dalam hal suku bangsanya, bahasanya, budayanya, agamanya, tetapi bisa hidup harmoni,” katanya.

Hanif mengapresiasi kegiatan lintas agama di Kecamatan Wedi tersebut. Menurutnya, kerukunan harus diajarkan, diinternalisasikan, dan harus disampaikan kepada anak-anak sejak dini. Anak-anak diajak untuk menyadari bahwa kita hidup berbeda. “Dan hidup berbeda itu tidak harus kita kemudian terpecah, tetapi kita harus rukun dalam perbedaan. Perbedaan itu adalah anugerah, kehendak ilahi, kehendak Tuhan, anugerah Tuhan yang harus kita syukuri. Dalam perbedaan kita harus hidup rukun. Rukun tidak berarti kita mencampuradukan ajaran agama, keyakinan. Rukun itu artinya kita dalam perbedaan tetapi hidup bersama, hidup saling mengasihi, hidup saling membantu, satu sama lain,” terangnya kepada para peserta pawai.

Hanif berharap, kegiatan tersebut bisa menginspirasi kelompok-kelompok, elemen-elemen desa-desa yang lain, kecamatan yang lain untuk terus menerus merawat kerukunan “supaya masyarakat Kabupaten Klaten dapat hidup rukun agar dapat mewujudkan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat.”
“Ingat tanpa kerukunan, tanpa hidup rukun bagaimanapun hebatnya pemerintahan membangun, tentu tidak akan pernah sukses. Dengan kerukunan, Insyaallah akan mampu mewujudkan pembangunan yang adil, pembangunan yang mensejahterakan rakyat dan menyebabkan rakyat hidup bahagia dan sejahtera,” ungkapnya dalam acara tertema “Walau Beda Tetap Saudara” itu.

Senada dengan Hanif, Camat Wedi Widaya juga mengapresiasi kegiatan tersebut. Ia bahkan berharap kegiatan tersebut bisa menjadi agenda rutin dan ditingkatkan.
Pastor Paroki Gereja Santa Perawan Maria Bunda Kristus, Romo Basilius Edy Wiyanto, Pr beberapa saat sebelum doa bersama mengapresiasi anak-anak yang menjadi saksi bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, ia menyampaikan, bahwa salam yang ada dalam masing-masing agama memiliki kesamaan makna yakni “sugeng, selamet, rahayu” yang berarti selamat.

“Dan hari ini kita, puji Tuhan, kita wujudkan. Caranya berbeda, seragamnya ada yang sama, ada yang berbeda. Hadir kita berbeda, tetapi saudara kita wujudkan. Keselamatan yang kita cari ingin kita wujudkan. Dan kita tepuk tangan untuk anak-anak kita yang menjadi saksi, yang menjadi tanda, kita saudara,” ungkapnya disusul tepuk tangan peserta.

Pawai pun dimulai setelah pengguntingan pita oleh Romo Edy di pintu Lapangan Pasung disaksikan para tokoh agama dan forkompincam Wedi. Masing-masing kelompok agama membawa miniatur bangunan suci keagamaannya dengan kendaraan menyusuri jalan dari Lapangan Pasung menuju Balai Mandala Gereja Santa Perawan Maria Bunda Kristus yang berjarak sekira 4 kilometer. Pawai ini menarik perhatian masyarakat di sekitar ruas jalan. Tak sedikit di antara mereka yang mengabadikan peristiwa itu dengan merekam video melalui ponselnya.

Sampai di Balai Mandala, masing-masing kelompok agama menampilkan pertunjukan seni. Ada yang menari, bertutur Kitab Suci, membawakan musik hadrah, maupun menyanyi. Pertunjukan seni makin menarik ketika Sanggar Lare Koplak menampilkan Srandul dengan lakon “Toleransi”. Srandul adalah sebuah pertunjukan seni tradisional yang menggabungkan drama, tari, dan musik sederhana mirip ketoprak. Para pemain tampil dengan gaya yang kocak. Dialog-dialog mereka memancing gelak tawa para peserta. Mereka juga piawai menari dengan iringan tembang dan tetabuhan.

Dalam kesempatan itu, seorang pemain bertanya kepada Romo Edy tentang toleransi. Romo Edy dengan menyebut beberapa contoh menjelaskan. Menurutnya, dalam toleransi ada perbedaan, namun masing-masing diharapkan bisa menemukan yang berharga pada diri dan sesamanya. “Temukan yang berharga dalam diri, hargai yang berharga dalam sesama, pasti itu bisa mewujudkan toleransi,” terangnya. Menurutnya, kalau masing-masing bisa menemukan yang berharga dan kemudian mengapresiasi, memuji bahkan memberikan kesempatan yang berharga itulah toleransi.

60 Tahun Nostra Aetate
Semangat perayaan hari Toleransi Internasional di Wedi ini sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II yang secara eksplisit tertulis dalam Dekrit atau Deklarasi Nostra Aetate (NA), yaitu Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani, yang tahun ini memasuki usia ke enam puluh. “Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang (NA 2).”

Dalam Audiensi Umum 29 Oktober 2025: Katekese dalam Rangka Peringatan 60 Tahun Pernyataan Konsili Vatikan II Nostra Aetate, Paus Leo XIV menyampaikan, “Enam puluh tahun yang lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1965, Konsili Vatikan II, dengan diundangkannya Pernyataan Nostra Aetate, membuka cakrawala baru perjumpaan, rasa hormat, dan keramahtamahan rohani. Dokumen yang cemerlang ini mengajarkan kita untuk menjumpai para penganut agama lain bukan sebagai orang luar, melainkan sebagai teman seperjalanan di jalan kebenaran; menghormati perbedaan yang meneguhkan kemanusiaan kita bersama; dan menelaah, dalam setiap pencarian keagamaan yang tulus, suatu refleksi satu misteri ilahi yang merangkul seluruh ciptaan.”
Menurut Paus Leo XIV, Nostra Aetate mengingatkan kita bahwa dialog sejati berakar pada kasih, satu-satunya landasan perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi, sekaligus dengan tegas menolak segala bentuk diskriminasi atau penganiayaan, dan meneguhkan kesetaraan martabat setiap manusia (bdk. NA, 5).
“Oleh karena itu, Saudara-saudari terkasih, enam puluh tahun setelah Nostra Aetate, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri: apa yang bisa kita lakukan bersama? Jawabannya sederhana: kita bisa bertindak bersama. Lebih dari sebelumnya, dunia kita membutuhkan persatuan, persahabatan, dan kerjasama kita. Setiap agama kita dapat berkontribusi untuk meringankan penderitaan manusia dan menjaga rumah kita bersama, planet Bumi kita,” ungkap Paus Leo XIV.
