Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Gereja Yang Bahagia
Gereja yang bahagia merupakan sifat hakiki Gereja itu sendiri karena Gereja terdiri dari umat beriman yang mengimani Tuhan Yesus Kristus, Juru Selamat. Sebagai umat beriman, harapan akan keselamatan itu pasti, karena Allah Bapa yang menghendaki bahwa kita, meski orang-orang berdosa, selamat. Allah Bapa mengutus Allah Putra menjadi Yesus anak Maria, yang menebus dosa manusia, dengan sengsara dan wafat-Nya di salib. Dengan kebangkitan-Nya, kita yang mengimani Dia sebagai Juruselamat, disatukan dengan Dia yang mulia, sehingga kita menjadi anak-anak Allah bersama dengan Dia. Berarti kita mulia di surga. Siapa yang tidak bahagia mempunyai harapan yang pasti dan begitu mulia? Kebahagiaan ini kebahagiaan yang dasarnya iman, maka kebahagiaan ini ada dalam lubuk hatinya.
Bagaimana umat beriman ini kalau mengalami penderitaan? Apakah tetap bahagia? Tentu jawabnya, ya. Mengapa? Pertama seperti Paulus, kita yakin: “…bahwa, penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rom 8:18). Kedua, saat kita menderita demi Kristus atau demi iman kita, kita dikuatkan oleh Allah. Kita ingat nasihat Paulus: “Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya.” (1 Ptr 5:10). Kebahagiaan semua umat beriman tentu terpancar dalam Gereja. Dan tak ada kesusahan dan penderitaan seberat apapun yang dapat mengalahkan kebahagiaan itu. Maka tak mengherankan bahwa para martir yang mendapat siksaan kejam, justru ada yang bernyanyi. Sifat hakiki Gereja justru bahagia karena iman akan Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Bahagia karena berpengharapan akan keselamatan. Maka sifat Gereja yang erat berhubungan satu sama lain yaitu Gereja yang berpengharapan dan Gereja yang bahagia. Demikian pula judul Buku Renungan Bulan Katekese 2025 dari Keuskupan Agung Semarang yang sedang merayakan ulang tahun ke-85.

Gereja yang Menginspirasi dan Menyejahterakan
Tidak hanya bahagia. Sifat Gereja yang hakiki kecuali berpengharapan dan bahagia, sekaligus penuh syukur kepada Allah dan memuji-Nya, karena yakin bahwa iman yang dimiliki adalah karena karya Roh Kudus. Paulus menulis kepada umat di Korintus: “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa … tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus.” (1 Kor 12:3). Oleh Roh Kudus pula umat beriman mengasihi satu sama lain, rukun dan saling peduli sampai soal kebutuhan hidup sehari-hari. Roh Kudus membangun persaudaraan berdasarkan kasih, membangun umat menjadi suatu persekutuan.
Peristiwa pertama dari peran Roh Kudus dalam sejarah Gereja adalah ketika para rasul menerima Roh Kudus, setelah berdoa bersama Bunda Maria beberapa hari lamanya. Iman para rasul yang dulunya masih memiliki pandangan-pandangan keliru mengenai siapa dan tugas Tuhan Yesus Kristus, sekarang dibetulkan, diperkaya dan diperdalam. Keberanian mereka untuk menjadi pewarta Injil pun muncul, sehingga yang dulu mengunci diri di rumah, sekarang berani keluar dan lalu dengan gembira penuh semangat mewartakan Yesus yang telah bangkit dengan berani dan terbuka. Petrus dan para rasul mulai berkhotbah dan banyak orang percaya dan mereka dibaptis. Kisah para Rasul mencatat demikian: “Orang-orang yang menerima perkataannya (para rasul) itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mukjizat dan tanda.
Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” (Kis 2:41-45)
Hari itu lahirlah Gereja, umat yang percaya karena Roh Kudus. Gereja yang sedang tumbuh ini, ternyata oleh Roh Kudus dijadikan umat yang bahagia dan memuji Tuhan, tekun dalam pengajaran para rasul, tekun berdoa dan berkumpul sebagai saudara untuk merayakan ekaristi. Mereka ternyata membangun persekutuan hidup baru, yang tidak hanya terwujud dalam doa bersama, melainkan secara sosial saling peduli mengenai apa yang mereka butuhkan. Sehingga yang memiliki lebih, membantu yang berkekurangan. Gereja menyejahterakan.
