
โBerbahagialah orang yang tidak kehilangan pengharapanโ (lihat Sir 14:2)
Saudara-saudari terkasih,
Yubileum yang sekarang sedang kita rayakan membantu kita menyadari bahwa pengharapan adalah sumber sukacita yang tak tergoyahkan, berapa pun usia kita. Ketika pengharapan itu juga telah ditempa oleh api sepanjang hidup, ia terbukti menjadi sumber kebahagiaan yang mendalam.
Kitab Suci memberi kita banyak contoh laki-laki dan perempuan yang dipanggil Tuhan di usia senja untuk berperan dalam rencana keselamatan-Nya. Kita bisa memikirkan Abraham dan Sara, yang, di usia tua, merasa sulit untuk percaya ketika Allah menjanjikan mereka seorang anak. Ketiadaan anak seolah menghalangi mereka mengharapkan apa pun untuk masa depan.
Reaksi Zakharia terhadap berita kelahiran Yohanes Pembaptis pun tak berbeda: “Bagaimanakah aku tahu bahwa hal ini akan terjadi? Sebab, aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya” (Luk. 1:18). Usia tua, kemandulan, dan penurunan fisik tampaknya menghalangi pengharapan apa pun akan kehidupan dan kesuburan bagi laki-laki dan perempuan ini. Pertanyaan yang diajukan Nikodemus kepada Yesus ketika Sang Guru berbicara kepadanya tentang “dilahirkan kembali” juga tampak murni retorika: “Bagaimanakah mungkin seseorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?” (Yoh. 3:4). Namun, setiap kali kita berpikir bahwa segala sesuatu tidak dapat berubah, Tuhan mengejutkan kita dengan sebuah tindakan kuasa yang menyelamatkan.
๐ข๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐ง๐๐ฎ ๐ฆ๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐ง๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ ๐ฃ๐ฒ๐ป๐ด๐ต๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ป
Dalam Kitab Suci, Allah berulang kali menunjukkan pemeliharaan ilahi-Nya tertuju kepada orang-orang di usia tua mereka. Hal ini tidak hanya terjadi pada Abraham, Sara, Zakharia, dan Elisabet, tetapi juga pada Musa, yang dipanggil untuk membebaskan umat-Nya ketika ia telah berusia delapan puluh tahun (bdk. Kel 7:7). Dengan demikian, Allah mengajarkan kita bahwa, di mata-Nya, usia tua adalah masa berkat dan anugerah, dan bagi-Nya, orang tua adalah saksi pertama pengharapan. Agustinus bertanya, “Apa yang kita maksud dengan usia tua?” Ia mengatakan kepada kita bahwa Allah sendiri menjawab pertanyaan tersebut: “Biarkan kekuatanmu lenyap, sehingga kekuatan-Ku tetap ada di dalam dirimu, dan engkau dapat berkata bersama Rasul Paulus, ‘Jika aku lemah, aku kuat'” (Tentang Mzm 71:11). Meningkatnya jumlah orang tua merupakan tanda zaman yang harus kita pahami, agar dapat memaknai momen sejarah ini dengan tepat.
Kehidupan Gereja dan dunia hanya dapat dipahami dalam terang lintasan generasi. Merangkul orang tua membantu kita memahami bahwa hidup lebih dari sekadar saat ini, dan tidak boleh disia-siakan dalam perjumpaan yang dangkal dan hubungan yang sepintas lalu. Hidup justru senantiasa mengarahkan kita ke masa depan. Dalam Kitab Kejadian, kita menemukan kisah mengharukan tentang berkat yang diberikan oleh Yakub yang sudah lanjut usia kepada cucu-cucunya, putra-putra Yusuf; kata-katanya merupakan ajakan untuk menatap masa depan dengan penuh pengharapan, sebagai saat di mana janji-janji Allah akan digenapi (bdk. Kej. 48:8-20). Jika benar bahwa kelemahan orang tua membutuhkan kekuatan orang muda, maka benar pula bahwa kekurangan pengalaman orang muda membutuhkan kesaksian orang tua untuk membangun masa depan dengan hikmat. Betapa seringnya kakek-nenek kita telah menjadi teladan iman dan pengabdian, kebajikan sipil dan komitmen sosial, memori dan ketekunan di tengah pencobaan! Warisan berharga yang telah mereka wariskan kepada kita dengan pengharapan dan kasih akan selalu menjadi sumber rasa syukur dan panggilan untuk bertekun.
๐ง๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ-๐๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ ๐ฃ๐ฒ๐ป๐ด๐ต๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ด๐ถ ๐ข๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐ง๐๐ฎ
Sejak zaman biblis, Yubileum telah dipahami sebagai masa pembebasan. Para budak dibebaskan, utang dihapuskan, dan tanah dikembalikan kepada pemilik aslinya. Yubileum adalah masa ketika tatanan sosial yang dikehendaki Allah dipulihkan, dan kesenjangan serta ketidakadilan yang terakumulasi selama bertahun-tahun diatasi. Yesus membangkitkan kembali momen-momen pembebasan itu ketika, di rumah ibadat di Nazaret, Ia menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, penglihatan bagi orang-orang buta, dan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang tertindas (lih. Luk 4:16-21).
Memandang para lansia dalam semangat Yubileum ini, kita dipanggil untuk membantu mereka mengalami pembebasan, terutama dari kesepian dan keterlantaran. Tahun ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya. Kesetiaan Allah terhadap janji-janji-Nya mengajarkan kita bahwa ada kebahagiaan di usia tua, sukacita injili sejati yang menginspirasi kita untuk mendobrak batasan ketidakpedulian yang seringkali mengurung orang tua. Masyarakat kita, di seluruh dunia, semakin terbiasa membiarkan bagian yang penting dan memperkaya kehidupan mereka ini terpinggirkan dan dilupakan.
Mengingat situasi ini, diperlukan perubahan kiprah yang akan langsung terlihat bila seluruh Gereja menerima tanggung jawab tersebut. Setiap paroki, lembaga, dan kelompok gerejawi dipanggil untuk menjadi protagonis dalam sebuah “revolusi” rasa syukur dan kepedulian, yang akan diwujudkan melalui kunjungan rutin kepada orang tua, penciptaan jaringan dukungan dan doa bagi mereka dan bersama mereka, serta penempaan hubungan yang dapat memulihkan pengharapan dan martabat bagi mereka yang merasa dilupakan. Pengharapan kristiani selalu mendorong kita untuk lebih berani, berpikir besar, dan merasa tidak puas dengan segala sesuatu sebagaimana adanya. Dalam hal ini, pengharapan kristiani mendorong kita untuk mengupayakan perubahan yang dapat memulihkan penghargaan dan kasih sayang yang menjadi hak orang tua.
Itulah sebabnya Paus Fransiskus menginginkan Hari Kakek-Nenek dan Orang Tua Sedunia dirayakan terutama melalui upaya mencari orang tua yang hidup sendirian. Karena alasan ini, mereka yang tidak dapat datang ke Roma untuk berziarah selama Tahun Suci ini dapat “memperoleh Indulgensi Yubileum jika mereka mengunjungi, untuk rentang waktu yang tepat, orang tua yang hidup sendirian… dengan demikian, dalam arti tertentu, sebuah peziarahan kepada Kristus yang hadir dalam diri mereka (bdk. Mat 25:34-36)” (Penitentiarium Apostolik, Norma-norma Pemberian Indulgensi Yubileum, III). Mengunjungi orang tua adalah cara untuk berjumpa dengan Yesus, yang membebaskan kita dari ketidakpedulian dan kesepian.
๐ฆ๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐ข๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐ง๐๐ฎ, ๐๐ถ๐๐ฎ ๐๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ ๐๐ฒ๐ฟ๐ต๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ฝ
Kitab Sirakh menyebut mereka yang tidak kehilangan pengharapan sebagai orang yang berbahagia (lihat 14:2). Barangkali, terutama jika umur kita panjang, kita mungkin tergoda untuk tidak melihat ke masa depan, melainkan ke masa lalu. Namun, sebagaimana ditulis Paus Fransiskus saat terakhir kali dirawat di rumah sakit, “tubuh kita lemah, tetapi meskipun demikian, tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk mengasihi, berdoa, memberi diri, dan saling mendampingi, dalam iman, sebagai tanda-tanda pengharapan yang cemerlang” (Doa Malaikat Tuhan, 16 Maret 2025). Kita memiliki kebebasan yang tidak dapat dirampas oleh kesulitan apa pun: kebebasan untuk mengasihi dan berdoa. Setiap orang, selalu, dapat mengasihi dan berdoa.
Kasih sayang kita kepada orang-orang yang kita kasihi โ kepada istri atau suami yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama kita, anak-anak, cucu-cucu kita yang mencerahkan hari-hari kita โ tidak pudar ketika kekuatan kita melemah. Kasih sayang mereka justru sering kali menyegarkan energi kita serta memberi kita pengharapan dan penghiburan.
Tanda-tanda kasih yang hidup ini, yang berakar pada Allah sendiri, memberi kita keberanian dan mengingatkan kita bahwa “meskipun manusia lahiriah kita semakin merosot, manusia batiniah kita diperbarui dari hari ke hari” (2 Kor 4:16). Terutama seiring bertambahnya usia, marilah kita terus maju dengan keyakinan kepada Tuhan. Semoga kita diperbarui setiap hari melalui perjumpaan kita dengan-Nya dalam doa dan Misa Kudus. Marilah kita dengan penuh kasih mewariskan iman yang telah kita jalani selama bertahun-tahun, kepada keluarga kita dan dalam perjumpaan kita sehari-hari dengan sesama. Semoga kita senantiasa memuji Allah atas kebaikan-Nya, memupuk persatuan dengan orang-orang yang kita kasihi, membuka hati kita bagi mereka yang jauh, dan khususnya, bagi semua orang yang membutuhkan. Dengan demikian, kita akan menjadi tanda-tanda pengharapan, berapa pun usia kita.
Vatikan, 26 Juni 2025
PAUS LEO XIV
Dialihbahasakan oleh Peter Suriadi