
Minggu Biasa XXVIII
Minggu, 12 Oktober 2025
Bacaan I : 2Raj. 5:14-17
Bacaan II : 2Tim. 2:8-13
Bacaan Injil : Luk. 17:11-19
Tersungkur dan Bersyukur
Ubur-ubur ikan lele, mari kita selalu bersyukur Leee… Hati yang bersyukur membuat hidup kita bahagia. Ada ungkapan inspiratif, “Cara untuk menikmati kebahagiaan hidup adalah dengan bersyukur.” Jika kita mudah mensyukuri segala yang kita terima, kita akan memiliki lebih banyak hal yang membahagiakan. Sebaliknya, jika kita selalu terobsesi pada apa yang tidak kita miliki, kita tidak akan pernah merasa cukup dan tidak pernah mampu menikmati hidup. Bersyukur merupakan tanda bahwa kita tidak pernah menuntut banyak kepada Tuhan.
Sabda Tuhan hari Minggu ini mengajak kita untuk meneladan sikap belas kasih Yesus kepada orang yang sakit kusta dan meneladan sikap bersyukur dari orang yang sakit kusta. Dalam sejarah hidup manusia, sakit kusta adalah penyakit yang menakutkan dan dianggap najis. Bahkan orang yang menderita sakit itu biasanya dijauhi dan dicap negatif oleh masyarakat. Dia harus dikarantina atau berpisah untuk sementara waktu dengan keluarganya sampai sembuh.
Menurut kesaksian dari beberapa orang yang pernah dinyatakan ‘positif Covid-19’, mereka merasa seperti orang yang sakit kusta. Mereka merasa terasing, dijauhi dan dianggap ‘najis’. Mereka harus dikarantina, baik karantina mandiri atau karantina di tempat khusus. Untuk sementara waktu ia juga tidak bisa bertemu dengan keluarga. Rasanya sangat tidak nyaman dan tidak mengenakan. Secara lahiriah dia sudah sakit karena virus korona, dan secara psikis dia merasa tertekan dan dianggap ‘najis’.
Sakit kusta ada dalam dua bentuk, yaitu kusta yang sangat berbahaya dan kusta jinak. Sakit kusta bisa disembuhkan. Melalui nabi Elisa, misalnya, Tuhan menyembuhkan penyakit kusta Naaman. Dalam bacaan Injil hari ini Tuhan Yesus juga menyembuhkan orang sakit kusta. Jenis kusta yang disembuhkan Yesus mirip dengan penyakit yang sekarang kita sebut dengan infeksi kulit yang bisa merusak dan menghancurkan tubuh perlahan-lahan.
Ada sepuluh orang yang sakit kusta datang kepada Yesus. Mereka berteriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Dengan rendah hati mereka memohon kepada Yesus agar disembuhkan. Bagi Yesus orang kusta bukanlah orang yang kotor dan najis. Ketika tangan-Nya yang kudus menjamahnya, yang terjadi bukan Ia tertular kusta dan kenajisannya, tetapi si kusta ketularan kekudusan-Nya dan menjadi sembuh atau tahir. Kasih sayang-Nya membuat si kusta menjadi tahir.
Apakah kita sakit kusta? Secara fisik, kulit kita tentu tidak. Mungkin iya hati atau pikiran. Amat mudah kita berpikiran, berprasangka dan berkata negatif terhadap orang lain. Dengan demikian, kita sebenarnya menderita “kusta”, bukan kusta di kulit tetapi kusta dalam hati dan pikiran kita. Dengan menyimpan dendam di hati, dengan berpikiran negatif tentang orang lain, kita mengalami sakit kusta.
Maka, marilah kita mohon kepada Tuhan agar Ia berkenan mengulurkan tangan-Nya untuk menjamah pikiran dan hati kita. Supaya kita tidak mudah berpikiran, berprasangka dan berkata negatif terhadap orang lain dan tentang orang lain. Marilah kita juga membiasakan diri tersungkur dan bersyukur di hadapan Tuhan dengan rendah hati. Dia berkenan kepada orang yang rendah hati. Semoga saudara-saudari kita yang hari-hari ini sedang sakit dijamah Tuhan dan segera sembuh,
Pertanyaan refleksinya, apakah kita termasuk golongan sembilan orang kusta yang disembuhkan Yesus tetapi tidak bersyukur dan tidak berterima kasih kepada-Nya? Ataukah kita seperti orang Samaria yang kembali untuk menjumpai Yesus untuk tersungkur dan bersyukur? #
Yohanes Gunawan, Pr
Rektor Seminari Tahun Orientasi Rohani Sanjaya,
Jangli – Semarang