
Dekorasi dan tata rias altar itu salah satu ungkapan pujian persembahan kepada Tuhan. Pastor Paroki Santa Maria Bunda Kristus, Wedi, Klaten, Romo Basilius Edy Wiyanto, Pr menyampaikan hal tersebut dalam pembentukan Paguyuban Dekorasi dan Tata Rias Altar Paroki Wedi, 9 Maret 2025. Dengan demikian, dekorasi dan tata rias altar merupakan ungkapan iman. “Ora gur merga mengko tak sawang apik apa ora iki (Tidak hanya karen nanti dilihat indah atau tidak). Tetapi ketika itu menggunakan hati, menurut saya, itu sungguh nanti bisa dirasakan. Bukan hanya dilihat, tetapi perlu dirasakan,” kata Romo Edy. Menurutnya, meski mungkin dekorasi dan tata rias altar itu sederhana, namun itu memberi makna dalam perayaan liturgi.
Selanjutnya, Romo Edy menerangkan, mengingat Gereja adalah persekutuan umat beriman, maka semua itu bukan dilakukan dalam rangka kerja atau tugas, tetapi membangun persaudaraan dalam paguyuban. “Kesaksiannya adalah pertama-tama guyub. Ora langsung puk-puk altare (Tidak langsung mengurusi altar),” katanya. Terlebih saat ini Paroki Wedi mengusung semangat Mbalur, akronim dari Ambyur Mbangun Sedulur (Terlibat Membangun Persaudaraan).
Terkait dengan semangat persaudaraan yang terangkum dalam Mbalur, Romo Edy mengatakan, persaudaraan itu tidak hanya kepada sesama, tetapi kepada ciptaan lain. “Kita diingatkan, ternyata sedulure dewe ki ora gur manungsa (saudara kita tidak hanya manusia). Nah ini, di paguyuban ini ingat sedulure dewe ki tanduran (saudara kita adalah tanaman),” katanya, seraya menambahkan batu-batu yang mati juga menjadi saudara kita. Jadi, menurutnya, ruang gerak dekorasi dan tata rias altar tidak hanya di seputar altar, tetapi meluas.
Menurut imam kelahiran Baturetno, Wonogiri itu, ikut Mbalur, berarti ikut aksi solidaritas, solider pada yang lain. Solider, sambungnya, mempunyai keprihatinan pada situasi yang memprihatinkan dan sehati dengan yang memprihatinkan. Itu tidak mudah. Salah satu keprihatinan Gereja, menurutnya, adalah rusaknya keutuhan ciptaan dan lingkungan hidup (KCLH). Isu KCLH, menurutnya, bukan hanya slogan tapi sudah lama diungkapkan Gereja. “Keutuhan Ciptaan dan Lingkungan Hidup adalah bagaimana membuat ciptaan ini utuh lestari dan mempunyai harapan hidup yang lebih panjang, dan mempunyai regenerasi, keberlanjutan, sustainability dan kemudian keberagaman sehingga membentuk lingkungan ini sungguh lingkungan hidup, bukan lingkungan mati,” katanya.
Terkait dengan relasi manusia dengan KCLH, Romo Edy berbagi pengalamannya saat ia menjalani masa pendidikan imam. Seorang formator memberinya pembelajaran yang menarik. “Kalau kamu mau melatih dirimu, itu yang paling tidak mudah adalah melatih bersama tanaman dibandingkan hewan,” kata Romo Edy menirukan formatornya. Hewan, lanjutnya, kalau diperhatikan, dirawat, diberi makan, kita bisa merasakan ekspresinya. Berbeda halnya dengan merawat tanaman, lebih sulit. “Ternyata merawat itu, ngopeni (tanaman) itu nggak mudah,” katanya. Dari pengalamannya tersebut, Romo Edy mengatakan, berkarya dalam dekorasi dan tata rias altar membutuhkan hati.
Dalam hal penerapan dekorasi dan tata rias altar, Romo Edy berharap hal itu selaras dengan ajaran Sri Paus Fransiskus yang tertuang melalui ensiklik Laudato Si’.
Maka, secara teknis, Romo Edy memberi gambaran demikian. Mengingat tata rias altar juga menjadi ungkapan iman kita, selaras dengan ajaran iman dalam magisterium, maka diharapkan menghidupi prinsip-prinsip keutuhan ciptaan, tidak membunuh, tapi menghidupkan. “Tanduran kuwi sedulur (tanaman itu saudara). Ini ora (tidak) membunuh tetapi menumbuhkan,” katanya, menegaskan kalau sebisa mungkin memilih tanaman hidup. Karena prinsip dasarnya adalah menumbuhkan, maka Romo Edy membuat gradasi pilihan. “Kalau mau digradasi, daripada bunga plastik, lebih baik bunga hidup. Daripada bunga yang dipotong, lebih baik bunga yang masih mempunyai daya hidup lebih panjang. Itu kalau dibanding-bandingkan,” katanya.
Pilihan tersebut bukan karena pertimbangan ekonomis saja, menurutnya, tetapi ini lebih karena ajaran iman yang lebih memilih untuk menumbuhkan dan menjaga keutuhan ciptaan. “Ora gur pisan (tidak hanya sekali), dua-tiga hari, bar kuwi (setelah itu) dibuang, tetapi bagaimana menghidupkan. Iki ning luwih angel (Ini tapi lebih sulit),” katanya. Karena kesulitan itulah, maka menjadi penting membentuk paguyuban. “Saya setuju, paguyuban perlu dibentuk karena untuk menghadirkan butuh proses, proses merawat, proses kemudian kumpul bareng dan kemudian ketika ini menjadi ungkapan-perwujudan iman,” katanya.
Dan yang menurutnya penting adalah orang yang berkarya dalam dekorasi dan tata altar paham warna liturgi untuk menyesuaikan antara pilihan warna tata rias altar dengan liturgi. “Orientasi kita adalah liturgi yang dirayakan. Warnanya juga bukan ungkapan pribadi. Kita mengacu pada warna liturgi,” imbuhnya.