Minggu Biasa XXXII
Minggu, 9 November 2025
Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran
Bacaan I : Yeh. 47:1-2.8-9,12
Bacaan II : 1Kor. 3:9c-11,16- 17
Bacaan Injil : Yoh. 2:13-22
Memperjuangkan Prinsip Hidup
Pada hari ini Gereja merayakan Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran. Basilika Yohanes Lateran ini didirikan oleh kaisar Konstantinus Agung, putera Santa Helena, tahun 324. Basilika agung pertama ini melambangkan kemerdekaan dan perdamaian.
Basilika ini menjadi gereja katedral untuk Uskup Agung Roma sekaligus Sri Paus. Maka basilika ini disebut “induk semua gereja”, baik di Roma maupun di seluruh dunia. Letaknya di dekat Scala Sancta (Tangga Suci), di mana situ disimpan tangga suci yang pernah dilewati Yesus saat disesah di Istana Pilatus.
Dalam pesta ini, selain memperingati kemerdekaan dan perdamaian yang dialami Gereja setelah 3 abad dianiaya, kita juga mau mengungkapkan cinta dan kesatuan kita dengan Uskup Agung Roma, yakni Paus. Dialah pemersatu seluruh Gereja dalam cinta kasih Kristus.
Melalui sabda Tuhan pada pesta pemberkatan Gereja Basilika Yohanes Lateran hari ini, kita diingatkan untuk memaknai tempat ibadat secara baik dan benar. Kita perlu memberikan penghormatan dan menjaga kebersihan atau kekudusan tempat ibadah.
Bacaan Injil pada pesta pemberkatan Gereja Basilika Yohanes Lateran hari ini mengisahkan bagaimana Tuhan Yesus bersikap tegas dalam memperjuangkan prinsip “Bait Allah adalah rumah doa, bukan rumah jualan atau sarang penyamun”. Dia membersihkan atau menyucikan Bait Allah.
Yesus mengkritik dan marah atas penyalahgunaan Bait Allah. Bait Allah yang seharusnya menjadi tempat orang beribadah kepada Allah, justru menjadi sarang penyamun (versi Injil Matius) atau rumah jualan (versi Injil Yohanes).
Bait Allah dijadikan ajang komersialisme. Mereka kongkalikong (bekerjasama) dengan pemimpin agama Yahudi mengadakan jual beli binatang kurban (merpati, kambing-domba dan lembu), penukar uang. Harga binatang korban dinaikan berlipat-lipat. Bait Allah menjadi tempat mengeruk keuntungan pribadi dan menyengsarakan umat yang mau beribadah. Para pemimpin agama Yahudi mengubah keheningan tempat ibadah menjadi hiruk-pikuk pasar.
Dalam bahasa Latin ada ungkapan, “suaviter in modo, fortiter in re”. Lembut dalam gaya penyampaian, tegas dalam tindakan. Seorang pemimpin atau pendidik diharapkan bisa menghayati ungkapan itu. Ketegasan dalam prinsip itu sangat penting dalam hidup bersama.
Seorang pemimpin atau pendidik harus bisa membawa orang-orang yang dipimpinnya pada nilai dan arah yang jelas. Gaya penyampaiannya pun diharapkan lembut, humanis dan penuh kehangatan. Hal ini tidak mudah. Tetapi perlu diperjuangkan terus-menerus. Sebagai seorang pendidik (formator) di Seminari, prinsip tersebut terus saya usahakan dalam mendampingi para calon imam.
Pertanyaan refleksinya, apakah kita sudah menjadikan gereja sebagai rumah doa? Bagaimana sikap kita untuk menumbuhkan merasa ‘handarbeni’ (memiliki) gereja paroki kita? Apa tantangan yang kita hadapi untuk menghidupi prinsip hidup?#
Yohanes Gunawan, Pr
Rektor Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya,
Jangli – Semarang
