Para Kudus Menjadi Teladan Hidup

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*

Ukiran-ukiran yang ada stala itu menarik perhatiannya. Ukiran-ukiran berbentuk sosok para kudus. Ia mengamati satu persatu detil ukiran tersebut. Di awali ukiran sosok yang hidup dalam abad keempat, yang meninggalkan hidup keduniawian dan hanya mau hidup untuk menyenangkan Allah semata-mata dengan hidup bertapa sendiri di Subiaco Roma. Kekhasannya adalah berjanggut panjang, membawa kitab dan tongkat lambang kebijaksanaan dan kepemimpinan. Ia adalah St. Benediktus Abas. Kemudian ia mengamati ukiran sosok di samping St. Benediktus, yakni saudarinya St. Benediktus yang bernama St. Skolastika. Teladan hidup saudaranya yang lebih dahulu menjalani hidup bertapa, menarik St. Skolastika mengikuti jejak saudaranya menjadi pertapa wanita.

Secara perlahan ia terus mengamati. Ada beberapa sosok dalam ukiran itu yang tidak ia kenal, namun ada beberapa sosok yang sangat terkenal, seperti St. Fransiskus, St. Dominikus, St. Ignatius. Ada sekitar 40 lebih ukiran para kudus menghiasi stala para rahib tersebut. Ukiran para kudus yang ada di setiap stala para rahib, mengingatkan para rahib bahwa para kudus ada bersama mereka, ketika mereka menyanyikan lagu kehidupan dari kitab mazmur. (bandingkan Kitab Wahyu 5:8-14).

Gereja Katolik sangat menghormati para kudus, karena keteladan hidup mereka dan kedekatan mereka dengan Tuhan. Penghormatan itu dirayakan di dalam perayaan misa suci dan juga dalam ibadah. Kalau mau dilihat dari sejarahnya, penghormatan kepada para kudus berawal dari Gereja Kristen awal yang menghormati para martir yakni mereka yang rela mati demi iman kepada Kristus. Tentu kita pernah membaca kehidupan para martir. Kematian mereka sangat menyedihkan dan mengerikan. Mereka ada yang mati dengan ditusuk oleh pedang, ada yang dibakar, bahkan ada yang disalib, sama dengan Kristus. Keberanian mereka menghadapi kematian dengan cara yang di luar perikemanusiaan itu, pasti bukan berasal dari mereka melainkan dari Tuhan. Mereka adalah sosok yang dekat dengan Tuhan.

Ketika kita sebagai Gereja kudus memperingati atau merayakan orang kudus, hal tersebut bukan hanya untuk dimohonkan doanya saja, tetapi juga sebagai teladan hidup dalam menjalankan keutamaan Kristiani. Setiap orang kudus mempunyai ciri khasnya sendiri. Hal itu disebabkan karena zamannya yang berbeda, kepribadiannya yang berbeda dan juga cara kehidupan yang berbeda. Misalnya St. Teresa dari Liseux atau dari kanak-kanak Yesus, dikenal dengan jalan kecilnya. Ia menjadi teladan untuk melakukan hal-hal yang sederhana dalam kehidupan harian namun dengan semangat cinta yang luar biasa. Berbeda dengan St. Juliana, dari Liege, seorang kudus yang mengajak Gereja untuk memuliakan Sakramen Mahakudus. Panggilan itu ia terima ketika ia mendapatkan penglihatan yang berulang kali selama adorasi Ekaristi. Rahmat kekudusan itu selalu bekerja sesuai dengan zaman, karakter pribadi dan juga panggilan hidup.

Ketika Gereja mengajak kita untuk merayakan para kudus, Gereja mengingatkan kita bahwa kita juga dipanggil untuk mecapai kekudusan. “Tetapi sama seperti Dia yang memanggil kamu adalah kudus, maka hendaklah kamu kudus pula dalam segala tingkah lakumu, karena ada tertulis, hendaklah kamu kudus, sebab Aku kudus.” 1 Petrus 1: 15-16. Kita semua berjuang dalam menjalankan kehidupan beriman kita dengan berbagai macam tantangan, entah itu dari dalam diri kita sendiri maupun di luar diri kita. Nah, kehidupan para orang kudus menyemangati kita dalam perjuangan kita. Para kudus juga berjuang dengan bantuan rahmat Allah menanggung pergumulan, dalam menerima kekudusan dari Tuhan. Misalnya, Santo Agustinus berjuang di masa mudanya. Semasa remaja, ia dipengaruhi oleh gaya hidup bebas teman-temannya. Kemudian hari, ia bertobat di Milan dan kemudian menjadi imam pada usia 36 tahun dan uskup pada usia 41 tahun, serta menjadi Uskup Hippo di Afrika Utara selama 35 tahun. Santo Ignatius Loyola memiliki masa lalu yang kurang baik. Ia mengatakan bahwa hingga usianya yang ke-26, ia terjerumus dalam kesia-siaan duniawi. Ia sombong, ia mencari kemuliaan duniawi. Namun setelah pertobatannya, secara bertahap ia mengembangkan aturan-aturan untuk membedakan roh dan mendirikan Serikat Yesus. Di sini kita melihat contoh perjuangan dan pergumulan dalam kehidupan orang kudus.

Selesai ia melihat dan mengamati satu persatu ukiran-ukiran sosok para kudus di stala para rahib itu, ia teringat akan penglihatan yang dialami St. Yohanes. “Sesudah itu aku melihat suatu penglihatan: suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa. Mereka berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, mengenakan jubah putih dan memegang daun palem di tangan mereka. Mereka berseru dengan suara nyaring, “Keselamatan datang dari Allah kami yang duduk di atas takhta dan dari Anak Domba!” (Wahyu 7:9-10). Ia lalu berdoa dalam hati, Tuhan semoga seluruh umat di bumi ini Engkau beri kesanggupan dan keterbukaan untuk menerima anugerah kekudusan dari-Mu, agar kelak kami boleh bergabung bersama-Mu dan para kudus di takhta kerajaan-Mu di surga. Yesus kami percaya kepada-Mu!

*Penulis adalah Rahib and Imam – Our Lady of Silence Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *