Merdeka dari Keterbelengguan

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*

 

Masyarakat dengan antusias berbondong-bondong datang ke sebuah lapangan. Lapangan yang biasa digunakan anak-anak desa untuk bermain permainan apa saja; bermain bola kaki, bola kasti, gobak sodor, lompat karet atau tali, bermain gasing, kelereng, engklek, layang-layang, patok lele, ular naga panjang dan sebagainya. Namun saat itu masyarakat datang untuk menyaksikan permainan yang diperlombakan yakni panjat pinang. Aku termasuk salah satu dari kerumunan banyak orang yang menyaksikan perlombaan panjat pinang tersebut. Perlombaan ini sangat menghibur dan mengundang tawa, baik bagi yang menyaksikan maupun bagi peserta lomba. Terkadang seorang peserta terinjak kepalanya oleh peserta lainnya yang jatuh karena licinnya batang pohon pinang. Mereka terpaksa harus memulai dari awal lagi. Seorang peserta berdiri kembali merangkul batang pohon pinang lalu peserta lainnya berusaha naik ke pundaknya. Mereka terus bersemangat dan bekerja sama dengan riang meski dalam kesulitan untuk mencapai hadiah yang tergantung di atas batang pohon pinang yang sudah terlumuri minyak

Tahun ini kita merayakan hari raya kemerdekaan Indonesia di tahun yang ke delapan puluh. Itu berarti, kita semua sepakat bahwa kita sebagai sebuah bangsa telah merdeka secara geopolitik dari penjajah asing selama delapan puluh tahun. Sebagai sebuah bangsa kita merdeka membangun bangsa dan negara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara kita. Merayakan kemerdekaan dalam sebuah upacara atau perlombaan memang perlu kita lakukan namun jauh lebih penting kita merayakannya dalam tindakan kehidupan kita sehari-hari. Dalam arti ini, kemerdekaan adalah sebuah proses terus menerus dalam sebuah perjalanan kehidupan. Dalam proses ini, kita akan menghadapi kelemahan kemanusiaan kita, yang bisa membelenggu diri kita. Kita harus mau berjuang jika kita mau sungguh merdeka secara rohani. Kita semua sebagai manusia terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan rohani yang akan membawa pada pertumbuhan pribadi. Dan dalam perjuangan itu, kita akan menghadapi belenggu-belenggu diri yang menghambat. Proses perjalanan menuju kemerdekaan rohani tentu berbeda bagi setiap pribadi, namun selalu membawa pada transformasi diri dan pertobatan.

Karena kelemahan dan kedosaan kita, di dalam diri kita selalu ada belenggu dalam berbagai macam bentuk kelemahan yang membelenggu kita untuk berkembang dalam relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Kita harus mengakui bahwa kita semua pernah, atau mungkin sedang atau akan mengalami kekuatiran tentang banyak hal di dalam hidup kita. Situasi kehidupan saat ini yang selalu tidak stabil dalam politik dan ekonomi akan menimbulkan kekuatiran dalam diri kita. Pengalaman kekuatiran adalah sebuah pengalaman manusiawi namun jangan sampai kekuatiran membelenggu diri kita untuk menjadi pribadi yang merdeka. Selain itu belenggu kekuatiran menjadi penghambat untuk mengayunkan langkah membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. Jika kekuatiran sampai membelenggu diri kita itu pertanda bahwa kita ingin mengendalikan semua perjalanan hidup kita, ingin semua berjalan dengan baik sesuai dengan kehendak kita. Padahal sebagai makhluk ciptaan kita tidak mampu mengendalikan semua kehidupan ini. Namun, ketika kita hidup dengan iman, kita percaya bahwa Tuhan mampu mengendalikan segalanya menjadi baik, maka kita tidak lagi terbelenggu belenggu kekuatiran.