Bagaimana tanggapan orang sekitar terhadap lahirnya Gereja baru dengan cara hidup umatnya tersebut? Ada dua tanggapan. Ada yang takut, ada yang menyukai mereka. Mereka yang takut, kiranya karena mereka merasakan bahwa pembaruan hidup kelompok ini terkait dengan suatu kuasa yang Ilahi, karena dikaitkan juga dengan para rasul yang membuat mukjizat. “Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mukjizat dan tanda.” (Kis 2:43). Yang kedua mereka menyukai hidup baru tersebut, karena baik, menginspirasi, menarik, dan menyejahterakan yang miskin sambil memuji Allah. “Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kis 2:47).
Dari Kisah Para Rasul tadi sangat jelas bahwa Gereja yang tumbuh setelah Pentakosta tersebut berciri bahagia dan cara hidupnya menginspirasi dan menyejahterakan. Dengan demikian memiliki daya tarik yang kuat dan banyak orang yang lalu bergabung kepada Gereja. Ini terjadi dua ribu tahun yang lalu. Selama 2 ribu tahun tadi Gereja telah berkembang. Dalam perkembangannya ada juga pengaruh Roh Jahat yang tampak kecuali tentu saja pengaruh Roh Kudus.
Perbedaan Menuju Perpecahan
Dalam perjalanan Gereja dalam sejarah, ada banyak hal yang terjadi. Salah satunya adalah perpecahan. Ada 2 perpecahan yang dapat disebut. Yang satu adalah yang disebut skisma (perpecahan) antara Gereja Roma (barat) dan Gereja Ortodox (timur) pada tahun 1054. Yang kedua abad ke-16, pada tahun 1517 ketika Martin Luther memakukan Sembilan Puluh Lima Tesisnya di pintu Gereja Kastil di Wittenberg, Jerman. Peristiwa ini dianggap sebagai awal resmi dari gerakan Reformasi yang berupaya mereformasi Gereja Katolik Roma.
Kita batasi saja, yang pokok, yaitu adanya perbedaan ajaran, budaya, bahasa sehingga ada perpecahan yang makin lama makin tetap menjadi Gereja Katolik, Gereja Ortodox Timur dan Gereja Protestan. Gereja Protestan sendiri sekarang sudah menjadi banyak.
Analisa dari Santo Yohanes Paulus II sangat baik untuk menilai realitas hidup Gereja. Menghadapi realitas Asia yang penuh keragaman mengenai agama, suku, bangsa, budaya, dan kepercayaan, Paus Santo Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa Roh Kudus itu menyatukan, dan Roh Jahat itu memecah belah. Ajaran beliau ini disampaikan ketika menutup Sinode Uskup Asia di New Delhi tanggal 6 November 1999. Dokumen tersebut berjudul: Ecclesia in Asia atau disingkat EA. Konkretnya, mengenai perpecahan ajaran Santo Yohanes Paulus II demikian: “Roh Kudus mendukung orang-orang dalam usaha-usaha mereka menumbuhkan saling pengertian, dan saling menerima”. (EA 15). Berarti mendorong ke arah persatuan dan kebersamaan hidup. Sebaliknya: ”Daya kekuatan maut (ini istilah untuk menyebut Roh Jahat) menyendirikan orang-orang, masyarakat-masyarakat dan rukun-rukun hidup religius satu dari yang lain, lagi pula menimbulkan sikap-sikap curiga dan persaingan, yang mengantar kepada konflik-konflik.” (Ibid.) Jadi memecah belah dan membuat kelompok saling bermusuhan. Gereja kita yang dulu lahir dari kuasa Roh Kudus pada Hari Pentakosta I, dalam perjalanan waktu juga dirusak oleh Roh Jahat. Maka perlu diperbarui lagi oleh Roh Kudus. Apa yang diperbarui?

Kesadaran Gerakan Sinodalitas
Sejak pembaruan Konsili Vatikan II, pimpinan Gereja sudah menyadari bahwa sifat Gereja bimbingan Roh Kudus itu sejak awal bersifat sinodal, berjalan bersama, saling peduli, berpartisipasi dan misioner. Sifat itu sekarang sudah tidak ada secara murni. Maka pembaruan sesuai arah Roh Kudus masa kini adalah menggerakkan, mengaktifkan kembali sinodalitas Gereja. Maka Paus Santo Paulus VI setelah Konsili Vatikan II usai, beliau mendirikan sekretariat Sinode, untuk menyiapkan mulainya sidang-sidang para uskup untuk bersinode. Ada yang berdasarkan tema, ada yang berdasarkan kekhususan daerah. Maka juga pernah diadakan Sinode Uskup di Asia, Eropa dan lain-lain. Inilah juga yang sekarang, berkat dorongan Paus Fransiskus, gerak Gereja yang sinodal diperbarui dan diperkuat.
Realitas Gereja Sekarang
Situasinya sekarang pada umumnya di Indonesia, perbedaan yang menuju perpecahan Gereja Katolik sudah tidak terjadi. Mengenai sinodalitas Gereja seperti ditulis dalam Kisah para Rasul, belum sepenuhnya kita warisi. Karena baru diungkapkan dalam aktivitas Gereja tetapi belum menyentuh adanya Gereja. Baru bagian the action, dan belum bagian the being. Sinodalitas baru secara jelas ditekankan aspek penting dari sinodalitas Gereja adalah keterlibatan dan partisipasi aktif dari semua umat beriman dalam hidup dan misi Gereja. Yang belum terungkap adalah ad intra, sinodalitas dalam kehidupan sosial ekonomi warga Gereja, yang dalam Kisah para Rasul dirumuskan: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” (Kis 2:41-45). Mereka berjalan bersama sebagai sesamanya, sehingga peduli terhadap situasi hidup ekonominya, sehingga yang memiliki lebih, membantu yang berkekurangan. Ini baru bacaan penulis dan belum menjadi pandangan resmi Gereja.
Persekutuan kita sebagai umat beriman yang kuat dan tampak baik adalah dalam kegiatan doa bersama, merayakan Ekaristi bersama. Itu pun tentu belum merata di seluruh daerah, menjangkau seluruh umat. Sebaliknya kepedulian terhadap kebutuhan hidup sesamanya kurang tampak. Di sini jangan-jangan ada kuasa Roh Jahat yang telah berperan. Sehingga yang memiliki nafkah lebih, tidak serta merta membantu mereka yang berkekurangan. Jelas tidak ada pemerataan kesejahteraan seperti dalam Gereja Awal atau Gereja yang dilukiskan dalam Kisah para Rasul. (lihat Kis 2:44-45). Sepertinya Roh Jahat telah membuat ketidakpedulian mereka yang mampu terhadap yang tidak mampu begitu kuat, sehingga seakan-akan kelompok miskin itu tidak ada. Dianggap tak ada 2 kelompok yang berbeda kemampuan finansialnya. Maka kalau ada kebutuhan bersama untuk perayaan tertentu di lingkungan atau di paroki, ditetapkan iuran setiap keluarga sama jumlahnya. Dengan ini mereka telah menerapkan hukum “keadilan”. Tentu kadang-kadang yang miskin merasa berat. Sedang yang kaya tak merasa apa-apa. Kebersamaan akhirnya dengan iuran yang sama rata. Inilah yang dikatakan “adil”. Menurut penulis, di sini yang hilang. Semangat sinodal, berjalan bersama yang berarti hidup bersama sesama warga Gereja sampai peduli terhadap hidup sosialnya. Dan kalau Gereja bersifat inklusif terhadap masyarakat sekitarnya, berarti peduli juga untuk membantu mereka.
Dalam hidup, unit paling kecil adalah keluarga. Roh Jahat telah berhasil membuat kebanyakan keluarga bersifat eksklusif dalam bidang ekonomi terhadap keluarga miskin. Yang penting keluargaku. Aku tak punya kewajiban terhadap keluarga lain. Bahkan meskipun itu sesama keluarga seiman. Tentu kekecualian ada, yaitu yang berpengasilan kuat membantu yang lemah. Kita syukuri kekecualian itu. Sayangnya tidak banyak. Roh Jahat telah mencoba menguasai setiap pengelompokan dijadikan eksklusif. Ada yang menjadi sangat eksklusif, dan tentu ada yang tidak ekskluisf tergantung anggota-anggotanya. Umpama dalam Gereja ada macam-macam organisasi, yang mudah untuk bersaing. Kemudian kelompok besar yang namanya suku, bangsa dan negara. Bukankah terjadi persaingan, dan juga antar sekutu mereka. Sehingga dunia selalu dalam bahaya perang. Dan perang zaman sekarang berarti dengan senjata nuklir. Tidak hanya bahaya perang yang mengancam kita semua. Bahaya pemanasan bumi yang oleh para ilmuwan sudah sangat jelas diuraikan, para pimpinan negara dan para pengusaha masih sangat lambat menanggapinya, karena kalau tidak memakai batubara, umpama, lalu batubara yang sudah ada untuk apa? Mubazir. Padahal kalau masih dipakai masih ada keuntungan.
Gerakan Sinodalitas
Gereja Katolik bersama dengan mereka yang berkehendak baik dengan bimbingan Roh Kudus telah melancarkan semangat persaudaraan baru yang dasarnya adalah berdasar kemanusiaan yang sama. Ini menghancurkan pengelompokan eksklusf yang diciptakan Kuasa Jahat tadi. Untuk melindungi bumi sebagai rumah kita bersama dari kerusakan lingkungan hidupnya, Paus Frnsiskus telah menyampaikan ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau, Tuhan). Dan untuk mendukung persaudaraan berdasar kemanusiaan, beliau menyampaikan ensiklik berjudul Fratelli Tutti (Semua Saudara). Tanggal 14 Februari 2019 Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syaikh Dr. Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb, menandatangi deklarasi bersama, yang isinya mendukung 2 hal tersebut. Maka terjadi adanya gerakan bersama antara Gereja Katolik dan Islam. Paus Fransiskus ketika berkunjung di Indonesia menandatangani Deklarasi Istiqlal tanggal 5 September 2024, yang isi pokoknya sama, satu melawan arus dehumanisasi dengan menjunjung tinggi martabat manusia ciptaan Allah. Perlunya kerukunan antar umat beragama berdasarkan kemanusiaan yang sama. Kedua, eksploitasi manusia atas bumi rumah kita bersama telah berkontribusi terhadap perubahan iklim yang sudah menimbulkan berbagai bencana alam, pemanasan global dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Tetapi seperti diuraikan di atas, dalam kenyataan hidup menggereja yang sekarang sedang berjalan, sinodalitas yang juga digalakkan oleh Paus Fransiskus, adalah berjalan bersama, partisipasi semua anggota Gereja dalam tugas misionernya. Belum/tidak berbicara tentang kepedulian umat terhadap mereka yang membutuhkan bantuan. Umat yang membutuhkan bantuan dana dari paroki biasanya diharapkan menghubungi yang bertugas untuk itu.
Penutup
Suatu pembaruan hidup tidaklah mudah, apalagi kalau pembaruan itu tidak sesuai dengan kebiasaan yang telah lama berlangsung. Sudah biasa bahwa setiap ada acara bersama pada masa Natal atau Paskah, jumlah sumbangannya sama. Itu dianggap “adil”. Beban ditanggung bersama-sama secara sama. Sistem yang dianggap “adil” ini tentu membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Kalau kebiasaan ini dapat kita hapus, yaitu yang miskin menyumbang sedikit dan yang tergolong mampu menyumbang banyak, ini akan dirasa adil yang sebenarnya. Kalau hal ini dapat kita ubah, sudah satu kemajuan. Syukur kalau panggilan kasih, yang menurut penulis berarti berjalan bersama dalam hidup sosial-ekonominya, yaitu membantu menyejahterakannya, ada yang melaksanakan. Kalau begitu Gereja, kecuali bahagia, sungguh menginspirasi dan menyejahterakan. Gereja menjadi sangat menarik karena misioner. Karena kebaikan cara hidup bersamanya membuat orang tertarik untuk bergabung.

