
𝟳 𝗦𝗲𝗽𝘁𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿 𝟮𝟬𝟮𝟱
Bacaan Ekaristi : Keb. 9:13-18; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Flm. 9b-10,12-17; Luk. 14:25-33.
Saudara-saudari terkasih,
Dalam Bacaan Pertama, kita mendengar sebuah pertanyaan: [Tuhan,] “siapakah yang dapat mengetahui rencana-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan hikmat dan tidak mengutus Roh-Mu yang kudus dari surga?” (Keb 9:17). Pertanyaan ini muncul setelah dua beato muda, Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis, dinyatakan sebagai santo, dan ini merupakan penyelenggaraan ilahi karena dalam Kitab Kebijaksanaan, pertanyaan ini dikaitkan dengan seorang pemuda seperti mereka: Raja Salomo. Setelah kematian Daud, ayahnya, ia menyadari bahwa ia memiliki banyak hal: kekuasaan, kekayaan, kesehatan, kemudaan, keindahan, dan seluruh kerajaan. Justru kelimpahan sumber daya inilah yang menimbulkan pertanyaan dalam hatinya: “Apakah yang harus kulakukan supaya tidak ada yang terbuang?” Salomo memahami bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban adalah dengan memohon kepada Allah karunia yang semakin besar, karunia hikmat-Nya, agar ia dapat mengetahui rencana Allah dan mengikutinya dengan setia. Sesungguhnya, ia menyadari bahwa hanya dengan cara inilah segala sesuatu akan menemukan tempatnya dalam rencana Tuhan yang agung. Ya, karena risiko terbesar dalam hidup adalah menyia-nyiakannya di luar rencana Allah.
Dalam Bacaan Injil Yesus juga berbicara kepada kita tentang sebuah rencana yang harus kita tekuni dengan sepenuh hati. Ia berkata:,”Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:27); dan kemudian, “tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (ayat 33). Ia memanggil kita untuk menyerahkan diri kita tanpa ragu kepada petualangan yang Ia tawarkan kepada kita, dengan kecerdasan dan kekuatan yang berasal dari Roh-Nya, yang dapat kita terima sejauh kita mengosongkan diri dari hal dan gagasan yang melekat pada diri kita, agar dapat mendengarkan sabda-Nya.
Banyak orang muda, selama berabad-abad, harus menghadapi persimpangan jalan ini dalam hidup mereka. Pikirkanlah Santo Fransiskus dari Asisi, seperti Salomo, ia juga muda dan kaya raya, haus akan kemuliaan dan ketenaran. Itulah sebabnya ia pergi berperang, berharap untuk diberi gelar kebangsawanan dan dihiasi dengan kehormatan. Tetapi Yesus menampakkan diri kepadanya di tengah jalan dan memintanya untuk merenungkan apa yang sedang ia lakukan. Menyadari kembali, ia mengajukan pertanyaan sederhana kepada Allah, “Tuhan, apa yang Engkau inginkan agar aku perbuat?” (Kisah Tiga Sahabat, bab II: Fonti Francescane, 1401). Dari sana, ia mengubah hidupnya dan mulai menulis kisah yang berbeda: kisah indah tentang kekudusan yang kita semua tahu, menanggalkan segalanya untuk mengikut Tuhan (bdk. Luk 14:33), hidup dalam kemiskinan dan lebih memilih mengasihi saudara-saudarinya, terutama yang paling lemah dan kecil, daripada emas, perak, dan kain berharga milik ayahnya.
Betapa banyaknya santo-santa serupa yang dapat kita ingat! Terkadang kita menggambarkan mereka sebagai tokoh-tokoh besar, lupa bahwa bagi mereka semuanya berawal ketika, semasa muda, mereka mengatakan “ya” kepada Allah dan menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada-Nya, tanpa menyimpan apa pun untuk diri mereka sendiri. Santo Agustinus menceritakan bahwa, dalam “simpul kehidupan yang berliku-liku dan kusut”, sebuah suara di lubuk hatinya berkata, “Aku menginginkan engkau” (Pengakuan-pengakuan, II, 10,18). Allah memberinya arah baru, jalan baru, alasan baru, yang di dalamnya tak ada satu pun dari hidupnya yang terbuang sia-sia.
Dalam konteks ini, hari ini kita memandang Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis: seorang pemuda dari awal abad ke-20 dan seorang remaja dari zaman kita, keduanya mengasihi Yesus dan siap memberikan segalanya bagi-Nya.
Pier Giorgio bertemu Tuhan melalui kelompok sekolah dan gereja — Aksi Katolik, Konferensi Santo Vinsensius, FUCI (Federasi Universitas Katolik Italia), Ordo Ketiga Dominikan — dan ia memberikan kesaksian tentang Allah dengan sukacita hidupnya serta menjadi seorang kristiani dalam doa, persahabatan, dan kasih. Hal ini begitu nyata sehingga ketika melihatnya berjalan di jalanan Kota Turin dengan gerobak sarat bantuan untuk kaum miskin, teman-temannya menamainya “Frassati Impresa Trasporti” (Perusahaan Transportasi Frassati)! Bahkan hingga kini, kehidupan Pier Giorgio menjadi mercusuar bagi spiritualitas awam. Baginya, iman bukanlah devosi pribadi, melainkan didorong oleh kuasa Injil dan keanggotaannya dalam perkumpulan-perkumpulan gerejawi. Dengan murah hati ia juga mengabdikan diri kepada masyarakat, berkontribusi dalam kehidupan politik, dan mengabdikan dirinya dengan penuh semangat untuk melayani kaum miskin.
Carlo sendiri berjumpa dengan Yesus dalam keluarganya, berkat kedua orang tuanya, Andrea dan Antonia — yang hari ini hadir di sini bersama kedua saudari kandungnya, Francesca dan Michele — dan kemudian di sekolah, dan terutama dalam sakramen-sakramen yang dirayakan dalam komunitas paroki. Ia tumbuh besar dengan memadukan doa, olahraga, studi, dan amal kasih ke dalam kehidupan masa kecil dan masa mudanya.
Baik Pier Giorgio maupun Carlo membina kasih mereka kepada Allah dan saudara-saudari mereka melalui tindakan-tindakan sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa pun: Misa harian, doa, dan khususnya Adorasi Ekaristi. Carlo biasa berkata, “Di hadapan matahari, kulitmu menjadi coklat. Di hadapan Ekaristi, engkau menjadi orang kudus!” Dan kemudian, “Kesedihan adalah memandang dirimu sendiri; kebahagiaan adalah memandang Allah. Pertobatan tidak lebih dari sekadar mengalihkan pandangan dari bawah ke atas; gerakan mata yang sederhana saja sudah cukup.” Praktik penting lainnya bagi mereka adalah Pengakuan Dosa yang sering. Carlo menulis: “Satu-satunya hal yang benar-benar perlu kita takuti adalah dosa;” dan ia takjub karena — dalam kata-katanya sendiri — “orang-orang begitu peduli dengan keindahan tubuh mereka dan tidak peduli dengan keindahan jiwa mereka.” Akhirnya, keduanya memiliki devosi yang besar kepada para kudus dan Perawan Maria, dan mereka mempraktikkan amal kasih dengan murah hati. Pier Giorgio berkata, “Di sekitar orang miskin dan orang sakit, saya melihat cahaya yang tidak kita miliki” (Nicola Gori, Al prezzo della vita: L’Osservatore romano, 11 Februari 2021). Ia menyebut amal kasih sebagai “landasan agama kita” dan, seperti Carlo, ia mempraktikkannya terutama melalui gestur kecil dan nyata, yang seringkali tersembunyi, menghidupi apa yang disebut Paus Fransiskus “kekudusan dari pintu sebelah” (Anjuran Apostolik Gaudete et Exsultate, 7).
Bahkan ketika penyakit menyerang dan memperpendek usia muda mereka, hal itu tidak menghentikan mereka atau menghalangi mereka untuk mengasihi, mempersembahkan diri kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya untuk diri mereka sendiri dan untuk semua orang. Suatu hari Pier Giorgio berkata, “Hari kematianku akan menjadi hari terindah dalam hidupku” (Irene Funghi, I giovani assieme a Frassati: un compagno nei nostri cammini tortuosi: Avvenire, 2 Agustus 2025). Dalam foto terakhirnya, yang memperlihatkan dirinya sedang mendaki gunung di Val di Lanzo, dengan wajah menghadap ke tujuannya, ia menulis, “Ke atas” (idem). Lebih lanjut, Carlo, yang bahkan lebih muda dari Pier Giorgio, gemar mengatakan bahwa surga selalu menanti kita, dan mencintai hari esok berarti memberikan yang terbaik dari buah kita hari ini.
Sahabat-sahabat terkasih, Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis merupakan undangan bagi kita semua, terutama kaum muda, untuk tidak menyia-nyiakan hidup kita, melainkan mengarahkannya ke atas dan menjadikannya mahakarya. Mereka menyemangati kita dengan kata-kata mereka: “Bukan aku, melainkan Allah,” sebagaimana biasa dikatakan Carlo. Dan Pier Giorgio: “Jika engkau menjadikan Allah sebagai pusat segala tindakanmu, maka engkau akan mencapai tujuan.” Inilah rumusan sederhana namun jitu dari kekudusan mereka. Inilah juga jenis kesaksian yang harus kita ikuti, agar dapat menikmati hidup sepenuhnya dan bertemu Tuhan dalam perjamuan surgawi.
Dialaihbahasakan oleh Peter Suriadi