Untuk bisa membangun sebuah bangsa dan negara yang adil dan makmur, setiap pribadi harus memiliki kemerdekaan secara rohani. Tanpa kemerdekaan secara rohani sebuah bangsa dan negara tidak akan bertumbuh. Tindakan korupsi uang negara yang bisa mencapai triliunan oleh para pejabat Negara itu disebabkan karena pribadi-pribadi tersebut tidak merdeka secara rohani. Mereka terbelenggu pada ego mereka dan kepentingan mereka sendiri sehingga melupakan akan kepentingan masyarakat banyak. Mereka terbelenggu pada budaya konsumtivisme yakni keinginan untuk memiliki sebanyak mungkin hal-hal materi tanpa batasan moral demi kepuasan diri yang tidak pernah puas, sehingga mereka mengambil yang bukan milik mereka. Mereka tidak lagi peduli akan kemiskinan yang dialami sebagian besar saudara sebangsanya. Mereka tidak lagi mampu bertindak dalam kebenaran Tuhan karena terbelenggu pada keserakahan. Pada akhirnya mereka tidak merdeka.

Dalam suratnya kepada umat di Galatia 5:13, Rasul Paulus menasihati, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Hanya saja, janganlah pergunakan kebebasan ini sebagai kesempatan untuk hidup dalam keduniawian, tetapi hendaklah kamu saling melayani dalam kasih.”  Santo Paulus mengajak kita untuk menggunakan kemerdekaan yang kita miliki untuk berbuat baik kepada sesama bukan untuk merugikan banyak orang. Dalam injil Yohanes 8:31-32, tertulis, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Jadi kemerdekaan secara rohani yang sejati, khususnya bagi para pengikut Kristus, bukanlah melakukan segala hal sesuai dengan kehendak kita tetapi sesuai dengan kehendak Allah. Dalam suratnya kepada umat di Galatia 5;1, Rasul Paulus menyatakan, “Sebab Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.” Kemerdekaan atau kebebasan rohani adalah anugerah dari Kristus untuk memerdekakan kita dari belenggu kuasa dosa sehingga kita menjadi pribadi yang merdeka sesuai dengan gambaran-Nya.

Mereka terus bersemangat meskipun harus mengalami beberapa kali kegagalan. Ketika sampai dipertengahan panjatan, seorang peserta tergelincir dan jatuh menimpa peserta lainya. Raut wajah mereka terlihat lelah dengan cucuran keringat namun mereka tetap semangat dan pantang menyerah. Meskipun lelah namun wajah mereka tetap terlihat sukacita karena kelucuan-kelucuan yang terjadi. Wajah yang menunjukkan sukacita kemerdekaan, meskipun ada kesulitan yang harus mereka hadapi bersama. Sukacita dan teriakan pada penonton membuat mereka bersemangat melanjutkan panjatan meski dalam kelelahan. Untuk beberapa saat mereka berembuk mengatur strategi sebelum memulai panjatan yang ketiga kalinya. Sukacita memampukan mereka melihat dengan optimis kemerdekaan di setiap momen sulit yang harus mereka hadapi

Akhirnya seorang peserta panjat pinang mencapai puncak batang pohon pinang setelah perjuangan mereka dalam kebersamaan untuk mendapatkan hadiah-hadiah yang tergantung. Dengan lebih sukacita secara estafet mereka menurunkan hadiah-hadiah itu. Itulah salah satu kenangan yang menghibur yang terjadi di sebuah desa yang terpencil bernama Pulahan Seruwai, di awal tahun delapan puluh ketika merayakan hari raya kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa di tanggal 17 Agustus. Selamat hari raya kemerdekaan yang kedelapan puluh untuk negara dan bangsa kita Indonesia. Semoga semakin hari bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka sehingga semakin hari mampu membangun sebuah negara archipelago yang sungguh merdeka.

*Penulis adalah Rahib and Imam – Our Lady of Silence Abbey –Roscrea Co. Tipperary Irlandia.

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *