Menjadi Buku Yang Terbuka

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*

Dalam memimpin setiap pertemuan dengan rekan sekantor ia selalu membuka diri dengan ide-ide baru dan bahkan sudut pandang yang berbeda dari dirinya. Bukan berarti ia tidak memiliki sebuah prinsip atau pandangan pribadi, namun semua itu ia lakukan untuk mempertimbangkan berbagai perspektif untuk  mendapatkan sebuah keputusan yang terbaik. Kebaikan itu tidak hanya datang dari dirinya tetapi juga dari orang lain. Ia memberikan kesempatan dan waktu bagi setiap kolega untuk menyampaikan setiap gagasan. Baginya begitu penting untuk mendengarkan dengan rendah hati sebelum ia memberikan tanggapan atau keputusan. Ia akan menerima gagasan yang membuat setiap kepala kolega mengangguk-angguk, gagasan yang sungguh mementingkan kepentingan banyak orang. Sebaliknya, ia akan menolak gagasan yang terkontaminasi kepentingan pribadi di dalamnya, namun ia menyampaikan dengan beretika demi menghormati perasaan pribadi tersebut. Sikap ini akan menumbuhkan lingkungan budaya yang saling menghormati setiap pribadi. Terkadang bisa terjadi, ia harus menghadapi respon dalam kegusaran dan emosi, namun ia tetap menghargai dalam ketenangan pribadi tersebut agar pertemuan berakhir dengan kooperatif.

Buku yang Terbuka untuk Tuhan

Ketika kita ingin memahami isi sebuah buku, kita harus membuka lembaran buku tersebut lalu membacanya. Sama halnya dengan buku kehidupan kita. Untuk bisa memahami buku kehidupan, berarti kita siap untuk membuka setiap hari lembaran demi lembaran buku kehidupan kita dan menjalaninya apa yang sudah Tuhan tuliskan tentang peristiwa kehidupan yang harus kita jalani. Kita tidak akan mengetahui peristiwa apa yang tertulis dalam setiap lembaran sebelum kita membukanya. Itu sebabnya kita perlu memiliki komitmen untuk membuka tiap lembaran setiap harinya dan menjalaninya di dalam iman.  Dengan demikian, kita menjadi buku yang terbuka untuk Tuhan.

Terkadang kita malas untuk membuka buku dan membacanya dikarenakan karena kita mengantuk atau kelelahan karena kesibukan harian kita. Hal itu juga terjadi dalam kehidupan kita, terkadang kita enggan dan kurang bersemangat untuk membuka lembaran baru kehidupan kita karena berbagai macam alasan penyebabnya. Pokok persoalan sesungguhnya adalah karena kita mau merancang sendiri kisah kehidupan kita di buku kehidupan. Kita menginginkan kisah kehidupan yang selalu indah tanpa ada kisah sedih, tanpa kesulitan, tanpa ada pribadi yang kita anggap sangat menjengkelkan, tanpa ada pekerjaan yang membebani. Pokoknya kita mau kisah hidup kita indah semuanya. Padahal, kita sebenarnya menyadari bahwa kehidupan itu selalu ada dua sisi, sisi suka dan sisi duka. Kalau kita menginginkan kisah hidup kita yang selalu bahagia, itu nanti di surga. Namun untuk sampai ke sana, kita harus mau dengan ikhlas membuka dan menjalani lembaran-lembaran kehidupan yang sudah Tuhan tulis dan terutama mau mendengarkan arahan-Nya. “Kata Tuhan, Äku akan menunjukkan jalan yang harus kau tempuh, engkau akan Ku bimbing dan Ku nasehati.” (Mazmur 32:8)

Kita tentu ingat bahwa Tuhan telah berfirman, “sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalan-Ku.” (Yesaya 55:8). Tuhan selalu punya rancangan yang terbaik bagi kita umat manusia. “Bukankah Aku sendiri tahu rencana-rencana-Ku bagi kamu? Rencana-rencana itu bukan rencana untuk mencelakakan kamu, tetapi untuk kesejahteraanmu dan untuk memberikan kepadamu masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11). Sabda itu perlu selalu kita ingat dan imani. Namun, dalam kenyataan hidup, tidak selalu mudah untuk menjalaninya karena terkadang kita tidak mampu memahami rancangan Tuhan. Sebenarnya rancangan Tuhan itu tidak harus selalu dipahami tetapi terutama harus kita imani lebih dahulu dan menjalaninya. Dan ketika kita menjalani dengan iman akhirnya kita memahami apa tujuannya kita menjalani peristiwa hidup yang memang harus kita jalani, bahkan kita bisa menemukan arti perjalanan hidup kita di dalam rencana keselamatan Tuhan dalam menyelamatkan seluruh umat manusia di bumi ini.

Kisah lembaran hidup Yesus saat berada di taman Getsemani adalah contoh konkret memiliki hati yang terbuka terhadap rencana Tuhan dalam kehidupan ini. Ia berdoa,  “Ya Bapa, jikalau mungkin, biarlah cawan ini berlalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Kau kehendaki” (Matius 26:39). Dengan teladan-Nya kita sebagai pengikut-Nya diingatkan bahwa keterbukaan kepada kehendak dan rencana Tuhan serta kebaikan-Nya  merupakan aspek yang penting dan fundamental dalam perjalanan hidup beriman.

Buku yang Terbuka untuk Sesama

Keterbukaan itu tidak hanya tentang mengungkapkan dengan kata dan tindakan apa yang ada di dalam pikiran dan batin kita secara lepas bebas. Kalau tidak hati-hati, kita akan menjadi pribadi yang tidak peka terhadap perasaan orang lain bahkan menjadi pribadi yang kurang empati. Bisa terjadi kata dan tindakan kita menjadikan orang lain merasa tidak nyaman bahkan terluka dan pada akhirnya kita menjadi penghalang orang lain untuk terbuka. Keterbukaan seperti itu  justru menunjukkan diri kita juga tidak terbuka bagi sesama. Keterbukaan dalam konteks ini memerlukan batasan-batasan yang sehat. Terkadang atas nama keterbukaan kita mengabaikan batasan-batasan yang sehat.

Keterbukaan itu tentang bagaimana kita mau menjalani peristiwa hidup dalam kehidupan, berkomunitas, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara dengan sikap yang positif dan hati yang terbuka, jujur, bijaksana, rendah hati serta sikap keutamaan lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang sehat. Sikap keterbukaan seperti ini akan mengundang orang-orang sekitar kita untuk terbuka dengan kita. Keterbukaan orang lain kepada kita akan tergantung seberapa terbuka kita kepada orang lain tersebut. Contoh sederhana menjadi buku yang terbuka bagi sesama adalah sikap mau mendengarkan. Yang menjadi tantangan dalam mendengarkan adalah bagaimana kita fokus mendengarkan dengan keterbukaan hati sebelum menanggapi. Dapat terjadi ketika seseorang menceritakan lembaran kisah hidupnya, kita ingin segera memberikan jawaban sebelum pribadi tersebut selesai menyampaikannya. Bahkan bisa terjadi kita menghakimi karena kita merasa sudah mengetahui berdasarkan asumsi belaka. Sikap seperti ini akan membuat orang merasakan bahwa kisah hidup yang mereka bagikan tidak penting untuk didengarkan. Maka membuka diri untuk mendengarkan terhadap kisah hidup yang dibagikan dan rasa empati terhadap perasaan dan kekhawatiran yang dialami sangat diperlukan dalam relasi yang terbuka. Kita memberikan ruang aman bagi mereka yang sedang menjalani lembaran duka kehidupan.

Kita hidup di dunia yang penuh dengan keberagaman. Secara khusus di Indonesia kita hidup dalam keberagaman budaya, agama, maupun bahasa. Bagaimana kita bisa hidup dalam keseharian dengan keterbukaan namun di lain sisi tidak kehilangan identitas kita, khususnya berkaitan dengan iman kita? Tidak perlu kita mencari kebenaran yang mutlak dalam keberagaman iman karena kita tidak akan menemukan. Pada akhirnya sikap dan tindakan seperti itu juga akan menimbulkan tembok pemisah yang tinggi tanpa ada ruang dialog yang saling menghormati. Dalam perbedaan yang diperlukan adalah saling menghormati keberagaman dan di sisi lain terus bertumbuh dalam penghayatan keimanan kita masing-masing. Dalam keragaman diperlukan keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif yang akan memungkinkan saling menghormati, sekalipun dalam perbedaan keyakinan iman. Harus kita sadari  untuk membangun relasi terbuka seperti ini tidak dapat dilakukan hanya dalam sehari, seminggu, sebulan atau setahun tetapi memerlukan usaha dan komitmen yang konsisten sepanjang hidup dari kita yang hidup dalam keberagaman.

Sebagai seorang pimpinan ia selalu menjadi buku yang terbuka terhadap setiap ide yang membangun untuk mengeksplorasi beragam sudut pandang agar mencapai hasil kerja yang maksimal. Keterbukaan pada akhirnya juga memperkuat hubungannya dengan para  kolega dan memberi dampak etos kerja tim yang bersemangat dan bertanggungjawab. Baginya inilah salah satu bentuk keterbukaan hatinya terhadap kehidupan yang harus ia jalani dengan sesama dan keterbukaan hatinya terhadap Tuhan karena ia meyakini Tuhan hadir dalam setiap lembaran peristiwa kehidupan sehari-hari yang memang harus ia jalani.

 *Penulis adalah Rahib and Imam – Our Lady of Silence Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia.

 

 

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *