10 Tahun Ensiklik Laudato Si Menjadi Cahaya Harapan Bagi Bumi

Musim Penciptaan 2025 menandai 10 tahun ensiklik Laudato Si hadir di tengah-tengah Gereja. Ini menjadi momentum yang baik untuk melakukan evaluasi. Terkait dengan ini Komunitas Religius yang tergabung dalam Gerakan Laudato Si Indonesia menyelenggarakan  Webinar Musim Penciptaan 2025: 10 Tahun Ensiklik Laudato Si Menjadi Cahaya Harapan Bagi Bumi pada 23 September 2025. Hadir sebagai narasumber adalah Suster Irena Handayani, OSU; Suster Sisilia Andri, SSpS; Romo Martin Harun, OFM; dan Romo Irtikandik D., O.Carm.

Romo Martin Harun, OFM mengaku sangat gembira ketika ensiklik Laudato Si dirilis pada tahun 2015. “Saya gembira bahwa tidak dalam bahasa Latin, tapi dalam delapan bahasa lain ya. Itu sudah luar biasa. Dan saya pada waktu itu duduk di kursi karena tulang kaki retak. Saya tidak bisa ke mana-mana, ambil seluruh hari itu untuk membaca dari awal sampai akhir. Dan saya begitu terkesan karena ya bagi saya ensiklik itu ya bagi saya yang sebenarnya sudah lama berkecimpung dalam masalah ini sepertinya everything fell in (to) place ya. Saya tiba-tiba melihat keseluruhannya. Keseluruhan masalah. Juga gambaran lebih baik mengenai kegiatan mana manusia dan siapa yang menjadi sebabnya, juga kaitannya dengan orang miskin, kemudian ajakan dialog, bukan suatu jawaban tapi ajakan dialog dan terutama juga bagian yang teologi menjadi begitu segar diuraikan dengan menuju spiritualitas. Sehingga saya langsung merasa, wah ini suatu terbitan yang harus bisa dibaca semua orang. Dan saya sudah tahu buku kuning KWI pada saat itu belum ada di internet, sehingga saya pikir saya mendahuluinya, dengan mencari kerja sama dengan Obor, dengan Romo Agus dan Obor bersedia,” katanya supaya terbitan itu bisa diakses gratis oleh semua orang. Bahkan selanjutnya Dokpen KWI pun menerbitkan terjemahannya supaya bisa dibaca banyak orang.

Hal senada dialami Suster Sisilia Andri, SSpS. Ia merasa berkobar-kobar ketika membaca ensiklik tersebut. “Waktu itu pagi hari bulan Oktober 2015 pertama kali saya membaca. Waktu itu saya sedang berada bersama para novis. Jadi waktu itu jumlah novis ada lima. Itu Novis 1 ada dua orang, Novis 2 ada tiga orang. Kami duduk melingkar begitu ya, enam orang. Kami berada di Kota Batu yang sejuk dan ensiklik ini juga membawa sebuah kesegaran. Nah, ketika kami membaca itu saya rasanya berkobar-kobar ya, Suster, dalam hati ini sebagai seorang pendamping yang membaca dengan orang muda. Dan dari ensiklik ini saya merasakan bahwa bahasanya seperti sebuah surat yang hidup ya, walaupun gak ada gambarnya. Biasanya itu kan kalau bacaan yang tidak ada gambarnya itu menjadi satu yang kering begitu ya. Tetapi ensiklik ini sungguh hidup. Saya rasakan itu dan membuat berkobar ya,” katanya ketika ditanya ditanya Suster Amelia Hendani, SEC selaku moderator webinar.

Suster Sisilia merasa diundang untuk masuk dalam lingkaran yang lebih besar dan luas untuk melakukan aksi konkret merawat bumi. “Maka sebagai pendamping novis waktu itu, saya sangat antusias membaca dan membacakan untuk para novis dan juga membaca bersama serta menanggapinya begitu. Jadi kami juga semakin diteguhkan dan semakin bersemangat untuk mewartakan,” kata Suster Sisilia.

Sedangkan Romo Irtikandik D., O.Carm mengetahui ensiklik Laudato Si dirilis saat ia sedang belajar di Washington DC. Ia terkesan dengan ensiklik Laudato Si yang paling banyak dibaca, paling banyak dibeli umat awam dan pada waktu itu yang paling banyak disebutkan. “Saya meskipun ya seorang biarawan, seorang imam, seorang religius, sangat jarang mungkin membaca ensiklik secara lengkap gitu. Tetapi ketika itu 2015 saya di sana dan ya apa ya atmosfer akademiknya itu di sana sangat terasa itu. Jadi dalam percakapan, terus di kelas ya ketika dosen mengajar itu kok seringkali, mata kuliah apapun disebutkan. Ini yang membuat saya penasaran dan kemudian mungkin boleh saya katakan bahwa ini adalah ensiklik pertama yang saya langsung baca dari awal sampai akhir,” kata Romo Irtikandik. Menurutnya, dalam ensiklik itu, bahasa Paus Fransiskus itu sangat mudah dimengerti bahkan oleh orang awam. Tidak terlalu banyak istilah-istilah teologis yang terlalu tinggi. “Jadi ya, pada waktu itu yang membuat saya kemudian membaca semua dari awal sampai akhir langsung pada saat itu ketika penasaran saya cari sudah ada online di vatican.va,” katanya.

Ketika ensiklik Laudato Si dirilis, Suster Irena Handayani, OSU pindah dari Bandung menuju Jakarta. Ia mengakhiri karyanya di dunia pendidikan di sekolah di Bandung. Selanjutnya di Jakarta, full time ia menjalani pelayanan kemanusiaan di Talithakum yang waktu itu masih bernama Jaringan Peduli Migran. “Saya masih ingat ketika pertama kali membaca, membaca dan merenungkan ensiklik ini, hati saya langsung tergetar, karena isinya begitu dekat dengan pergulatan hidup para pekerja migran yang selama ini saya dampingi lewat lembaga Talithakum. Ensiklik ini bukan hanya teks Gereja, melainkan bagi saya nafas kehidupan yang meneguhkan dan memberi arah baru bahwa pergulatan keadilan, martabat manusia, dan perawatan terhadap sesama adalah bagian dari iman kita. Saat itu saya merasa seperti dipanggil kembali, diingatkan bahwa perjuangan untuk pekerja migran dan komitmen dalam gerakan Laudato Si Indonesia bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan yang saling melengkapi,” kata Suster Irena.

Setelah menelaah ensiklik Laudato Si, Pater Martin menangkap harapan yang disampaikan Paus Fransiskus. “Yang saya mengerti sebagai yang paling utama yang selalu dilihat dalam cara Paus Fransiskus memberi kita motivasi iman ya untuk memperhatikan seluruh ciptaan-orang miskin adalah terutama.  Dia mau mendobrak paradigma monopoli keselamatan untuk manusia ya. Itu suatu hal yang begitu menonjol, seolah-olah Allah hanya sibuk dengan kita. Ya, kita seperti Ayub yang minta segala perhatian untuk dirinya saja ya. Dan Allah pada akhir menjawab, “Saya punya pekerjaan lebih besar.” Ya. Dan sesudah itu Ayub mengerti. Mengerti. Dan saya kira strategi itu juga dilakukan oleh Paus Fransiskus dengan selalu bicara tentang hubungan Allah dengan makhluk-makhluk ciptaan dan juga makhluk-makhluk dengan Allah. Ya, beberapa contoh ya, bila bumi memang adalah ciptaan Allah, milik-Nya ya sesuatu yang Allah nilai baik ya, kita juga harus menerimanya demikian, dan kita harus menghormati bumi seperti adanya ya. Kita harus menghormati hukum alam yang ada, iramanya, keterbatasannya ya karena itu semuanya baik ya. Jadi ada konsekuensi bagi kita kalau Allah memang berhubungan dengan seluruh karyanya. Ya. Satu contoh lain. Kalau alam semesta sebagai keseluruhan seperti dikatakan Paus akan ada hubungannya satu ungkapan dari kekayaan dan keindahan Allah ya, kita harus sangat sedih kalau sekarang begitu banyak dari keanekaragaman hayati hilang karena itu mengurangi gambaran yang kita dapat mengenai kekayaan dan keindahan Allah ya,” katanya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *