
Menyikapi sejumlah tindakan intimidasi, kekerasan, dan pembatasan sepihak terhadap kegiatan doa ibadah yang bernuansa intoleransi agama di tanah air
Indonesia yang belakangan ini kian marak dan sporadis terjadi di sejumlah daerah, para pimpinan Majelis Agama-agama menyampaikan keprihatinan yang mendalam. Hal itu disampaikan para tokoh agama di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), 05 Agustus 2025.
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, Romo Aloys Budi Purnomo, Pr membacakan pernyataan sikap para pemimpin agama tersebut. “Bagi kami terjadinya sejumlah insiden, penyerangan, pelarangan, penolakan, dan gangguan terhadap kegiatan doa dan ibadah di beberapa daerah yang dilakukan oleh sejumlah warga masyarakat tersebut mencoreng dan merusak bangunan toleransi, kerukunan, persaudaraan, dan hidup bersama serta keberagaman agama dan budaya di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan, tindakan-tindakan anarkis tersebut tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta Bineka Tunggal Ika. “Bahkan segala bentuk intimidasi, kekerasan atau pembatasan sepihak terhadap kegiatan ibadah merupakan pelanggaran terhadap hukum dan penghancuran nilai-nilai hidup bersama sebagai warga bangsa,” imbuhnya.
Atas dasar keprihatinan tersebut, para tokoh agama itu menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Agama, Kapolri, Panglima TNI, FKUB, dan para tokoh masyarakat dan agama untuk hadir dan bertindak tegas terhadap siapapun yang bersikap intoleran dan apalagi dengan melakukan tindakan kekerasan yang merupakan tindakan kriminal. “Tidak boleh dilakukan pembiaran terhadap siapapun yang telah bertindak anarkis apalagi terhadap kegiatan doa dan ibadah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini,” katanya.
Seiring dengan itu para tokoh agama itu mengingatkan, menyerukan, dan menegaskan bahwa:
Satu, kebebasan beragama dan beribadah adalah hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E dan Pasal 29 ayat 2.
Kedua, negara melalui aparat keamanan dan pemerintah daerah wajib hadir dan bertindak tegas untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.
Tiga, aparat keamanan dan aparat hukum wajib dan harus mencegah terjadinya insiden serupa serta mengusut secara tuntas pelaku tindak kejahatan, kekerasan, penolakan, penghambatan, dan pengrusakan tempat yang dipergunakan untuk berdoa dan beribadah oleh warga bangsa Indonesia.
Keempat, menyerukan agar pemerintah baik pusat maupun daerah bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan seluruh elemen masyarakat bersama-sama menjaga toleransi dan menjamin rumah doa dan ibadah sebagai tempat damai, aman, dan bermartabat.
Yang kelima, agar para tokoh agama mengajak umatnya untuk tidak mudah terprovokasi oleh hasutan yang memecah belah dan menghayati hidup beragama yang damai, rukun, dan toleran.
Selain representasi KWI, para pimpinan agama itu berasal dari Majelis-majelis agama seperti PGI, PHDI, Permabudhi, Matakin, Bala Keselamatan, Gereja Ortodoks, dan PBNU.